20 Oktober 2012

Sengkarut Kasus Marlina



Oleh Frans Anggal

Berita itu mengejutkan. “Marlina Dilarang Ikut Pelajaran Agama di Sekolah”. Flores Pos Kamis 4 Oktober 2012 mewartakan kasus yang me­nim­pa seorang siswi kelas XI SMK Negeri 1 Ende, Marlina Wely. Sepekan kemu­dian, kejutan lagi. “Marlina Dikeluar­kan dari SMKN 1 Ende”. Flores Pos  Kamis 11 Oktober melansir solusi pihak sekolah.

Di SMK Negeri 1 Ende, mulanya Marlina mengikuti pelajaran Agama Ka­tolik, karena dia mengaku Katolik. Belakangan, ketahuan dia telah ber­pindah ke Yehova,  sebuah sekte yang bu­kan aliran Protestan dan tidak me­miliki dasar pengakuan apostolik ber­sama dengan umat Kristen. Nama resmi sekte ini Saksi-Saksi Yehuwa di Indonesia (SSYI).

Karena sudah tidak Katolik lagi, Marlina dilarang ikut pelajaran Aga­ma Katolik oleh guru mata pelajar­annya. Ikut pelajaran Agama Kristen pun dia ditolak. Alasan gurunya, Yeho­va belum diakui dalam sinode Gereja Kristen di NTT. Sementara itu, pihak sekolah  tidak menyiapkan guru mata pelajaran Yeho­va. Maka, solusinya, Marlina dikeluar­kan. Keputusan ini didukung oleh Dinas Pendidikan, Pe­muda, dan Olahraga (PPO) Kabupaten Ende.

Dalam memberikan pelajaran aga­ma, sekolah negeri  tidak seleluasa se­ko­lah swasta. Meski UU Sisdiknas, Pa­sal 12, Ayat (1a) mengamanatkan setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak menda­pat­kan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama, sekolah swasta masih bisa mengelak bahkan menolak dengan alasan tertentu. Bisa berupa alasan teknis terbatasnya pembiayaan guru. Bisa pula berupa alasan lain yang lebih mendasar: oto­nomi yayasan. Yayasan tidak memak­sa siswa masuk ke sekolahnya yang mempunyai keunikan tertentu.

SDK Santa Urusla Ende, misalnya. Diselenggarakan oleh Yayasan Nusa Taruni Bhakti,  milik Ursulin, sebuah kongregasi Katolik. Sekolah ini punya keunikan: kekatolikannya dan spiri­tualitas Santa Angela. Maka, pela­jar­an agamanya adalah pelajaran Agama Katolik, satu-satunya, untuk semua murid apa pun agama mereka. Ini su­dah disepakati secara tertulis oleh orangtua/wali murid sejak awal murid ma­suk sekolah. Semua sekolah milik Ursulin di seluruh Indonesia mene­rap­kan hal yang sama.

Tidak demikian halnya pada  seko­lah negeri. Yaitu, sekolah yang dise­leng­garakan oleh negeri atau negara, dalam hal ini pemerintah. Aturan mainnya harus lurus-lurus ikut aturan pemerintah. Dengan risiko, kalau aturan dari atas itu bengkok, yang di bawah juga mau bilang apa ikut-ikutan bengkok. 

Dalam hal pelajaran agama, misal­nya. Selain harus mematuhi amanat UU sisdiknas, sekolah negeri juga mes­ti menaati peraturan menteri (permen) agama. Permen Agama RI Nomor 16 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Pen­didikan Agama pada Sekolah sudah memberikan batasan jelas dan tegas. Pen­didikan agama terdiri dari pen­di­dik­an Agama Islam, pendidikan Aga­ma Katolik, pendidikan Agama Kris­ten, pendi­dikan Aga­ma Hindu, pen­didikan Agama Bud­dha, dan pen­di­dik­an Aga­ma Khong­hucu.

Dengan per­men itu maka yang bo­leh di­ja­di­kan mata pe­­la­jaran aga­­­ma di se­ko­lah negeri ada­lah dan ha­nyalah mata pela­jar­an keenam agama itu. Di luar ke­enamnya, apalagi yang bukan agama, terlebih lagi yang tidak diakui peme­rintah, ya sorry saja. Dampaknya, peserta didik yang tidak menganut salah satu dari keenam agama itu tidak bisa terpenuhi haknya oleh sekolah.

Ini bukan sepenuhnya salah seko­lah. Sekolah hanya ikut lurus-lurus aturan dari atas. Dari segi aturan yang harus diikuti lurus-lurus, guru mata pelajaran Agama Katolik dan Agama Kristen pada SMK Negeri 1 Ende, yang menolak Marlina yang Yehova, tidak sepenuhnya dapat disalahkan. Sebab, kalau Marlina diterima maka kedua guru itu tidak dapat memenuhi amanat  UU Sisdiknas. UU ini mempersyarat­kan, setiap peserta didik mendapatkan pendidikan agama yang sesuai dengan agama yang di­anutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama dengannya.

Sebaliknya, kalau demi memenuhi hak Marlina, SMK Negeri 1 Ende me­nyiapkan guru khusus Yehova, maka dari segi aturan yang harus diikuti lurus-lurus, sekolah  ini dapat disalah­kan. Sebab, Yehova bukan agama dan tidak masuk dalam agama yang  boleh diajarkan di sekolah seba­gai­ma­na telah diatur oleh Permen Agama.

Posisi SMK Negeri 1 Ende terjepit. Jalan lain tidak ada. Marlina pun di­keluarkan dari sekolah. Dinas  PPO Kabupaten Ende menyetujuinya. Mung­kin agar Marlina  bisa menerima pe­lajaran Yehova pada sekolah yang bisa menyelenggarakannya.

Yang menjadi soal, seandainya se­mua sekolah di NTT, baik negeri mau­pun swasta, memakai alasan yang sa­ma seperti yang digunakan SMK Negeri 1 Ende, dan semua dinas PPO di NTT memberikan sikap yang sama seperti yang diperlihatkan Dinas PPO Kabu­paten Ende, maka dapat dipastikan Mar­lina dan Marlina-Marlina lain tidak bisa bersekolah di mana pun di NTT. Kalau ingin tetap bersekolah di NTT, tidak ada pilihan lain. Ber­hen­tilah sebagai Yehova. Kembalilah ke agama semula, itupun kalau masih di­terima. Atau, pindah ke agama lain, sa­lah satu dari  enam agama yang diakui pemerintah.

Dengan ini, kita hendak memper­lihatkan satu hal. Betapa di negeri ini hak warga negara atas pendidikan bisa hilang hanya karena  keyakinan yang dianutnya. Sulit untuk tidak menga­takan ini adalah pelanggaran atas hak-hak asasi manusia (HAM). Dalam Pasal 4 UU 33/1999 tentang HAM, hak beragama merupakan salah satu hak asasi ma­nu­sia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun.

Dalam penjelasan pasal ini, yang dimaksudkan dengan “dalam keadaan apa pun” termasuk dalam keadaan pe­rang, sengketa bersenjata, dan/atau ke­adaan darurat. Yang dimaksud dengan “siapa pun” adalah negara, pemerintah, dan/atau anggota ma­syarakat.

Masih dalam perspektif HAM, tindakan atas Marlina adalah tin­dak­an diskriminatif. Diskriminasi, menu­rut Pasal 1, Ayat (3) UU 39/1999 ten­tang HAM, adalah setiap pemba­tasan, pelecehan, atau pengucilan yang lang­sung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, go­longan, status sosial, status eko­nomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan po­litik, yang berakibat pengurangan, pe­nyimpangan atau penghapusan penga­kuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, buda­ya, dan aspek kehidupan lainnya.

Secara lebih khusus, tindakan atas Marlina  menyalahi prinsip penye­leng­garaan pendidikan yang telah diatur dalam  UU 20/2003 tentang Sisdiknas. Pasal 4, Ayat (1) UU ini menyatakan, pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjun­jung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan ke­majemukan bangsa.

Meski demikian, SMK Negeri 1 Ende tidak sepenuhnya dapat disa­lahkan. Sebab, di seberang yang lain, sekolah ini justru  mematuhi salah satu amanat UU Sisdiknas. Bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pen­didikan berhak mendapat­kan pen­didikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Juga menaati amanat Permen Agama, khusus dalam pengelolaan pendidikan agama di sekolah, yang hanya boleh terdiri dari pen­didikan Agama Islam, Katolik, Kris­ten, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Yehova? Tidak ada tempat.

Inilah sengkarut dunia pendidikan. UU yang satu tidak sejalan bahkan berlawanan dengan UU yang lain. Per­aturan yang di atas tidak sinkron de­ngan produk turunannya di  bawah. Seng­karut ini sudah dirasakan sejak awal ketika pendidikan agama di­masukkan dalam ruang  publik seko­lah 29 Desember 1945.

Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara, sebagai menteri pen­didikan, pengajaran, dan kebu­daya­an, sudah pesimistis dari awal. “Agama dalam pengajaran di sekolah adalah soal lama dan terus-menerus menjadi persoalan yang sulit.”

Kenapa sulit? Agama itu urusan privat. Namun dipaksa masuk ke ruang publik sekolah. Hasilnya, ber­masalah, dari dulu, sampai kini, dan  entah sampai kapan. Indonesia sedang dan terus mencari model yang tepat. Adakah model yang tepat? Mudah-mudahan ada. Namun, dikhawatirkan tak ada. Sengkarut kasus Marlina sudah mem­bayangkan sesuatu. Negeri ini mung­kin hanya akan  menjadi negeri yang tak pernah sampai. ***

“Opini” Flores Pos, Sabtu 20 Oktober 2012

13 Oktober 2012

“Quo Vadis” DPRD Ende?



Oleh Frans Anggal

Hari itu, Senin 24 September 2012. DPRD Ende menggelar rapat paripurna. Membahas tiga agenda. Rapat sudah dibuka ketika seorang anggota meminta sidang diskors. Alasannya, jumlah yang hadir belum memenuhi kuorum (Flores Pos, Jumat 28 September 2012).

Di mana mereka? Sebagian masih dalam perjalanan menuju kantor. Sebagian lain masih berada di rumah. Sekretariat DPRD diminta menjemput. Untuk menghadirkan orang-orang terlambat ini, sidang  diskors 30 menit.  Kemudian jadinya dua jam, karena  pada waktu bersamaan ada demo warga ke DPRD.

Anak SD saja tahu, terlambat berarti tidak tepat waktu. Dan tidak tepat waktu  cerminan sikap tidak disiplin. Disiplin tepat waktu itu paling mudah. Juga  paling gampang diukur. Kalau dalam hal enteng dan kuantitatif ini orang tidak disiplin, bagaimana bisa dipercaya dia berdisiplin dalam hal berat seperti mempertahankan dan memperjuangan kebenaran, keadilan, dan lain-lain yang kualitatif?

Kalau untuk  tepat waktu menghadiri rapat saja anggota DPRD Ende sudah tidak disiplin, bagaimana mungkin rakyat percaya bahwa mereka tepat tindakan dalam hal-hal lebih mendasar? Tidak tepat waktu, dengan demikian, bukan hanya soal presensial menyangkut kehadiran terlambat, tetapi juga soal esensial menyangkut kualitas diri yang gawat. Banyak contoh diwartakan Flores Pos. Sekadar ilustrasi, di sini hanya dinukilkan dua kasus dari berita 2010 dan 2011. 

Tahun 2010. Pusat Kajian dan Advokasi Masyarakat Indonesia (Pusam) Ende mengumumkan: setiap kali sidang banyak anggota DPRD Ende 2009-2014 yang diam. Pemantauan setahun: hanya beberapa anggota yang aktif bicara dalam rapat. Dari 27 anggota, 6 tidak pernah bicara, 9 jarang, 12 sering. Di jajaran pemimpin, ada yang belum pernah memimpin rapat (Flores Pos, Rabu 22 September 2010).

Ini tidak disiplin. Dalam arti, tidak tepat tindakan. Mereka diam justru pada saat seharusnya mereka bicara.

DPRD itu lembaga politik: tempat politik diaktifkan. DPRD juga lembaga demokrasi: tempat demokrasi dirawat, sekaligus diuji. Menurut sosiolog Ignas Kleden dalam  Goenawan Mohamad (1994), demokrasi bertahan justru karena orang bersedia mengujinya. Yaitu, menguji semua konsekuensinya sampai pada batas paling ekstrem, seperti yang dialami Lincoln dengan perang saudara, Kennedy dengan krisis rasial, atau Nixon dengan krisis konstitusi.

Politik tidak mungkin diaktifkan dengan diam. Demokrasi tidak mungkin dirawat dengan bungkam. Oleh hakikat lembaga DPRD sebagai tempat politik diaktifkan dan demokrasi dirawat, anggotanya tidak boleh diam. Harus bicara. DPRD bukan tempat samadi. Bukan tempat retret.

Di sisi lain, aktif bicara tetapi ngawur juga tidak disiplin, tidak tepat tindakan. Sebagaimana bicara tak boleh asal bicara, demikian pula diam tak boleh asal diam. Diam sebagai “metode” itu perlu. Refleksi dan kontemplasi membutuhkan diam. Kreasi dan inovasi pun demikian. Sehingga, saatnya bicara, bicaranya berkualitas.

Sebaliknya, diam sebagai “sikap” haruslah ditolak. Selama setahun, 6 anggota DPRD Ende tidak pernah bicara saat sidang. Ini  bukan “metode” lagi. Ini “sikap”. Sikap yang menunjukkan mereka tidak disiplin. Tidak tepat tindakan. Dan secara esensial, memperlihatkan mereka tidak cerdas.

Tahun 2011.  Kali ini bukan perkara diam, tetapi perkara bicara. Yang jadi soal, bicaranya tidak hanya pakai mulut tetapi juga pakai lengan. Hari itu, Senin 24 Mei. Rapat gabungan komisi  bersama pemerintah. Buntutnya ricuh. Setelah menutup rapat, wakil ketua  "membuka" babak baru bersama seorang anggota. Babak nyaris adu jotos (Flores Pos Selasa 24 Mei 2011).

Konon, tersinggung oleh pernyataan si anggota, wakil ketua naik pitam. Ia mengejar anggota. Anggota lari ke luar ruang sidang. Karena tak bisa mengejar, wakil ketua merenggut peralatan sound system ruang sidang dan melempari  anggota. Tidak kena. Anggota lari hingga jalan raya dan meninggalkan gedung DPRD.

Ini tidak disiplin. Tidak tepat tindakan. Pertama, tidak tepat menggunakan peralatan sound system. Peralatan untuk bicara, koq, dipakai untuk melempar orang. Kedua, tidak tepat mengolah dan menyalurkan emosi. Jadinya seperti orang gila. Benar kata Horace, amarah adalah kegilaan singkat. Ira furor brevis est.    

Bahwa semua orang bisa marah, iyalah. Yang menjadi soal,  marah yang bagaimana. Caranya akan menunjukkan seseorang itu matang atau belum. Ini pulalah yang membedakan orang dewasa dari anak-anak. Perbedaan itu melahirkan pembedaan anak timbangan. Bobot anak timbangan tidak boleh sama atau disamakan. Dalam perbuatan mencuri, misalnya, yang sama alasan, tujuan, dan caranya, anak timbangan bagi orang dewasa  harus lebih berat daripada anak timbangan bagi anak-anak.

Atas dasar itu, laku amuk wakil rakyat tidak boleh didalihkan dengan pemaafan bahwa mereka juga manusia, bukan malaikat. Sebaliknyalah yang harus dikatakan: mereka sebenarnya orang waras, bukan orang gila. Dengannya, laku amuk itu memperlihatkan mereka tidak disiplin. Tidak tepat tindakan. Tidak tepat mengolah dan menyalurkan emosi. Bertingkah amuk dan kekanak-kanakan pada saat seharusnya mereka bertindak waras dan matang. Ini juga pertanda mereka tidak cerdas.  Action is the real measure of intelligence,” kata Napoleon Hill. Tindakan adalah ukuran sejati kecerdasan.

Dipilih dan dilantik 2009, tiga tahun sudah anggota DPRD Ende berkarya. Selama tiga tahun, mereka sudah memiliki banyak pengalaman, banyak pengetahuan, dan tentu banyak pendapatan---apalagi kalau sinyalemen sejumlah kontraktor benar: ada anggota dewan yang ikut bermain tender proyek (Flores Pos Kamis 11 November 2010). Memiliki lebih banyak (having more)  semestinya mendorong mereka menjadi lebih baik (being better). Minimal,  dalam hal hadir dan tepat waktu menghadiri rapat. Ini tidak terjadi.

Seperti diberitakan, Ketua Badan Kehormatan DPRD Ende H. Muhamad Taher menyesalkan peristiwa Senin 24 September 2012. Menurut dia, dalam menghadiri rapat, anggota DPRD Ende semakin tidak displin. Kata “semakin” menunjukkan adanya gradasi dan intensitas negatif.

Diproses atau ditegur saja oleh badan kehormatan, apa susahnya?  Ternyata susah. Tata tertib sudah mengatur, anggota dewan baru bisa diproses atau ditegur kalau mangkir enam kali berturut-turut. “Kalau ada anggota dewan yang jarang hadiri sidang tetapi tidak (enam kali) berturut-turut, kami tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Taher.

Diubah saja tata tertibnya, apa sulitnya?  Ternyata sulit. “Saya sudah pernah tanya orang pusat untuk bisa mengubah ini,” kata Taher, “tetapi sampai sekarang belum terwujud.” Wah, ternyata tata tertib yang penuh lubang tidak tertib itu diseragamkan dari pusat, yang notabene sudah lama dikenal sebagai pusatnya tidak tertib.

Maka, jadilah badan kehormatan seperti anjing yang diikat. Menggonggong tetapi tak leluasa menggigit. Jadinya, badan kehormatan silakan kesal, anggota dewan lenggang kangung terlambat terus. Sebab, patokan mereka tata tertib keropos itu. Maka, jangankan datang terlambat, tidak  hadiri sidang pun tidak apa-apa sejauh tidak enam kali berturut-turut.

Tampaknya, yang  jadi  soal di sini adalah tata tertib. Maka, langkahnya adalah pengetatan tata tertib. Juga, tentu, penguatan kelembagaan badan kehormatan. Di sisi lain, yang sebenarnya inti soal adalah individu anggota dewan. Mereka mencari keuntungan pribadi di celah-celah keroposnya tata tertib. Maka, langkahnya adalah pemberdayaan individu. Ini turut menjadi tugas parpol, bukan hanya tugas DPRD.

Selagi kedua langkah tersebut belum diambil, satu hal patut diingat. Di mata tata tertib, sikap tidak disiplin wakil rayat boleh saja ditoleransi. Tetapi tidak di mata rakyat. Alasannya sederhana. Kalau dalam perkara kecil tepat waktu, mereka sudah tidak disiplin, bagaimana mungkin mereka bisa dipercaya tepat tindakan dalam perkara besar?

"Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar ” (Lukas 16:10).

Nah. Quo vadis DPRD Ende? Engkau mau ke mana? ***

"Opini" Flores Pis, Sabtu 13 Oktober 2012

06 Oktober 2012

Mata Hati Melawan Lupa

Oleh Frans Anggal



Senin, 1 Oktober 2012. “Selamat mengenang awal tragedi terbesar di negeri ini, 47 tahun lalu, saat ribuan orang dibunuh dan ribuan lain dipenjara tanpa proses peradilan.”

Kata-kata itu tertera pada dinding akun Facebook Hery Prabowo, seorang sahabat, jurnalis di Jakarta. Dia satu dari sedikit orang yang sedang melawan lupa. Dia tetap mengenangkan kejadian selepas 30 September 1965, seraya mengingatkan sesamanya  agar tidak pernah lupa.

Berapa persisnya korban terbantai setelah G-30-S,  belum dipastikan. Dari 39 artikel himpunan Robert Cribb (1990), jumlahnya berkisar 78 ribu hingga 2 juta. Kalau dirata-ratakan, 432.590. Sebagian besar sejarahwan sepakat, minimal 500 ribu orang dihabisi. Ini jumlah terbesar dalam sejarah Indonesia.  Sedangkan jenisnya, di tingkat dunia, ini salah satu kejahatan terbesar terhadap kemanusiaan  pada paro kedua abad 20.

Karakteristik pembantaian massal itu pun khas. "Mereka (para algojo) menggunakan pisau atau golok," tulis Cribb. Dengan kata lain, peralatannya sederhana. Tidak seperti Nazi di Jerman, misalnya, yang  membunuh massal orang Yahudi dengan teknologi canggih masa itu: kamar gas.

Demikian pula tempat pembantaiannya, sederhana. Umumnya para calon korban  dibunuh dekat rumah mereka sendiri. "Biasanya malam hari," tulis Cribb. Berbeda dengan Nazi yang harus jauh-jauh menggiring  calon korban ke kamp-kamp konsentrasi.

Proses pembantaiannya pun singkat. Beberapa bulan, tuntas. Tidak demikian waktu yang  dibutuhkan Nazi atau Khmer Merah. Rezim Hitler di Jerman dan Pol Pot di Kamboja membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Pembantaian massal ala Indonesia ini  cepat, mudah, murah, juga meluas, dan pasti karena terencana, dengan demikian pula sesungguhnya  sistematis. Karakteristik ini menunjukkan orkestrasi kematian itu punya konduktor andal,  dari pucuk kekuasaan negara, melalui rentang kendali aparatur negara, dalam koordinasi apik aparat terlatih. Tidak terbantahkan, ini adalah kejahatan negara.

Pelakunya? Komnas HAM, yang menyelidik empat tahun sejak 2008, mempunyai jawaban atas dugaan pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan ini.  Kata Wakil Ketua Nurcholis dalam jumpa pers di Jakarta, Senin 23 Juli 2012, yang dianggap bisa dimintai pertanggungjawaban adalah semua pejabat struktural Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada 1965-1968 dan 1970-1978 serta semua panglima militer daerah saat itu (www.bbc.co.uk).

Akankan pelaku ditindak? Jawabannya tergantung pada Kejaksaan Agung,  institusi yang berwenang melakukan penyelesaian yudisial. Yang terbayangkan,  itu pasti tidak mudah. Sebab, kejahatan ini kejahatan negara, yang bersifat impersonal dan massal. 

Menurut kriminolog Adrianus Meliala (2006), semakin personal pelaku suatu kejahatan atau penyimpangan maka semakin mudah kejahatan atau penyimpangan itu dilihat, diperlakukan, dan ditindak. Sebaliknya, semakin  impersonal dan massal pelaku dan korbannya maka  semakin tidak mudah  pula kejahatan atau penyimpangan itu diperlakukan, apalagi ditindak.

Preposisi kriminologis ini menawarkan solusi, yang tentu masih bisa diperdebatkan. Bahwa, terhadap dugaan kejahatan yang dilakukan entitas sebesar negara, harapan akan penyelesaian yudisial  berkemungkinan besar akan jauh panggang dari api. Kemungkinan solusi terbaik adalah solusi melalui konsolidasi sosial-politik antar-elemen non-negara. Bukan solusi dengan membawa kasusnya ke jalur hukum.

Solusi non-yudisial itu dimungkinkan. Sebab, mekanismenya sudah ada, melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi, sebagaimana diatur dalam pasal 47 ayat 1 dan 2 UU Pengadilan HAM.

Dalam konteks ini, pernah terbetik rencana Presiden SBY mengajukan permintaan maaf kepada para korban semua pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Air sejak Indonesia merdeka.

Menanggapi rencana ini, ahli filsafat politik Franz Magnis-Suseno SJ menurunkan opini yang mendukung (Kompas, Sabtu 24 Maret 2012). “Dengan minta maaf,” tulis Magnis-Suseno,  “kita akan dibebaskan dari sisa kebencian dan dendam warisan pemerintahan Soeharto. Kita tahu, orang yang hatinya masih ada dendam dan benci tak dapat menghadap Pencipta dengan rasa baik. Kita pun ikut bersalah. Bersalah karena kita tidak menyebutkan jahat apa yang jahat, bersalah karena tidak mengakui para korban sebagai korban. Permintaan maaf akan membebaskan hati kita juga.”

Sulastomo, Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam 1963-1966, beropini sebaliknya: rencana itu  tidak pantas didukung (Kompas, 31 Maret 2012).  “Kalau benar presiden hendak minta maaf atas peristiwa 1965 itu, siapa yang harus meminta maaf ketika partai-partai lawan PKI dibubarkan, pemimpin Masyumi/PSI dipenjarakan tanpa diadili, pemimpin teras TNI/Angkatan Darat diculik dan dibunuh, demikian juga korban peristiwa Madiun 1948?”

Menurut Sulastomo, minta maaf pada salah satu golongan saja lebih bersifat politis, dengan demikian akan tetap meninggalkan implikasi politik. “Dengan pertimbangan seperti itu, Presiden SBY tak perlu minta maaf atas kejadian 1965. Pendekatan budaya justru akan lebih memperkukuh upaya rekonsiliasi nasional.”

Beberapa tahun sebelumnya Presiden SBY menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Syafrudin Prawiranegara, tokoh yang menurut Sulastomo dapat merepresentasikan pemimpin Masyumi yang hak-hak sipilnya pernah direnggut. “Kebijakan Presiden SBY itu bisa dianggap sebagai penyelesaian dengan pendekatan budaya terhadap pelanggaran HAM yang dialami tokoh Masyumi dan anggotanya yang banyak dipenjarakan tanpa diadili.”

Hingga di sini, bentuk penyelesaian yang paling mungkin tampaknya masih akan menjadi wacana panjang.  Lagi pula,  merujuk Magnis-Suseno, masalahnya tidaklah sederhana, bahwa pembunuhan itu kebijakan terencana Soeharto. Sesungguhnya, pembunuhan itu—di dalamnya militer memang sangat terlibat—merupakan akibat dari akumulasi ketegangan bertahun-tahun. Yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab Soeharto adalah kebijakan resmi negara sesudah 11 Maret 1966, berupa penghancuran kehidupan serta stigmatisasi ”terlibat” atau “tak bersih lingkungan”, yang menciptakan benci dan dendam gelap.

Di tengah silang pendapat ini, apa yang bisa dilakukan warga? Sesuatu yang sederhana namun bermakna? Jawabannya diperlihatkan Hery Prabowo. Ia mengenangkan peristiwa itu. Peristiwa penumpasan kudeta PKI, yang berujung pembunuhan massal terhadap semua yang dicap komunis, disusul kebijakan negara yang menghancurkan hidup serta menstigmatisasi terkutuk jutaan masyarakat yang sejatinya tidak terlibat, dengan ratusan ribu orang ditahan selama lebih dari sepuluh tahun, yang hampir semuanya tidak melewati proses peradilan. Mengenangkan peristiwa itu dan korbannya merupakan langkah melawan lupa.
  
Langkah ini penting, karena selama 32 tahun Orde Baru, mata hati warga dipenuhi debu manipulasi sejarah melalui historiografi yang dimonopoli penguasa. Di dalamnya, yang satu diperlihatkan, yang lain disembunyikan. Yang satu diingatkan, yang lain dilupakan. G-30-S  dikenang, tetapi dengan politik ingatan hanya pada  kebiadaban PKI, titik. Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober dikenang, tetapi  dengan politik ingatan hanya pada kepahlawanan Soeharto, titik.

Selama 32 tahun, warga  tidak berani mengenang  sesuatu yang sengaja dihilangkan penguasa dari ingatan mereka. Yaitu, kejahatan negara membantai dan memenjarakan massal rakyatnya sendiri tanpa proses peradilan.

Sejarah memang sering hanyalah sejarahnya pamenang, bukan sejarahnya pecundang. Sejarahnya penguasa, bukan sejarahnya jelata. Penyair Bertolt Brecht menyadari ini ketika melalui puisinya ‘menatap’ Tembok Tiongkok.  // Pada malam ketika Tembok Tiongkok jadi, /  Ke mana para tukang batu pergi?//   Tak ada jawaban. Para tukang batu itu tidak tercatat. Hanya para kaisarlah yang disebut-sebut.

Lebih dramatis, ‘tatapan’ sosiolog Peter L. Berger  pada piramida di Mesir. Ia tidak menanyakan ke mana para tukang batu pergi setelah piramida dibangun. Tetapi, berapa banyak  tukang batu yang mati. Di mata Berger, piramida itu tidak hanya piramida kemashyuran firaun, tapi juga dan terutama ‘piramida korban manusia’ (pyramids of sacrifice).

Mata hati Brecht  ‘menatap’ Tembok Tiongkok dan mata hati Berger ‘menatap’ piramida di Mesir  sesungguhnya sama dengan mata hati Hery Prabowo cs ‘menatap’  1 Oktober. Mata hati yang celik setelah bersih dari debu manipulasi sejarah penguasa. Mata hati, yang akhirnya berani mengakui kejahatan sebagai kejahatan,  korban sebagai korban. Sebuah mata hati melawan lupa. ***

“Opini” Flores Pos, Sabtu 6 Oktober 2012

01 Oktober 2012

Kejutan dari Lembata



Oleh Frans Anggal

Badan Anggaran (Banggar) DPRD Lembata bikin kejutan. Diwartakan Flores Pos medio September 2012, banggar mengusulkan agar setiap anggota DPRD mendapat fasilitas mobil. Dalam cakaran pemkab,  dengan jumlah anggota DPRD 22 orang, dikalikan dengan harga mobil sekitar Rp200 juta per unit, maka dana APBD yang harus digelontorkan sekitar Rp4 miliar.

Ini kejutan. Dalam nalar publik, yang mendesak dipenuhi bukanlah pembelian mobil bagi wakil rakyat, melainkan perbaikan infrastruktur dasar jalan raya bagi semua rakyat. Banyak ruas jalan raya di Lembata yang rusak sana-sini. Tidak sedikit pula yang  masih berupa jalan tanah. Koq, yang terlintas dalam benak banggar bukan bagaimana agar jalan-jalan itu diperbaiki dan ditingkatkan mutunya, tetapi bagaimana agar semua wakil rakyat memperoleh fasilitas mobil.

Dalam kondisi infrastruktur dasar jalan raya yang masih sangat memprihatinkan, tidak meleknya banggar menunjukkan mereka tidak memiliki sense of crisis, yaitu kepekaan merasakan gentingnya masalah. Di sisi lain, tidak tergeraknya mereka mendahulukan perbaikan dan peningkatan kualitas infrastrutur dasar itu memperlihatkan mereka tidak mempunyai sense of urgency, yakni kepekaan merasakan mana yang mendesak didahulukan. Dalam perkara rasa, mereka cuma merasa tahu tetapi tidak tahu merasa. Mereka cuma merasa peka tetapi tidak peka merasa. Mereka sudah pekak-rasa, tidak lagi peka-rasa.

Perkara rasa pernah heboh pada sebuah kabupaten di Flores beberapa tahun lalu. Pemkab Ende membeli sebuah mobil mewah Toyota Land Cruiser miliaran rupiah untuk bupati. Nalar publik langsung menilai pemkab tidak punya sense of crisis dan sense of urgency. Yang menjadi pertanyaan: patutkah bupati sebuah daerah yang infrastruktur dasar jalan rayanya masih buruk menggunakan mobil mewah miliaran rupiah? 

Jawaban Pemkab Ende kala itu: patut, bahkan harus. Sebab, medan di Kabupaten Ende berat. Jalannya buruk. Mobil biasa tidak bisa tembus ke desa-desa. Hanya mobil sekelas Toyota Land Cruiser yang bisa menerobos medan berat itu. Dan itu benar, masuk akal seratus persen. Toyota Land Cruiser adalah mobil serbaguna. Land Cruiser terkenal dengan ketangguhannya di medan berat.

Yang dipertanyakan publik: kalau jalan buruklah yang menjadi masalah, mengapa bukan jalan itu yang diperbaiki? Seandainya jalan diperbaiki atau ditingkatan mutunya maka bukan hanya bupati dengan Land Cruisernya tetapi semua orang dengan kendaraan apa saja bisa dan mudah mencapai desa-desa. Rakyat dari desa pun akan gampang memasarkan hasil mereka ke kota. Jadi? Dari segi kepentingan umum, Land Cruiser bukan jawaban tepat. Land Cruiser hanya menjawabi kepentingan bupati. Kalau kepentingan bupatilah yang paling penting, bukankah lebih efektif membeli sebuah helikopter?  Sebab, helikopter tidak membutuhkan jalan raya. Tanpa jalan raya, dengan helikoper, bupati bisa ke pelosok mana pun.   

Gugatan yang sama patut dialamatkan kepada Banggar DPRD Lembata yang mengusulkan pembelian mobil bagi  setiap anggota DPRD di tengah kenyataan masih sangat memprihatinkannya infrastruktur dasar jalan raya di kabupaten itu. Meskipun, dalam berita Flores Pos tidak tersurat alasan dari usulan itu. Yang terlansir hanyalah tujuannya, yakni untuk kepentingan rakyat. Maksudnya, untuk memperlancar mobilitas segala urusan para anggota dewan demi kepentingan rakyat.

Kalau tujuannya memperlancar mobilitas maka itu berarti salama ini, selama belum ada mobil dinas per anggota, mobilitas para wakil rakyat belum benar-benar lancar. Supaya lancar betul, ya, harus beli mobil. Taruhlah, mobil itu dibeli. Apa yang terjadi dalam kondisi infrastruktur dasar jalan raya yang bertebaran lubang di sana-sini? Sebagaimana kendaraan lain yang digunakan masyarakat umum selama ini, 22 mobil DPRD Lembata itu akan semaput juga. Lain halnya kalau yang dibeli adalah Toyota Land Cruiser seperti yang digunakan bupati Ende, dan itu berarti APBD Lembata harus mengucurkan Rp22 miliar lebih. Atau, agar mobilitas para wakil rakyat (yang katanya demi kepentingan rakyat) itu  tetap mudah, cepat, dan lancar, meskipun tak ada lagi jalan raya di Lembata, maka lebih efektif  membeli 22 helikopter, dan itu berarti APBD Lembata langsung habis bahkan minus.

Dengan uji penalaran seperti ini,  terlihat betapa Banggar DPRD Lembata tidak menempatkan usulannya dalam etika pelayanan publik. Padahal, merujuk Kathryn G. Denhardt (1988), agar dianggap etis maka para wakil rakyat perlu menguji dan mempertanyakan standar atau  asumsinya sebagai dasar pembuatan usulan atau keputusan. Standar atau asumsi itu harus mencerminkan nilai-nilai dasar masyarakat, yang meliputi kebebasan, kesetaraan, keadilan, kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

Nilai-nilai dasar masyarakat itulah yang hilang dalam usulan banggar, selain terinjak habisnya nalar publik. Padahal, dalam tupoksinya sebagai banggar, mereka tetaplah wakil rakyat, yang secara etis berkewajiban mendahulukan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi. Dalam konteks usulannya, mereka berkewajiban mengutamakan perbaikan dan peningkatan mutu jalan raya yang digunakan semua orang, bukan mendahulukan pembelian mobil yang dipakai hanya oleh segelintir orang, diri mereka sendiri. Yang harus menjadi lokus dan fokus, pusat dan kiblat mereka adalah rakyat dan kepentingan umum. Ini justru tidak tampak. Banggar DPRD Lembata melakukan penjungkirbalikan. Mereka menjadikan diri mereka sendiri lokus dan fokus, pusat dan kiblat. Sebuah egosentrisme sekaligus egoisme.

Pada banyak persoalan etis seperti ini,  wakil rakyat gemar memakai argumentasi teknis. Jadinya tidak nyambung, padahal mereka penyambung lidah rakyat. Lazimnya argumentasi teknis mereka meliputi empat hal: aturan, prosedur, anggaran, dan kesepakatan. Pertimbangan prosedural-teknis mereka gunakan untuk menghadapi persoalan substansial-etis. Etiket mereka pakai untuk menghadapi etika.

K. Bertens (2000) menjelaskan perbedaan antara etika dan etiket secara sederhana. Etika mengacu pada norma tindakan. Pertanyaannya, apakah tindakan itu baik (boleh) atau buruk (tidak boleh) dilakukan. Mencuri, misalnya, jelas tidak baik, kapan pun, di mana pun, atas cara apa pun, dengan alasan dan tujuan apa pun. Sedangkan etiket mengacu pada  tata cara tindakan dilakukan. Pertanyaannya, apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kebiasaan yang berlaku. Dalam budaya masyarakat tertentu, memberi dengan tangan kiri itu melanggar etiket, melanggar sopan santun, tetapi tidak pada masyarakat berkebudayaan lain. Karena itu, kata Bertens, etika berlaku universal dan mengutamakan sikap batin. Sedangkan etiket berlaku parsial, dan mengutamakan simbol lahiriah.

Dikhawatirkan, etiket alias argumentasi prosedural-teknislah yang akan dimenangan DPRD Lembata dalam perjuangannya yang sudah kebelet mendapat mobil dinas. Hal seperti sudah terjadi di Kabupaten Sikka, seperti diwartakan Flores Pos  pekan pertama dan kedua September 2012. DPRD Sikka  membangun tiga rumah jabatan  (rujab) pimpinan Rp2 miliar lebih di tengah kenyataan sudah ada rumah dinas dan masih memprihatinkannya kondisi banyak infrastruktur dasar dan fasilitas publik. Argumetasi mereka betul-betul prosedural-teknis. Bahwa, pembangunan rujab itu sudah ditetapkan dan dianggarkan sesuai dengan aturan dan mekanisme yang berlaku.

Akan demikian jugakah sikap DPRD Lembata menyahuti usulan banggar? Mudah-mudah tidak. Angin segar telah diembuskan Ketua Partai Golkar Lembata Yohanes de Rosari yang adalah juga ketua DPRD Lembata. Diwartakan Flores Pos Selasa 25 September 2012, Yohanes de Rosari menolak usulan banggar. Alasannya, masih banyak kebutuhan masyaraat seperti air, listrik, dan jalan yang harus diperhatikan serius oleh Pemkab dan DPRD Lembata. Argumentasinya adalah argumentasi substansial-etis. Argumentasi seperti inilah yang seharusnya dimenangkan oleh banggar.

Mudah-mudahan Yohanes de Rosari tidak sendirian. Masih ada 21 anggota DPRD Lembata yang sikapnya sedang ditunggu-tunggu oleh rakyat. Apakah mereka juga akan menempatkan yang substansial-etis di atas yang prosedural-teknis? Mengutamakan etika daripada etiket? Mendahulukan yang pupulisentris dan altruistis ketimbang yang egosentris dan egoistis? Jawaban atasnya akan memperlihatkan jatidiri DPRD Lembata sesungguhnya. Apakah mereka wakil rakyat autentik, ataukah cuma wakil rakyat statistik. ***

“Opini” Flores Pos, Sabtu 29 September 2012