Pelayanan BBM di APMS Waiwerang
Oleh Frans Anggal
Masyarakat Adonara mengadu ke Disperindag Flotim. Mereka dirugikan oleh cara takar BBM di Agen Premium Minyak Tanah dan Solar (APMS) Waiwerang. Agen gunakan alat manual, gayung blik. Tidak tepat takar. Beli 10 liter, susut 1 liter. Cara ini sudah berlangsung sejak 1980-an. Begitu ada pengaduan, barulah agen mulai mengusahakan alat ukur modern. Alat itu sendri belum tiba.
Susut 1 liter per 10 liter itu tidak sedikit. Aturan batas toleransinya hanya 5 persen. Di APMS Waiwerang, penyusutannya dua kali lipat. Agen untung, masyarakat buntung. Sudah puluhan tahun, koq sekarang baru mengadu?
Masyarakat masih sederhana. Belum tahu betul hak-haknya sebagai konsumen. Padahal, kita sudah punya UUPerlindungan Konsumen, 1999. Sebelum itu, 1981, sudah ada UU Metrologi Legal yang mengatur hal-hal berkaitan dengan ukuran, timbangan, takaran, dan pelengkapan (UTTP). Satuan metrik UTTP sendiri sudah diberlakukan di Indonesia sejak 1 Januari 1938. Sistem satuan ini menggantikan sistem satuan tradisional seperti elo, kati, kaki, dsb. Sedangkan istilah metrologi lahir seabad sebelumnya, 20 Mei 1875, di Paris, Prancis, ketika utusan 17 negara menandatangani Konvensi Meter.
Di Waiwerang? Sudah tahun 2009, abad 21, satuan metriknya masih abad 19. Tertinggal dua abad. Agen jual BBM pakai gayung blik. Kalau itu minyak tanah maka dari agen mampir dulu ke distributor, dan di tangan distributor alat takarnya lain lagi, pakai botol. Volumenya pun tambah susut. Sedangkan harganya tetap, malah naik, mahal. Sudah mahal, langka pula. Kasihan masyarakat. Perdagangan adil (fair trade) masih sebatas mimpi.
Apa saja kerjanya pemkab sampai ketidakadilan ini tetap berlangsung puluhan tahun? Apa pula kerjanya bidang metrologi dan perlindungan konsumen? Sepertinya tidak baca UU. Baik UU No 2 Thn 1981 tentang Metrologi Legal maupun UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
UU Metrologi Legal pasal 30 menegaskan, dilarang menjual, menawarkan untuk dibeli atau memperdagangkan dengan cara apa pun juga semua barang menurut ukuran, takaran, timbangan, atau jumlah selain menurut ukuran yang sebenarnya, isi bersih, berat, atau jumlah yang sebenarnya. UU Perlindungan Konsumen pasal 8 ayat 1c menandasakan, pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya. Jika melanggar dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar.
Hebatnya, nama dua UU ini diambil lurus-lurus menjadi nama bidang yang dibawahkan oleh Disperindag Flotim: Bidang Metrologi dan Perlindungan Konsumen. Nama mentereng. Hasilnya? Alat takar BBM di APMS Waiwerang masih pakai gayung blik. Konsumen pun tidak dilindungi.
Masyarakat Waiwerang sudah mengadu. Disperindag, bangunlah!
“Bentara” FLORES POS, Senin 18 Mei 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar