02 Februari 2012
Lebih Jauh dengan Bupati Marianus Sae (1)
“Saya Babat 75% Perjalanan Dinas”
Oleh Frans Anggal
SORE, Jumat 27 Januari 2012, Bajawa terasa sejuk. Ibu kota Kabupaten Ngada itu tidak hujan. Tidak dingin. Kembang aneka warna di pekarangan Kevikepan, tempat kami akan nginap semalam, bermekaran.
Kami sedang nikmati keceriaan itu ketika telepon selular Pater John Dami Mukese SVD berdering. Pemimpin Umum Flores Pos ini mendapat pemastian dari Bagian Humas Pemkab Ngada. Sore itu, katanya, Bupati Marianus Sae siap menerima kami beraudiensi di rumah jabatan.
Tapi, kapan jam persisnya, masih belum jelas juga. Tunggu saja, sampai dubes Polandia tinggalkan rumah jabatan, kata Bagian Humas. Hari itu, Duta Besar Polandia untuk Indonesia Grzegorz Wisniewski singgahi Bajawa dalam perjalanan ke Kabupaten Nagekeo, menghadiri syukur emas imamat Pater Tadeuz Gruca SVD. Sebelumnya, pada hari yang sama, Bupati Marianus Sae disibukkan dengan kunjungan Kapolda NTT. Terbayangkan, betapa padatnya acara sang bupati hari itu.
Kami baru saja selesai bersiap mematut diri, mobil bupati sudah datang menjemput. Petrus Dua, wartawan Flores Pos untuk wilayah Ngada, turun dari mobil itu.
"Pak Bupati sedang tunggu sekarang," kata Piter usai berjabat tangan dengan saya di pekarangan Kevikepan. Segera saya balik masuk penginapan, mengetuk pintu bilik Pater Dami, memberitahukan adanya penjemputan.
Tak lama berselang, Pater Dami muncul dalam setelan batik motif putih hitam ceria.
"Ada bawa kamera Pater?" tanya saya ketika melihat yang dikepitnya hanya sebuah map.
"Aih, benar e, saya lupa." Ia balik lagi ke bilik.
KAMI bertiga meluncur. Jarak tempuh sangat dekat. Hanya melintasi ruas jalan sepanjang sisi lebar Lapangan Kartini. Menikung ke kiri, belok kanan, masuklah kami ke pekarangan rumah jabatan bupati.
"Rumah jabatannya koq masih begini-begini?" saya membatin.
Sungguh, modelnya, ukurannya, masih seperti ketika pertama dan terakhir kali saya datang belasan tahun lalu, pada 1990-an. Saat itu bupatinya Johanes Samping Aoh, kini bupati Nagekeo. Yang sedikit berubah cuma warna dinding dan tata pekarangan.
Terus terang, ini sesuatu yang langka, untuk tidak mengatakannya "janggal", di tengah kegilaan para bupati menyulap rumah jabatan jadi istana megah.
Dan, sore itu, di Bajawa, yang langka bukan hanya rumah jabatan bupatinya. Tapi juga bupatinya, penghuni rumah jabatan itu.
Bupati sudah berdiri menunggu di pintu masuk saat mobil kami berhenti. Lazimnya, menghadapi tamu sederajat, pejabat tunggunya di tempat duduk. Yang ini tidak. Ia tinggalkan tempat duduknya, pergi menjemput dan menyalami tamu di pintu masuk.
"Mari Pater, mari …," katanya ramah, mengarahkan kami ke tempat duduk.
RUANG tamu rumah jabatan itu biasa-biasa saja. Tergolong sederhana jika dibandingkan dengan beberapa rumah jabatan bupati di Flores.
Ruangan berukuran sekitar 5 x 5 meter itu diisi dua set sofa warna cokelat, 6 buah, bisa ditempati 12 orang. Di tengahnya berdiri tiga meja warna kuning gading. Sebuah pohon natal dan bunga plastik tegak pada tiga sudutnya. Dari titik tengah langit-langit, menggelantung lampu kristal tidak seberapa besar. Di dinding sisi kiri pintu masuk, terpajang relief kuningan bergambar enam ekor kuda menarik pedati. Sedangkan pada posisi paling tinggi, di dinding menghadap pintu masuk itu, menggantung patung Garuda Pancasila. Di bawahnya, kiri kanan, gambar presiden dan wapres. Di bawahnya lagi, gambar Bupati Marinaus Sae dan Wabup Paulus Soliwoa.
"Pak Bupati pasti lelah sekali," kata Pater Dami membuka percakapan. Ia sekadar menyentil 'beginilah' kalau jadi orang nomor satu di kabupaten. Bupati membenarkan itu.
"Aduh Pater… tenaga terku¬ras. Kalau salah-salah, bisa drop."
"Ini baru kegiatan di pusat kabupaten. Belum lagi kegiatan di Jakarta," kata Pater Dami. Ia mengkritisi kenyataan begitu seringnya para bupati ke Jakarta. Banyak waktu mereka tersita, tidak hanya oleh kegiatan seremonial di ibu kota kabupaten dan ibu kota provinsi, tapi juga oleh beraneka pertemuan ini itu di ibu kota negara. Akibatnya, berkuranglah waktu dan perhatian untuk masyarakat, khususnya masyarakat di pedesaan.
Bak ketemu ruas dengan buku. Komentar Pater Dami nyambung dengan apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diinginkan Bupati Marianus.
"Betul sekali Pater. Ke Jakarta, saya maunya 4-5 kali saja setahun. Tapi, kita dipanggil, tak boleh diwakili. Ini tak sesuai dengan spirit saya."
Bupati ini paling tidak suka uang negara dihabiskan hanya untuk perjalanan dinas pejabat. Dengan kewenangannya sebagai kepala daerah, kecenderungan pemborosan ini ia lawan.
"Sejak awal (jadi bupati), saya babat 75% perjalanan dinas." Dampaknya? Penghematan luar biasa untuk pos perjalanan dinas.
"Dari Rp28 miliar setahun menjadi hanya Rp5 miliar lebih."
Dalam kaitan dengan gerakan penghematan itu pula, semua mobil dinas wajib diparkir di kantor.
SEJAUH diberitakan Flores Pos, Ngada di bawah Bupati Marianus Sae dan Wabup Paulus Soliwoa merupakan kabupaten kedua di Flores yang punya kebijakan jelas tegas dalam soal penggunaan mobil dinas. Sebelumnya, kebijakan ini jadi anutan Kabupaten Ende di bawah Bupati Don Wangge dan Wabup Achmad Mochdar.
Di Ende, sejak April 2009, semua mobil dinas disimpan di kantor. Bukan di rumah kepala. Maka, tidak terlihat lagi mobil dinas 'berkeliaran' di luar jam dinas untuk urusan bukan dinas.
"Sebelumnya? Alamak! Mobil dinas, sopir dinas, tapi urusannya pribadi," tulis Bentara Flores Pos, Sabtu 24 Oktober 2009. "Anggaran daerah terkuras. Kasihan juga sopirnya. Kerja di luar ketentuan 7 jam sehari. Syukur kalau dikasih gaji ekstra oleh kepala. Kalau tidak? Dia akan 'makan' apa yang bisa 'dimakan' dari mobil. Yang paling mudah dan rutin, 'makan' bahan bakarnya. Sebagian masuk tangki, sebagian masuk saku."
Bentara Flores Pos itu menyebutkan, kebijakan ini menyelamatkan banyak pihak. "Si kepala diselamatkan dari godaan penyalahgunaan sarana/prasarana daerah. Si sopir diselamatkan dari kesempatan memanipulasi dana kebutuhan mobil. Dia juga diselamatkan dari kesempatan dimanipulasi waktu dan tenaganya oleh kepala. Dan, tentu, daerah diselamatkan dari peluang pemborosan anggaran."
Efek penyelamatan seperti ini pulalah yang kini dirasakan Kabupaten Ngada. Dari sisi penghematan, jumlahnya duilah, bisa bikin kita tercengang. Lihat saja, bagaimana biaya operasional kendaraan dinasnya turun drastis.
"Dari sebelumnya Rp24 miliar setahun, sekarang cost operasional kendaraan dinas turun menjadi Rp3 miliar lebih," kata Bupati Marianus. Ini benar-benar gila. Penghematannya mencapai Rp20-an miliar!
Kata bupati, pelaksanaan kebijakan ini diawasi ketat. Itu tugasnya Pol PP. Termasuk, menjemput PNS yang tidak masuk kantor dua hari tanpa pemberitahuan. Jemputnya pakai mobil ambulans. Kenapa?
"Kalau benar sakit, (si PNS) langsung dibawa ke rumah sakit. Saya tidak main-main dengan disiplin. Jam setengah tujuh saya sudah di kantor." ***
Flores Pos, Kamis 2 Februari 2012
Label:
bupati marianus sae,
feature,
flores,
flores pos,
ngada,
politik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar