07 Februari 2012

Lebih Jauh dengan Bupati Marianus Sae (4)


Sopir Kami Pak Bupati

Oleh Frans Anggal

JELANG jam 5 sore audiensi berakhir. Kami pamit dari rumah jabatan bupati, kembali ke penginapan di kevikepan. Namun hanya sebentar, hanya untuk salin pakaian. Kami akan segera ke Zeu. Ini lokasi yang terletak tidak seberapa jauh dari tempat pemandian air panas Mengeruda di Soa, 25 km arah utara kota Bajawa.

Ke Zeu itu di luar agenda audiensi. Awalnya, beberan Bupati Marianus tentang Membangun Ngada dari Desa. Ia menyebut Zeu sebagai tempat pertama program Perak diluncurkan tahun 2007, ketika dia masih sebagai wirausahawan murni. Zeu itu lokasi kebunnya, sekaligus tempat tinggalnya sebelum ia masuk kota Bajawa, 2010, mendiami rumah jabatan bupati. Dari kebun inilah ia merancang masa depan Ngada.

Pater John Dami Mukese SVD tertarik. Pemimpin umum Flores Pos ini menanyakan kemungkinan curi-curi waktu ke Zeu. Bak ketemu ruas dengan buku. Keinginannya disambut gembira oleh Bupati Marianus.

"Baik, Pater. Sebentar kita sama-sama pergi ke sana," katanya beberapa saat sebelum kami pamit.

Dalam bayangan kami, kami akan gunakan dua mobil. Bupati tentu saja dengan mobilnya, sedangkan kami akan tetap gunakan mobil Daihatzu Taft Hi Line yang dikemudi Om Flavi dari Ende. Karena itu, setibanya di penginapan diantar mobil bupati, Pater Dami lanngsung mengingatkan Om Flavi agar segera bersiap-siap menuju Zeu.

Tidak lama berselang usai kami bersiap-siap, sebuah mobil hitam tampak meluncur dari arah rumah jabatan bupati. Di pertigaan depan Gereja Paroki Mater Boni Concilii (MBC), mobil itu tidak membelok ke kiri atau ke kanan, tapi lurus terus masuk pekarangan paroki, lalu mengambil haluan menuju pekarangan kevikepan tempat kami sedang berdiri menunggu.

Makin dekat, mobil hitam itu makin jelas. Toyota Kijang Innova, berpelat hitam, bernomor polisi DK 953 FG. Saya mengira yang datang itu sopirnya bupati, mungkin mau sein kami untuk segera jalan. Meleset! Si sopr itu ternyata Bupati Marianus sendiri. Ia didampingi istrinya. Pasutri ini datang menjemput kami. Maka, ke Zeu, kami hanya pakai satu mobil, Toyota Kijang Innova itu. Sopir kami pun bukan lagi Om Flavi, tapi Pak Bupati.


DI balik setir, Bupati Marianus begitu santai. Ia mengenakan celana Jeans biru muda, dipadu baju kaus berkrah, lengan panjang, bermotif belang-belang putih bergradasi biru. Sepatunya kets, putih, bertali.

Dalam balutan pakaian santai itu, pria kelahiran Mangulewa 8 Mei 1962 ini tampak atletis. Dadanya bidang. Perutnya tidak gendut. Pinggul dan pahanya kukuh. Lengannya padat berotot. Seperti olahragawan saja, pikir saya. Belakangan baru saya tahu, dia memang olahragawan. Seorang pesepak bola.

Ia pernah masuk klub sepak bola Tornado (Divisi III) Denpasar, 1992-1994. Klub Permata Putra (Divisi I) di Tuban, 1992-1994. Klub PSN Ngada (El Tari Cup) di Kupang, 1995. Pernah jadi Kepala Pelatih PS Poker di Kerobokan, Kuta, 2001-2003. Sebagai Wakil Ketua II Bidang Kepemudaan dan Olahraga Ikatan Keluarga Besar Ngada di Bali (2004-2006), ia membentuk Klub Sepak Bola Bintang Timur di Denpasar yang terdiri dari campuran pemain lokal dan asing, untuk mengikuti turnamen sepak bola internasional di Bali.

"Para penggemar sepak bola Ngada, khususnya yang berada di Bali mengenal beliau sebagai sosok yang berkomitmen tinggi untuk mendukung dan memajukan persepakbolaan Ngada dalam event-event daerah maupun nasional," tulis blog spot Membangun Ngada dari Desa (http://muluscenter.blogspot.com).

"Pecinta olahraga ini tak segan-segan turun langsung dalam pertandingan-pertandingan yang dijalankan oleh anak-anak Ngada dan menyokong tumbuh-kembangnya tunas-tunas baru atlet sepak bola Ngada. Di bidang olahraga, Marianus juga mensponsori pengembangan olahraga berkuda di Ngada."

Santainya Bupati Marianus di balik setir, imbang dengan penampilan istrinya, Maria Moi Keu. Wanita asal Soa ini juga berpakaian santai mati punya. Ia bercelana pendek abu-abu bersaku banyak. Atasannya kaus oblong biru muda bergaris-garis merah. Rambut ikalnya dikat ala kadarnya. Kalung dan giwang masnya tidak mencolok.

Seperti pasutri ini, saya dan Pater Dami pun berpakaian santai. Kaus berkrah. Bedanya, kami berdua tetap berjaket, siapa tahu dingin di Zeu.

Duduk di belakang kursi pasutri ini, kami mudah amati gerak-gerik sopir.


KELUAR dari pekarangan kevikepan, mobil membelok ke kanan, ke arah timur, berkelok-kelok untuk selanjutnya menikung ke utara.

"Kita akan lewat jalur pendek," kata Bupati Marianus sambil tetap berkonsentrasi di belakang kemudi.

Jalur pendek yang dimaksudkannya adalah jalur yang baru dibuka. Menuju Bandara Soa, lewat jalur ini orang lebih cepat sampai. Jarak tempuhnya dari Bajawa sekitar 12 km. Lebih pendek dibandingkan dengan jalur lama yang berjarak kurang lebih 25 km.

Tingkat kesulitan jalur pendek ini lumayan juga. Berliku dan penuh kemiringan. Melewati hutan bambu dan kebun-kebun warga.

Sepanjang jalan kami berpapasan dengan warga. Ada yang sedang bekerja. Ada yang sedang ngobrol. Ada yang sedang pulang dari kebun. Pada setiap titik itu, mobil diperlambat. Sesekali berhenti sejenak. Bupati Marianus menyapa siapa saja yang dijumpainya. Sapaanya pakai teriak khas Ngada, "Oeee!" Sebaliknya, warga yang melihatnya pasti menegurnya pula penuh keceriaan, "Oeee!"

Mereka bertegur sapa dalam bahasa daerah. Sayang, saya dan Pater Dami tidak paham. Tapi dari konteksnya bisa ditangkap, mereka saling bertanya apa kabar, sedang buat apa, mau ke mana.

Ini langka. Seorang bupati bertegur sapa dengan rakyatnya hampir tanpa jarak. Begitu los, cair, enak melepaskan humor dan saling menggoda. Tertawa mereka pun renyah dan sesekali meledak-ledak.

Mobil terus melaju dan akhirnya masuk Zeu. Mobil berhenti di tengah jalan, lurus dengan gerbang masuk sebuah rumah. Beratap joglo, berdinding kuning gading bercampur biru.

“Ini rumah kami,” kata Bupati Marianus.

Ibu Maria Moi Keu turun dari mobil. Setelah pamitan, dia langsung masuk pekarangan rumah. Kami bertiga lanjutkan perjalanan. Menuju kebun.
.
Di sebuah ruas jalan sebelum masuk kebun. Di depan, di atas sebuah deker menjelang tanjakan, seorang ibu sedang berusaha memangkas bambu yang patah melengkung memalang badan jalan. Ia tampak kesulitan melepaskan bambu itu dari patahannya. Bupati Marianus hentikan mobil.

"Saya bantu dia dulu," katanya mohon permisi. Ia tinggalkan saya dan Pater Dami dalam mobil. Ia keluar sambil menenteng parang yang panjangnya hampir sepanjang lengannya. Dan pasti juga sangat tajam, dilihat dari kiluannya.

Sesampai di tempat si ibu, ia langsung bertindak. Ia ambil alih perkerjaan. Sang ibu kini berdiri menyaksikan apa yang dilakukan bupatinya. Bambu itu ia lepaskan dari patahannya hanya dengan sekali parang. Lalu bersama ibu itu ia angkat bambunya dan ia bersihkan ranting-rantingnya. Dalam dua tiga menit sudah selesai.

Saya berusaha mengabadikan adegan ini. Kamera sudah siap di tangan. Tapi begitu saya buka pintu mobil hendak keluar, eh, tidak bisa. Pintunya masih dalam keadaan terkunci. Takut kehilangan momentum, saya bidik dan jepret saja dari dalam mobil menembusi kaca depan.

"Tadi kami mau ikut turun, tapi pintunya tidak bisa dibuka," kata saya ketika Bupati Marianus kembali masuk mobil.

"Maaf, tadi pintunya masih terkunci," katanya sambil atur posisi untuk kembali menyetir. Kebun sudah di depan mata. ***

Flores Pos, Selasa 7 Februari 2012

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Mau naik pesawat gak kebagian tiket, kok bandara di blokir. Sadis amat... Untuk para penjual bakso, mie ayam, dll...hati2 kalau pak bupati mau beli jangan sampai gak kebagian ya, salah2 lapaknya bakal digusur juga sama pak bupati yang sederhana dan merakyat ini hehee