Kasus Tindak Pidana Pemilu 2009 di Ngada
Oleh Frans Anggal
Di Ngada, Kecamatan Soa, Desa Tarawaja, TPS 4, Pemilu 2009 membawa bencana bagi ketua KPPS dan ketua panwaslu. Vinsen A Ligo dan Maksimus Adam divonis 16 bulan penjara dan denda Rp12 juta subsider 4 bulan oleh PN Bajawa. Keduanya bersalah bersama-sama dengan sengaja menyebabkan hilangnya hak pilih pemilih dalam Pemilu 9 April 2009.
Pemilih yang dirujuk putusan ini, Bernadus Gili dan Nikolaus Liu. Niko tunanetra. Sedangkan Bernadus Gili buta huruf, mata rabun, dan lanjut usia. Menurut UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, pasal 156, pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai halangan fisik lain saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan pemilih.
Kata hakim, keinginan kedua pemilih untuk didampingi tidak diakomodasi KPPS dan panwaslu. Ini mengakibatkan hak pilih mereka hilang. Menurut pasal 260 UU Pemilu, setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, dipidana penjara paling singkat 12 bulan dan paling lama 24 bulan dan denda paling sedikit Rp12 juta dan paling banyak Rp24 juta.
KPUD Ngada menilai putusan ini kontroversial. Pertama, yang boleh dibantu hanya pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai halangan fisik lain. Yang dimaksudkan halangan fisik lain adalah sakit yang menyebabkan tangan tak bisa mencontreng. Buta aksara dan mata rabun tidak termasuk. Kedua, bantuan diberikan sejauh diminta si pemilih. Kedua pemilih justru tidak meminta.
Kedua terdakwa sudah menyatakan naik banding ke PT Kupang. Jaksa juga begitu. Kini tinggal menunggu putusan. Putusan PT bersifat final. Tak ada lagi peluang upaya hukum lebih tinggi. Oleh karena itu, putusan final diharapkan adil.
Terlepas dari siapa benar dan siapa salah, rumusan pasal 156 memang bermasalah. Di satu sisi, terlalu sempit, karena hanya mempersyaratkan halangan fisik. Bagaimana dengan buta aksara (buta huruf) yang jelas-jelas bukan halangan fisik tapi menjadi halangan saat memilih? Karena rumusan sempit atau tidak akomodatif itu, UU Pemilu sendiri sudah berpeluang menghilangkan hak pilih warga.
Di sisi lain, rumusan pasal 156 juga kabur. Frasa “halangan fisik lain”, misalnya. Apa persisnya? Apakah rabun juga termasuk? Dalam bagian penjelasan, tentang pasal ini dinyatakan “sudah jelas”. Padahal, tidak jelas. Diharapkan, dijelaskan dalam Peraturan KPU No 3 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara di TPS. Eh, tidak juga. Frasa “halangan fisik lain” malah diulang-ulang lagi, tanpa diuraikan persisnya apa. Ini menimbulkan beragam tafsir. Biang keroknya, UU itu sendiri. Rabun. Kabur.
Nah. Kasus tindak pidana pemilu di atas berakar juga dari kerabunan UU ini. UU rabun, semuanya ikut rabun. KPUD, panswalu, jaksa, hakim. Putusan final PT Kupang perlu mempertimbangkan kerabunan ini.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 22 Mei 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar