08 Februari 2012

Lebih Jauh dengan Bupati Marianus Sae (5/Habis)


“Menanam Pohon Itu Investasi yang Cerdas”

Oleh Frans Anggal

MELEWATI sedikit pendakian, tibalah kami di punggung bukit. Di sebelah kiri jalan, di kerendahan, ada perumahan warga dan kantor desa. Jelas tertulis pada papan namanya: Desa Sobo 1, Kecamatan Golewa.

"Ini desa baru, hasil pemekaran," kata Bupati Marianus sambil banting setir ke kanan. Mobil mulai merayapi jalan tanah. Agak mendaki.

"Itu di bawah, kompleks sekolah gratis," katanya seraya mengarahkan pandangan ke kiri. Kami melihatnya dari kejauhan. Yang tampak hanya atap sengnya. Mobil terus merayap.

"Yang ini rumah guru," katanya. Lima buah rumah itu terletak persis di pinggir ruas jalan tanah yang sedang kami lalui. Beberapa lelaki sedang berkumpul. Bupati Marianus bertegur sapa dengan mereka. Tiba-tiba seorang wanita muncul dari balik pintu rumah.

"Ae… Ka'e!" sapa Bupati Marianus, pakai teriak. Keduanya berbicara gunakan bahasa daerah. Saya tidak mengerti, kecuali satu kata itu: "ka'e" yang berarti kakak. Sepanjang jalan dari Bajawa hingga Zeu, sapaan kekeluargaan seperti itulah yang Bupati Marianus gunakan setiap kali bertegur sapa dengan siapa saja yang dijumpainya. Saya menduga, wanita itu guru atau istri guru pada sekolah gratis itu.

Seperti pernah diwartakan Flores Pos tiga tahun silam, pendidikan gratis deselenggarakan Flores Village Development Foundation (FVDF) di Zeu. Ketua yayasannya Marianus Sae. Latar belakangnya: keprihatinan terhadap banyaknya anak putus sekolah dasar. Lahannya 10 ha, hibah murni dari suku Langa, tanpa ganti rugi.

FVDF sendiri beranggotakan 7 orang. Lima di antaranya warga negara asing: 4 dari Australia, 1 dari Amerika Serikat. Seluruh kebutuhan sekolah ditanggung yayasan. Pakaian seragam, sepatu, uang sekolah, dll. Tiap hari anak-anak diberi makan siang.

Tahap pertama telah dibangun dua kelas TK dan dua kelas SD. Nanti akan dibangun gedung untuk SMP, SMA, dan SMK. Juga laboratorium, poliklinik, lapangan sepak bola, voli, dan bengkel kayu. Rumah guru 33 unit. Yang sudah dibangun dan ditempati 5 buah.

Yang ditekankan dalam pendidikan gratis ini adalah bahasa asing, paling kurang bahasa Inggris. Guru yang direkrut harus bisa berbahasa Inggris. Sekolahnya mulai beroperasi 2009, setahun sebelum Marinaus Sae jadi bupati.

"Anak sekolah di sini sudah bisa bahas Inggris," kata Bapati Marianus.


MOBIL memasuki hamparan lahan yang agak datar. Kiri kanannya penuh tanaman jagung, setinggi 1-2 meter. Mobil terus melaju, lahan makin datar. Selanjutnya membelok ke kanan. Duhai! Mata tertumbuk pada pepohonan. Tertanam rapi, lebat, hijau, dan tak terhitung jumlahnya.

Sejauh mata memandang, yang tampak adalah jati emas dan mahoni. Maklum, jumlahnya mencapai 54.800 pohon. Tengah subur-suburnya tumbuh di atas lahan 45 ha, dengan jarak tanam 2 x 3 meter.

Memilih jatih emas tentu ada dasarnya. Jati emas (Fast Growth Golden Teak) memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan kayu jati lokal. Daya tumbuhnya cepat. Tingkat kelurusannya tinggi, mudah untuk pengerjaan masinal. Seratnya lurus. Warnanya kuning keemasan. Ini jadi trend setter dalam tradisi warna furnitur di Amerika, Eropa, dan Jepang. Dengan masa panen yang cepat 5 sampai 15 tahun, jati emas dikenal sebagai tanaman jenis keras yang berumur pendek, tidak seperti jati lokal yang masa panennya pada umur 40 tahun.

Adapun mahoni (Swietenia macrophylla), kualitas kayunya berada sedikit di bawah kayu jati, sehingga sering dijuluki sebagai primadona kedua dalam pasar kayu. Kayunya keras dan sangat baik untuk meubel, furnitur, barang-barang ukiran, dan kerajinan tangan. Sering juga dibuat penggaris karena sifatnya yang tidak mudah berubah.

"Kita jalan terus ke sana," kata Bupati Marianus usai kami mendecak-kagumi tanaman jati pada blok pertama. Mobil menerjang belukar ilalang setinggi 1-2 meter. Kami mengira ia berjalan sembarangan. Ternyata tidak.

"Ini semua ada jalannnya, hanya belum dibersihkan," kata Bupati Marianus.

Keluar dari belukar ilalang, mobil menikung ke kanan, masuk ke blok lain. Lalu berhenti. Kami semua turun. Ini hutan mahoni. Terhampar hingga tak terlihat lagi ujungnya. Saya coba ukur diameter pohonnya. Pas satu lingkaran jari dua tangan, sekitar 20 cm.

"Ini umurnya berapa Pak Bupati?"

"Dua tiga tahun."

"Tingginya?"

"Sekitar 8 meter."

Baru 2-3 tahun, tingginya sudah sebegini. Apalagi kalau sudah siap panen.

"Panennya pada umur 16-18 tahun," kata Bupati Marianus. "Tinggi maksimalnya 30 meter. Diameternya 60-80 cm."

Itu mahoni. "Kalau jati emas, usai panennya 20 tahun," katanya. "Kalau kelurusannya dijaga, diameter 60-70 cm dengan tinggi 5 meter bisa hasilkan 1 kubik. Harganya sekarang Rp12,5 juta."

Hitung saja. "Tanam 1.500 pohon, sisa 1.000 pohon, hasilnya Rp12,5 miliar."

Bagaimana dengan biaya perawatan dll? Untuk 54.800 pohon di atas lahan 45 ha hingga panen nanti, Bupati Marianus sudah hitung. Total biaya perawatan tambah gaji karyawan 15 orang bisa tembus Rp2 miliar. Gaji terendah karyawannya Rp1 juta per bulan.

Mahalnya biaya perawatan! "Apa artinya Rp2 miliar dibanding ratusan miliar?" jawabnya. "Sekarang saja dari Bali sudah ada yang tawar (mau beli) Rp400-500 ribu per pohon. Saya tolak."

Menurut Bupati Marianus, kita capek hanya 5 tahun pertama. "Tahun ke-5 tak ada perawatan lagi karena sudah tidak ada rumput."

Sudah bisa dibayangkan, seperti apa kaya rayanya seorang Marianus Sae belasan tahun yang akan datang. Tentang ini, ia ulangi komentar seorang menteri. Kata menteri itu, "Belasan tahun lagi, Pak Marianus ini tidak hanya tidur di atas uang, tapi uang tidur di atas dia!"


REMBANG petang. Kembali dari kebun jati emas dan mahoni, kami mampir di rumah Bupati Marianus. Sebuah rumah beratap joglo. Di depannya ada bak ikan, dua kolam. Para tukang sedang sibuk mengelas kerangka baja untuk rumah panggung di atas dua kolam itu.

"Kalau sudah jadi, nanti kita bisa duduk di tengah kolam sambil mancing," kata Bupati Marianus kepada Pater John Dami Mukese SVD. Pemimpin umum Flores Pos ini angguk-angguk sambil tertawa renyah.

Kami ngobrol lama di pinggir kolam itu sebelum diajak Ibu Maria Moi Keu masuk rumah untuk minum dan santap malam.

"Menanam pohon itu investasi yang cerdas." Itu kata-kata Bupati Marianus di kebun, yang masih terngiang di telinga saya hingga kami duduk minum.

"Setiap tahun Indonesia kehilangan jutaan hektare hutan," lanjutnya. "Sementara program penenaman pohon banyak yang mubazir. Sepuluh tahun lagi Indonesia tak bisa ekspor kayu. Andalan kita Kalimantan, Sumatera, Papua, tapi dieksploitasi besar-besaran."

Dia benar. Laju deforestasi (kerusakan hutan) di Indonesia gila-gilaan. Penebangan mencapai 40 juta meter kubik setahun. Padahal, laju penebangan yang sustainable (lestari berkelanjutan) sebagaimana direkomendasikan Departemen Kehutanan menurut World Bank adalah 22 juta kubik meter setahun.

Di tengah ketersediaan yang pasti langka akibat deforestasi besar-besaran itu, kayu tentu akan semakin mahal. Harga jati saja selalu naik tiap tahun, sekitar 20-27%. Maklum, kayu adalah komoditas terbesar ketiga yang diperdagangkan di dunia setelah minyak mentah dan gas.

Tidak salah. Menanam pohon itu investasi yang cerdas. Dan kecerdasan itu telah kami saksikan di Zeu. Di kebun Bupati Marianus Sae. ***

Flores Pos, Rabu 8 Februari 2012

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Terima kasih banyak untuk infromasi yang telah disharekan melalui blog ini. Saya pikir blog ini sangat bermanfaat bagi masyarakat Flores yang berada di luar Flores dan ingin tetap mendapatkan informasi dari Flores. Flores Pos seharusnya memiliki website. Klo tidak, blog juga sudah cukup. Terima kasih untuk pemilik blognya.

Salam hangat dari saya, Emilianus Yakob sese Tolo

nurdin mengatakan...

Setujuuu..tapi sdh lama tidak terupdate lg...apa kbr Bpk. Frans Anggal.....???