15 Februari 2012

Sekilas Lintas dari Ende ke Mbay (2)


Peringatan di Ujung Barat Nangaroro

Oleh Frans Anggal


SELEPAS Nangaba, Kabupaten Ende, mobil kami melaju tanpa hambatan hingga Nangaroro. Ini wilayah Kabupaten Nagekeo yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Ende.

Jalan negara di ibu kota kecamatan ini cukup rata dan lurus. Maka, dari ujung timur, Om Vitalis langsung tancap gas. Lancaaaar… sampai di ujung barat.

Jelang tikungan menanjak ke selatan, tampak sebuah papan peringatan. Tegak di bahu selatan jalan. Berbahan tripleks. Berukuran sekitar 1 x 0,75 meter. Bercat kuning. Mencolok. Hurufnya hitam. Kapital.

"Om, berhenti dulu," kata saya kepada sopir.

"Pater, tolong kasih saya kamera," kata saya kepada Pater John Dami Mukese SVD. "Saya mau foto itu papa peringatan."

"Saya juga ada pikiran begitu," sahut pemimpin umum Flores Pos ini.

Om Vitalis menghentikan mobil sekitar 2 meter di belakang papan itu. Saya buka pintu, turun. Cepat-cepat berlangkah. Dari jarak 3 meter, papan itu pas masuk frame kamera. Latar belakangnya mobil kami, minibus Suzuki biru.

Agar suasana hidup, jepretan saya tunggu saat ada kendaraan lewat. Nah, sebuah bus merah muncul dari tikungan: klik! Tak lama berselang, sebuah dump truck kuning meluncur dengan muatan material galaian: klik!

Di dalam mobil, saya amati hasil jepretan. Lumayan. Huruf pada papan peringatan itu sangat terang, jelas, dan mudah dibaca. HATI-HATI ADA PEKERJAAN JALAN.


PAPAN peringatan yang sama pernah kami lihat beberapa minggu sebelumnya, dalam perjalanan Ende-Bajawa. Lihatnya di tempat lain, tapi masih dalam lokasi proyek yang sama. Yakni lokasi proyek pelebaran ruas jalan negara Nangaroro-Aegela di Kabupaten Nagekeo sepanjang 15,6 km. Ini proyek multiyears, dikerjakan PT Conblock Infra Tekno, total anggaran Rp141 miliar, bantuan pemerintah Australia.

Terus terang, kami merasa terganggu dengan kehadiran papan peringatan itu. Bukan tujuan peringatannya yang kami persoalkan. Tapi bahasanya. Dalam hal ini, kata yang digunakannya. HATI-HATI ADA PEKERJAAN JALAN. Hmmm, "pekerjaan jalan". Ini apa?

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelas¬kan kata "pekerjaan" sebagai berikut. (1) Barang apa yang dilakukan (diperbuat, dikerjakan, dsb); tugas kewajiban; hasil bekerja; perbuatan: begitulah pekerjaannya sehari-hari memelihara tanaman dan menata taman. (2) Pencaharian; barang apa yang dijadikan pokok penghidupan; sesuatu yang dilakukan untuk mendapat nafkah: ia sedang berusaha mencari pekerjaan. (3) Hal bekerjanya sesuatu: berkat pekerjaan mesin baru, hasilnya sangat memuaskan.

Merujuk pada makna kata dan contoh kalimat tersebut, bisa dipastikan frasa "pekerjaan jalan" itu janggal.

Memang ada beberapa idiom yang menyerangkaikan "pekerjaan" dengan kata benda yang lain. Misalnya, "pekerjaan tangan" selain "pekerjaan otak". Ini berterima: tangan yang bekerja, selain otak. "Pekerjaan jalan"? Apakah jalan yang bekerja? Kan tidak. Manusialah yang bekerja: melebarkan jalan. Perihal melebarkan disebut pelebaran. Maka, bisa ditulis: "Hati-Hati Ada Pelebaran Jalan".

Ada idiom lain yang lebih dekat: "pekerjaan rumah". Populer dengan singkatan PR. Ini pekerjaan atau tugas yang dilakukan di rumah. Lha, "pekerjaan jalan?" Apakah itu adalah pekerjaan yang dilakukan di jalan? Bisa juga. Tapi, pekerjaan apa saja yang (bisa) dilakaukan di jalan? Pasti banyak. Bisa berjalan, ngobrol, mabuk-mabukan, dsb. Jelas bukan itu yang dimaksudkan dengan frasa pada papan peringatan tadi. Frasa itu tidak memaksudkan jalan sebagai tempat kegiatan (bekerja di jalan), tapi jalan sebagai objek tindakan (mengerjakan jalan). Tindakan mengerjakan disebut pengerjaan. Maka, yang benar adalah "pengerjaan jalan", bukan "pekerjaan jalan".


PIKIRAN saya masih terganggu oleh frasa "pekerjaan jalan" ketika Om Vitalis mulai menjalankan mobil meninggalkan ujung Nangaroro tempat kami berhenti. Mobil perlahan menikung menanjak ke selatan. Wow, pandangan kami tetumbuk pada alat berat yang sedang menderu. Semuanya excavator.

Ada yang bertengger jauh di ketinggian, membongkar tebing bercadas. Bebatuan besar dua kali pelukan orang dewasa bertumpukan.

Batu-batu besar itu dipecahkan oleh excavator khusus, yang ujung lengannya dilengkapi "linggis" besar. Getaran maju mundur "linggis"-nya memecahan batu-batu itu berkeping-keping. Saat pecahan batu bertumpukan, excavator itu maju bertengger di atasnya sambil terus mecahkan bebatuan lain.

Satu exavator lagi bertugas mencedok material tanah dan pasir lalu menumpahkanya ke dalam bak dump truck yang antre 5-6 buah. Kalau sudah begini, kendaraan umum tidak bisa lewat lagi. Tidak ada pilihan lain. Tunggu saja sampai semua dump truck pergi dan petugas proyek memberikan aba-aba boleh lewat. Itu pun tidak bisa dari dua arah berlawanan sekaligus. Sebab, jalan sudah sangat sempit oleh tumpukan material.

Pada titik terluar lokasi seperti inilah papan peringatan dipasang.

Ketika mobil kami sudah melewati ruas jalan sempit di Nangaroro itu, saya sempat melihat satu papan peringatan lagi. Sayang, posisinya membelakangi arah kami datang, sehingga tulisannya tidak bisa dibaca. Tapi saya yakin, kalimatnya tetap yang itu-itu juga. HATI-HATI ADA PEKERJAAN JALAN.

Puluhan menit melewati pendakian panjang, kami sudah sampai di Boatue. Di depan kami, dari kejauhan, tampak dua excavator parkir di sisi kiri jalan. Tak ada kegiatan. Dari arah depan, sebuah bemo warna biru melaju. Belum berpapasan dengan bemo itu, mobil kami sudah mendekati tempat sebuah papan kuning berdiri. Makin dekat, tulisan hitamnya makin jelas. Oh, lagi-lagi papan peringatan. Pater Dami menjepretnya dari jendela pintu kiri mobil. Dua kali klik. Hasilnya terang dan jelas. Peringatannya sama persis dengan peringatan pada papan di ujung barat Nangaroro. HATI-HATI ADA PEKERJAAN JALAN.

Busyet. Lagi-lagi kami merasa sangat terganggu. Bukan peringatannya yang kami persoalkan. Tapi bahasanya itu. Kata yang digunakannya itu. "Perkerjaan jalan". Ini apa? Hhhh. ***

Flores Pos, Rabu 15 Februari 2012

Tidak ada komentar: