14 Februari 2012
Sekilas Lintas dari Ende ke Mbay (1)
Pantai Nangaba dan Santo Blasius
Oleh Frans Anggal
SUATU siang, di ruang Redaksi Harian Umum Flores Pos, Jalan El Tari, Ende ….
"Nanti hari Jumat kita ke Mbay. Bisa kah?" tanya Pater John Dami Mukese SVD, pemimpin umum.
"Bisa Pater," jawab saya. "Jumat (pekan) depan kah?"
"Tidak. Jumat (pekan) ini."
Dialog itu dua hari sebelum Jumat 3 Februai 2012. Pater Dami sudah dapat kepastian, Bupati Nagekeo Johanes Samping Aoh berada di tempat dan bersedia beraudiensi.
"Berangkatnya jam berapa Pater?"
"Mesti pagi-pagi. Yah ... sekitar setengah tujuh. Soalnya, kita bertemu bupati jam sembilan. Nanti kita sama-sama dengan Pater Alex."
Yang dimaksudkan adalah Pater Alex Ganggu SVD. Imam yang tahun ini akan merayakan pancawindu imamatnya ini dikenal sebagai tokoh di bidang lingkungan hidup. Ia pencerah kesadaran ekologis masyarakat, sekaligus pendorong warga untuk mulai dan giat menanam pohon.
Ke Mbay, Pater Alex mau kasih kuliah mahasiswa program dual modes system (DMS). Ini program percepatan peningkatan mutu akademik para guru agama Katolik yang dibiayai pemerintah. STIPAR Ende ditunjuk sebagai penyelenggara. Tahun ini pesertanya 275 orang. Tersebar pada empat pangkalan belajar: Bajawa, Mbay, Ende, dan Maumere (Flores Pos, Kamis 5 Januari 2012).
Pada hari keberang¬katan, ternyata bukan hanya Pater Alex Ganggu yang ikut. Ada juga Alex lain. Pater Alexander Ola Pukan SVD. Ia imam muda yang baru bergabung ke Flores Pos, di bagian redaksi.
"Saya ajak dia juga. Dia belum lihat Mbay," kata Pater Dami sehari sebelum keberangkatan.
Satu lagi. Imam yang baru saya kenal pada hari keberangkatan.
"Ini Pater Fery," Pater Dami memperkenalkannya ketika saya sudah duduk dalam minibus Suzuki biru. Nama lengkapnya, Pater Frederikus Binsasi SVD. Dia mantan pastor Paroki Boanio. Ke Mbay, kelau via Aegela, pasti melewati wilayah paroki ini. Pater Fery baru dibebastugaskan dari Boanio, dan akan menuju tempat tugas baru.
JARUM jam sudah jauh meninggalkan angka 7 ketika kami star dari kompleks Jalan Melati, tempat saya dijemput. Jam keberangkatan ke Mbay meleset dari target awal setengah tujuh.
"Tadi saya bangun pagi sekali, Pater. Soalnya mau jalan setengah tujuh," kata saya kepada Pater Dami ketika mobil mulai bergerak maju.
"Tadi misa lama sekali," sahutnya memberi alasan. "Ada pemberkatan lilin Santo Blasius."
Misa yang dimaksudkan adalah misa pagi di komunitas SVD, Biara Santo Yosef Ende. Pemberkatan lilin Santo Blasius adalah upacara pemberkatan tenggorokan, yang biasa dilaksanakan pada Pesta Santo Blasius setiap 3 Februari. Dalam upacara itu, imam meletakkan dua lilin bersilang di atas kepala umat atau menyentuh¬kannya ke leher umat sambil memohonkan bantuan doa Santo Blasius dan menyampaikan berkat Tuhan.
Ada sebuah legenda yang sangat dekat dengan pemberkatan ini. Santo Blasius menyembuhkan seorang anak yang tersedak tulang ikan dan nyaris mati. Dalam Ritus Romawi sekarang, imam berdoa, "Semoga berkat doa Santo Blasius, uskup dan martir, Allah membebaskan Saudara dari penyakit tenggorokan dan penyakit-penyakit lain …."
Saya teringat akan sebuah artikel: "St Blasius". Ditulis Pater William P. Saunders. “Sementara kita memohon perlindungan St Blasius terhadap segala penyakit jasmani tenggorokan," tulis guru besar kateketik dan teologi itu, "sepatutnyalah juga kita memohon pelindungannya terhadap segala penyakit rohani tenggorokan: hujat, umpat, makian, fitnah ataupun gosip" (diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas izin The Arlington Catholic Herald).
Mobil terus melaju ke barat, meninggalkan kota Ende. Kian jauh, kian dekatlah kantuk. Ini bagi penumpang yang suka tertidur di atas mobil. Dalam "rombongan" kami, ya, Pater Dami. Dia duduk paling depan. Sebelah kiri sopir Om Vitalis. Selain sebagi ketua "rombongan", dia harus di depan karena pertimbangan praktis. Kalau di belakang, pasti mabuk. Kalau di depan, mabuk tidak, cuma cepat ngatuk dan pulas.
"Pater Dami ini calon pembesar," kata Pater Fery berseloroh. Pembesar yang dimaksukannya adalah pembesar SVD. "Soalnya, beberapa provinsial (SVD Ende) suka tertidur di atas mobil."
LAJU mobil diperlambat ketika kami susuri ruas jalan negara sepanjang tepi muara kali Nangaba. Kami berhenti di tepi selatan jalan, pada posisi pantai Nangaba tampak cukup terbuka.
Di kejauhan, di bibir pantai depan muara, dua alat berat kuning merek Hyundai sedang mengeruk, menumpukkan, dan mengangkut pasir. Ini lokasi yang lagi jadi pro kontra di Kabupaten Ende. Lokasi tambang pasir besi. Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah PT Grand Victory Resources. Aktivitas dua alat berat itu satu dari beberapa kegiatan penyiapan lahan. Baik untuk penampungan pasir besi maupun untuk kantor dan mes.
Untuk penampungan pasir besi, perusahaan menyewa lahan tuan tanah setempat, Siplin Achmad, seluas 1,6 ha. Dikontrak selama 10 tahun, dengan biaya Rp200 juta. "Kontrak sudah dilakukan, dan perusahaan juga memberikan ganti rugi Rp 25 juta untuk tanaman pisang, kakao, dan kelapa milik kami yang ditebas," kata Siplin Achmad (regional.kompas.com).
Di depan tumpukan pasir kerukan alat berat itu, menggenang air payau. Di timurnya menyebul delta, yang sebagian hamparannya berumput. Air payau memiliki keanekaragaman hayati tersendiri. Beberapa jenis ikan yang populer di Indonesia justru hidup di air payau. Di antaranya, ikan bandeng. Ini akan hancur oleh tambang.
Belum lagi bahaya lain. Seperti diingatkan salah seorang anggota DPRD Ende, H. Pua Saleh. Dia bilang, penambangan ini dapat mengakibatkan abrasi besar-besaran di wilayah pantai Nangaba. Pada gilirannya, jalan negara di wilayah itu akan putus dan kebun masyarakat jadi sasaran gelombang. Ia pernah memantau ke lokasi. Tambang itu, kata dia, telah merusak permukaan pantai . Pada sejum¬lah titik, pasir yang digerus meninggalkan kubangan (kupang.tribunnews.com).
Kekhawatiran serupa dikemu¬kakan Kepala Satuan Kerja Pelaksana Jalan Nasional Wilayah IV, OH Tambunan. "… kalau sampai badan jalan ambles atau longsor karena abrasi, kami akan ajukan keberatan kepada perusahaan tambang," katanya. Namun menurut Manajer PT Grand Victory Resources, Zulkifli DM, kekhawatiran itu berlebihan. Jarak bibir pantai hingga badan jalan negara relatif jauh, sekitar 100 meter (Kompas.com Minggu 12 Februari 2012).
Pada beberapa kesempatan, Bupati Ende Don Bosco M. Wangge bilang, yang sedang dilakukan ini bukan eksploitasi, tapi eksplorasi. Ini perlu agar kita tahu pasti kekayaan alam kita.
Begitu juga kata Zulkifli DM. "Ini setingkat eksplorasi, tapi dilakukan bertahap, sesuai dengan izin yang kami pegang. Setelah 6 sampai 8 bulan kami akan melakukan penelitian," katanya (www.nttonlinenews.com)
Luas kawasan eksplorasinya 16 ha. Dari Puu Mbara hingga Nggorea. Yang sekarang sedang digali, kata Zulkifli , bagian permukaan, untuk mengecek kandungan besinya. Dari tumpukan pasir yang ada, hanya 20% yang disuling untuk diambil kandungan besinya. Sedangkan 80% dikembalikan ke tempat semula. "Nanti yang menjadi sampel hanya 20 ribu ton saja," katanya.
Kami meninggalkan perhentian itu setelah mengabadikan beberapa gambar dengan kamera digital. Laju mobil tetap diperlambat. Pagar bambu ratusan meter sepanjang selatan jalan menyulitkan kami menyaksikan kegiatan lain di pinggir pantai Nangaba. Yang terbuka hanyalah sisi utara jalan. Para tukang sedang membangun gedung. Tampaknya untuk kantor dan mes.
Kami terus melintas. Dari arah belakang, seorang satpam memelototi mobil kami penuh awas. Di dalam mobil kami bertanya-tanya: benarkah yang barusan kami saksikan ini hanyalah sebuah ekplorasi? Atau justru sudah eksploitasi? Ekploitasi berkedok eksplorasi?
Hari itu pesta Santo Blasius. Semoga sang santo mendoakan para pemangku kepentingan, agar dibebaskan dari salah satu penyakit rohani tenggorokan. Yakni: pembobohongan. ***
Flores Pos, Selasa 14 Februari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar