22 September 2012

Skandal DPRD Sikka



Oleh Frans Anggal

Sebuah kontras! Itulah yang mencuat dari dua foto master halaman depan Flores Pos pekan pertama dan kedua September 2012. Foto edisi Rabu 5 September mempertontonkan rumah dinas pimpinan DPRD Sikka yang tidak dihuni: berdinding tembok, berlantai keramik, beratap seng, berpagar beton. Sedangan foto edisi Kamis 13 September memperlihatkan bangunan sekolah darurat SD Kaki Wukak Toeng: berdinding pelupuh, berlantai tanah, beratap ilalang, berpagar angin.

Seandainya tanpa keterangan, kedua foto itu tetap berbicara. Walau membekukan dan membisukan kenyataan hidup, kedua foto  itu tetap kuat menyuguhkan pesan. Sebab, fotografi selalu mengikutsertakan pembaca, bahkan menuntut pembaca terlibat. Dari keterlibatan itulah pesan lahir. Dan pesan itu penuh kontras. Foto pertama: meskipun (tampak) layak, bangunan (rumah dinas) itu tidak digunakan. Foto kedua: meskipun (tampak) tidak layak, bangunan (SD) itu tetap digunakan.

Dalam beku dan bisunya kedua foto, pesan kontrasnya berteriak lantang tentang sebuah kontroversi. Yaitu, rencana pembangunan tiga rumah jabatan (rujab) pimpinan DPRD Sikka yang  menelan dana Rp2 miliar lebih  dari APBD 2012. Kontroversi ini diberitakan Flores Pos  pekan pertama dan kedua September. Atas dasar kontroversi itulah kedua foto ditampilkan, agar persoalan etisnya mencuat. Bahwa, DPRD Sikka berhasrat kuat membangun tiga rujab pimpinan miliaran rupiah di tengah kenyataan masih sangat  memprihatinkannya kondisi banyak infrastruktur dasar dan fasilitas publik.

Dari tilikan etika, kontras seperti ini sudah merupakan skandal. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) mengartikan ”skandal” tidak hanya secara psikologis: sesuatu yang memalukan, tetapi juga secara etis: sesuatu yang menurunkan martabat seseorang.

“Ketika begitu banyak orang lapar, ketika begitu banyak keluarga menderita kemiskinan, ketika begitu banyak orang tetap tinggal dalam kebodohan, ketika begitu banyak sekolah, rumah sakit, dan rumah hunian yang layak mesti dibangun, penghamburan kekayaan baik umum maupun pribadi, seluruh perbelanjaan yang didorong oleh motif-motif kemewahan nasional atau pribadi ... merupakan satu skandal yang tidak dapat ditoleransi ….” Demikian seruan etis Populorum Progressio, ensiklik Kemajuan Bangsa-Bangsa, yang disampaikan Paus Paulus VI pada 26 Maret 1967.

Pada dekade ensiklik itu lahir, jurang kaya-miskin antar-kelompok negara di dunia sudah menganga, seperti diperbandingkan Susan George (1976). Hewan di kelompok negara maju menghabiskan seperempat gandum dunia atau sama dengan konsumsi penduduk Cina dan India yang seluruhnya 1 miliar 300 juta jiwa. Di Amerika Serikat, 1967, produksi makanan anjing hampir sama dengan pendapatan rata-rata pria di India. Di Prancis, konsumsi kalori 8 juta anjing dan 7 juta kucing sama dengan konsumsi kalori seluruh penduduk Portugal. Jumlah sisa makanan yang dibuang ke tempat sampah oleh warga Amerika tiap tahun cukup untuk memberi makan penduduk semua negara di Benua Afrika selama satu bulan.

Itu 45 tahun silam. Sekarang? Makin gila saja skandalnya, seperti ditulis Mohammed Bedjaoui (1979). Pada zaman modern ini, harkat hewan seolah-olah lebih tinggi daripada harkat manusia. Hewan, khususnya anjing dan kucing, mempunyai kelebihan tertentu yang tidak dipunyai kebanyakan orang di dunia. Untuk hewan-hewan ini disediakan kamar ber-AC, toilet mewah, pemangkas rambut, penjahit, dan restoran khusus. Ini ketidakadilan terhadap martabat manusia. Ini skandal, skandal terbesar abad ini.

Kacamata  Paus Paulus VI dalam ensikliknya adalah kacamata etika. Kacamata Susan George dan Mohammed Bedjaoui dalam buku mereka adalah juga kacamata etika. Etika di sini adalah etika sosial. Etika yang memedulikan, mempertahankan, dan memperjuangkan kemanusiaan sebuah masyaraat. Prinsipnya sangat sederhana, tulis Franz Magnis-Suseno (1987). Kemanusiaan sebuah masyarakat dapat diukur dari perhatiannya kepada anggota-anggotanya yang paling lemah, miskin, dan menderita.

Prinsip etis inilah yang menjiwai PMKRI Cabang Maumere dan GMNI Sikka ketika menolak rencana pembangunan tiga rujab pimpinan DPRD (Flores Pos Rabu 5 September 2012). Prinsip etis jugalah yang mendasari sorotan Pemred Flores Pos Steph Tupeng Witin dalam editorial “Bentara” yang memelesetkan DPR sebagai dewan perwakilan rujab, bukan dewan perwakilan rakyat,  karena demi rujab mereka melupakan rakyat (Flores Pos Kamis 6 September 2012). Prinsip yang samalah yang mengakari sikap Direktur Pusam Indonesia Kasimirus Bara Bheri, Ketua DPC ISKA Kabupaten Sikka Kornelis Soge, anggota Partai Nasdem Sikka Marsel Isa, dan Kades Waihawa Vitalis Julius ketika menyatakan DPRD Sikka menjauhi rakyat: membangun rujab di tengah masih banyaknya rumah dinas yang tidak ditempati (Flores Pos Selasa 11 September 2012). Prinsip etis pulalah yang menggerakkan PMKRI Cabang Maumere berdemo mendesak anggaran rujab dialihkan untuk kepentingan urgen masyarakat, sedangkan untuk rujab naikkan saja status tiga rumah dinas  yang ada dengan rehabilitasi seperlunya (Flores Pos Kamis 13 September 2012).

Tanggapan DPRD Sikka? Sepertinya sudah bisa ditebak. Jawaban diberikan Ketua DPRD Rafael Raga, Wakil Ketua Alexander Longginus, serta anggota Agustinus Pora dan Simon Subandi. (1) Pembangunan rujab itu sudah ditetapkan dan dianggarkan sesuai dengan aturan dan mekanisme yang berlaku. (2) Tiga rumah  yang  ada itu rumah dinas, bukan rujab. (3) Sudah dikaji bahwa tiga rumah dinas itu tidak layak sebagai rujab pimpinan DPRD yang notebene pejabat negara. (4) Rujab itu punya standar dan spesifikasi tertentu berdasarkan peraturan yang berlaku.

Apa yang terjadi pada DPRD Sikka? Mereka  menggunakan paradigma aturan menghadapi paradigma moral. Mereka memeluk resistensi yuridis menyikapi konfrontasi etis. Akar terdalamnya adalah positivisme hukum. Nobertus Jegalus (2011) menjelaskan dengan terang. Dalam positivisme hukum, betapapun tidak selaras atau bahkan bertentangan dengan rasa keadilan dalam masyarakat, sebuah peraturan harus tetap dilaksanakan karena sudah ditetapkan secara resmi. Selama  belum dibatalkan atau diubah menurut prosedur hukum yang sah, peraturan itu tetap mengikat.   

Itu tentu bagus, sejauh peraturan itu tidak melanggar etika atau tidak membuka peluang bagi pelanggaran etika. Namun, dalam kenyataan, pada banyak kasus, aturan justru menginjak etika atau minimal memungkinkan etika dilanggar. Hal ini terjadi ketika hukum yang seharusnya melindungi masyarakat dari kejahatan justru digunakan untuk mengesahkan kejahatan. Itulah, misalnya, yang terjadi di Jerman di bawah rezim Nazi. Adolf Hitler memakai hukum untuk mengesahkan semua tindakan anti-Yahudi. Undang-undangnya mengizinan negara merampas hak milik orang Yahudi. Ini jelas-jelas kejahatan. Akan tetapi, karena telah disahkan pihak berwenang dan ditetapkan menurut prosedur hukum yang berlaku, undang-undang jahat itu tetap dipandang sebagai hukum yang sah.

Itulah contoh buruk positivisme hukum. Tidak memberi ruang bagi paradigma moral dan konfrontasi etis. Pada benteng inilah DPRD Sikka tanam kaki dan tikam kepala. Seolah-olah mereka tidak bisa tidak bersikap legalistik-positivistik. Padahal, mereka bisa dan seharusnya bersikap lain.

Pada era reformasi, dua nama patut dikenang. Hidayat Nur Wahid, ketua MPR  RI 2004-2009. Dia menolak mobil dinas mewah. Dia tidak ingin mempertontonkan kemewahan di tengah kemiskinan masyarakat. Pamer pemborosan di tengah utang luar negeri yang menumpuk dipandangnya sebagai skandal: melanggar etika sosial dan etika kepatutan.

Laode Ida, wakil ketua DPD RI. Dia mengembalikan mobil dinas dengan alasan mobil itu terlalu mewah. Dia merasa tidak pantas menggunakan mobil Rp1,3 miliar di tengah banyaknya persoalan masyarakat. Menurutnya, sepantasnya pejabat cukup diberi mobil Rp200-300 juta. ”Pejabat di pemerintahan Malaysia hanya menggunakan kendaraan dinas yang harganya sekitar Rp190 juta. Bahkan untuk perdana menteri Malaysia, kendaraan dinasnya seharga Rp200 juta.” (Flores Pos Selasa 5 Januari 2009).

Hidayat Nur Wahid dan Laode Ida. Keduanya pejabat negara, seperti ketua dan wakil ketua DPRD Sikka. Bedanya, mereka tetap mengutamakan dirinya sebagai wakil rakyat ketimbang sebagai pejabat negara. Mereka memenangkan rasa keadilan dalam masyarakat di atas hukum protokoler kepejabatan. Mereka abdi rakyat, bukan budak aturan. ***

“Opini” Flores Pos, Sabtu 22 September 2012

15 September 2012

Pahlawan Tolak Tambang?




PENGORBANAN --- Pahlawan mengorbankan diri, 
untuk menyelamatkan orang lain. Pengecut mengorbankan 
orang lain, untuk menyelamatkan diri.

Oleh Frans Anggal 

Bupati Lembata Eliaser Yentji Sunur dianugerahi gelar pahlawan tolak tambang. Gelar ini diberikan warga Leragere melalui ritus adat di Desa Lodotodokowa, Rabu 29 Agustus 2012. Dalam ritus itu, Bupati Yance---demikian ia biasa disapa---diangkat menjadi warga Leragere. Demikian berita Flores Pos Sabtu 8 September 2012.

Berita itu dilansir berdasarkan siaran pers Humas Setda Lembata yang meliput kunjungan kerja bupati dan rombongan ke Leragere. Namanya siaran pers humas, ya, cenderung mewartakan yang baik-baik dan promotif tentang pejabat dan lembaganya. Anutannya, good news is good news. Berita (tentang) yang baik adalah berita yang baik. Berbeda dengan anutan umum media massa, bad news is good news. Berita (tentang) yang buruk adalah berita yang baik.

Dalam hierarki berita Flores Pos hari itu, “berita (tentang) yang baik” ini kalah dari banyak “berita (tentang) yang buruk”. Ia pun tidak lolos ke halaman depan. Cuma ditempatkan pada halaman dalam. Itu pun tidak sebagai berita utama. Hanya menjadi berita ketiga atau terakhir pada halaman 6.

Ada alasan lain. Di Flores dan Lembata---tempat Flores Pos paling banyak dibaca---, seremoni adat pemberian gelar sudah terlalu sering terjadi. Saking seringnya, makna dan sensasinya merosot. Dalam persepsi publik, berita seremonial seperti itu seakan bukan berita lagi. Sebab, gelar bisa diberikan kapan saja, kepada siapa saja, dengan alasan apa saja. Tergantung pada maunya si pemberi gelar. Pada masyarakat yang struktur adatnya masih kuat,  kepala persekutuanlah yang menentukan.   

Kalau seorang pejabat tinggi mengunjungi sebuah kampung di Kabupaten Ende, misalnya, apalagi kalau kedatangannya memastikan (akan) membawa berkah uang, barang, atau proyek, besar kemungkinan ia dinobatkan menjadi mosalaki. Ini kepala dalam struktur adat setempat. Contohnya terlalu banyak untuk dilitanikan di sini.

Sekadar ilustrasi, sebut saja yang aktual, yang diwartakan Flores Pos  Selasa 28 Agustus 2012. Pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur NTT  Christian Rotok dan Abraham Paul Liyanto (paket Cristal) dinobatkan menjadi mosalaki Ende di rumah adat Kapitan Rukuramba Ambrosius Era Toma di Nangaba, Kecamatan Ende, Senin 27 Agustus 2012. Penobatan ini ditandai dengan pengenaan pakaian adat mosalaki Ende berupa luka-lesu oleh keturunan langsung Kapitan Rukuramba Ambros Era Toma.  

Itu di Ende. Juga di banyak tempat lain. Ritusnya ritus adat. Gelar yang dianugerahkan pun gelar adat. Akan halnya yang terjadi di Leragere terhadap Bupati Yance Sunur lain sama sekali. Ritusnya ritus adat. Tetapi gelarnya bukan gelar adat. Pahlawan tolak tambang itu tidak ada dalam perbendaharaan gelar adat setempat. Ini tidak lazim. Bahkan janggal. Dan kejanggalan ini menarik untuk dibicarakan, meskipun dalam hierarki berita Flores Pos  hari itu berita ini tidak mendapat tempat di halaman depan.

Bupati Yance Sunur pahlawan tolak tambang. Pertanyaan yang segera muncul: pengorbanan khusus apa yang telah diberikannya dalam perjuangan tolak tambang di Lembata sehingga dia dinilai pantas digelari pahlawan? Frasa kunci di sini adalah “pengorbanan khusus”, bukan sekadar “jasa khusus”. Ini penting, karena perbedaan antara pahlawan dan penjasa justru terletak di situ.

Pahlawan bukanlah terutama seseorang yang memberikan jasa khusus, tetapi seseorang yang melakukan pengorbanan khusus. Dalam banyak kasus, yang dikorbankan adalah milik terakhir yang tak tergantikan, yaitu hidup dan nyawa. Demikian menurut sosiolog Ignas Kleden dalam artikelnya “Pahlawan, Jasa dan Pengorbanan” (Majalah Tempo 17 Februari 2008). Seseorang yang memberikan jasa khusus, itulah penjasa. Seseorang yang melakukan pengorbanan khusus, itulah pahlawan. Berjasa berarti memberikan sesuatu. Berkorban berarti kehilangan sesuatu.

Dalam praktik, terutama demi kepentingan politik, pembedaan ini sering diabaikan. Maka tidak mengejutkan, misalnya, pada 2010 muncul usul agar mantan presiden Soeharto diberi gelar pahlawan nasional. Alasannya: dibandingkan dengan sembilan calon lain yang diajukan ke Dewan Gelar, Tanda Kehormatan, dan Tanda Jasa  tahun itu, Soeharto paling layak. Dia hidup dan berperan besar dalam empat masa pembangunan, 1945-2008.

Bahwa Soeharto berperan besar, itu jelas dan harus diakui. Dia penjasa. Karena itulah  dia telah dianugerahi gelar bapak pembangunan. Namun tidak dengan itu dia otomatis pahlawan. Tidak setiap penjasa adalah pahlawan. Soeharto memang memberikan jasa khusus, tetapi tidak melakukan pengorbanan khusus. Dia tidak mengorbankan dirinya sendiri. Sebaliknya, dalam banyak kasus pelanggaran HAM selama berkuasa, dia justru mengorbankan (banyak) orang lain. Dia pun tidak kehilangan sesuatu. Sebaliknya, dia mendapat hampir segala sesuatu, bahkan secara berlimpah-limpah. Dia hanyalah seorang penjasa. Dia bukan seorang pahlawan.

Bagaimana dengan Bupati Yance Sunur? Dalam tolak tambang di Lembata, dia bukanlah pahlawan. Dia tidak melakukan pengorbanan khusus. Dia tidak kehilangan apa pun. Yang pantas digelari pahlawan adalah masyarakat Leragere sendiri. Mereka telah berkali-kali melakukan demo tolak tambang. Berkali-kali berkonfrontasi dengan pemerintah. Berkali-kali diancam, dst. Bahkan, mereka telah mempertaruhkan nyawa melalui sumpah adat. Mereka tidak akan mengizinkan sejengkal pun tanah warisan leluhurnya ditambang. Melanggar sumpah adat ini berarti kematian.  

Dalam tolak tambang di Lembata, Bupati Yance Sunur juga bukanlah penjasa. Dia tidak memberikan jasa khusus. Yang pantas digelari penjasa adalah para imam Katolik yang berkali-kali turun ke tengah masyarakat Leragere melakukan penyadaran. Meskipun, kalau dianugerahi gelar ini, mereka mungkin akan menolak, sebab bagi mereka apa yang mereka lakukan hanyalah sesuatu yang sudah seharusnya dilakukan oleh semua kaum tertahbis, karena altar imam adalah altar kehidupan masyarakat, tidak sekadar altar di gedung-gedung gereja.

Kalau bukan sebagai pahlawan, bukan pula sebagai penjasa, lantas sebagai apakah Bupati Yance Sunur? Tidak sebagai apa-apa, selain hanya sebagai bupati, titik, yang dulu saat menuju kursi Lembata 1 berkampanye tolak tambang, tetapi sekarang ketika duduk di atas kursi itu mulai melupakan janjinya dan perlahan tergoda mewacanakan buka tambang.

Kalaupun dipaksa-paksakan untuk dimasukkan ke dalam perjuangan tolak tambang, di tengah kenyataan tersebut di atas, maka sebagai apanya sang bupati akan mengerucut pada dua kemungkinan berikut. Pertama,  jika janji tolak tambang pada kampanyenya hanyalah akal-akalan guna mendulang suara memenangkan pemilukada, maka dia telah bertindak sebagai pembohong. Kedua, jika janji tolak tambang pada kampanyenya benar-benar sebuah komitmen dengan rakyat tetapi kemudian dia tanggalkan hanya demi komitmen barunya dengan investor, maka dia telah bertindak sebagai pengkhianat.

Kalau seperti ini keadaannya,  lalu atas dasar apa dia digelari pahlawan tolak tambang? Apakah masyarakat Leragere sudah begitu dungunya sampai tidak bisa  membedakan secara sederhana saja mana yang bernas dan mana yang ampas? Atau sudah demikian bobroknyakah mereka sehingga mudah beralih tabiat dari pejuang menjadi penjilat, demi duit, sembako, proyek, dan lain-lain?

Saya menduga sebaliknya.  Masyarakat Leragere cerdas dan berintegritas. Mereka menganugerahi bupatinya gelar pahlawan bukan “karena” sang bupati telah melakukan pengorbanan khusus, tetapi “supaya” sang bupati berkewajiban melakukan pengorbanan khusus. Gelar di sini bukan lagi Gabe, pemberian sebagai kontraprestasi, tetapi Aufgabe, tugas yang harus ditunaikan. Sungguh sebuah kreativitas dari masyarakat yang cerdas dan berintegritas. ***

“Opini” Flores Pos, Sabtu 15 September 2012

08 September 2012

Yang Sesat Itu Siapa?


Oleh Frans Anggal

“Aliran Sesat Resahkan Warga Sikka”. Demikian judul berita halaman depan Flores Pos edisi Sabtu 1 September 2012.  Berita tersebut mengutip pernyataan anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Sikka dalam dialog pemimpin agama se-NTT di Kupang, Kamis 30 Agustus 2012. Dialog dihadiri Gubernur Frans Lebu Raya.   

Dalam dialog, disebutkan beberapa aliran atau denominasi di Kabupaten Sikka. Di antaranya, aliran Visi, Gereja Betel Indonesia (GBI) Rock, Gereja Kemenangan Iman Indonesia, dan kelompok doa Nepu. Aliran itu dinilai menyesatkan dan mengganggu kerukunan umat beragama. Mereka merekrut anggota dari penganut agama lain. Mereka mengusulkan pembangunan gereja di permukiman warga. Bahkan orang gila mereka mintai tanda tangan untuk mendukung usulan tersebut.

Menanggapi berita ini, Om Toki pada “Senggol” Flores Pos edisi Senin 3 September 2012 berceletuk. “Aliran sesat resahkan warga Sikka …. Ini soal perspektif! Jangan-jangan kita juga dinilai sesat oleh mereka ya?”

Tepat. Ini soal perspektif. Soal cara wawas. Seamsal mengukur tubuh orang lain dengan baju yang kita pakai. Kalau bajunya kebesaran, ah orang itu terlalu kurus. Kalau bajunya kekecilan, ah orang itu terlalu gemuk. Yang dilupakan, orang lain juga bisa mengukur tubuh kita dengan baju mereka. Di mata mereka, kita bisa terlalu gemuk, bisa juga terlalu kurus.    

Dalam menilai aliran lain,  mengukur ajaran “mereka” dengan ajaran “kita” berpeluang melahirkan cap negatif: “sesat”, “menyimpang”, dll. Sebatas dalam ruang privat (internal) agama atau kepercayaan, penilaian seperti itu dapat dimengerti. Setiap agama dan kepercayaan berusaha mempertahankan penganutnya agar tetap setia dan tidak berpindah ke agama atau kepercayaan lain. Persoalannya menjadi serius bahkan berbahaya manakala penilaian itu dibawa ke ruang publik. Jauh dari membina, cara ini justru membinasakan kerukunan.

Indonesia punya banyak contoh buruk. Yang paling ilustratif adalah tindak kekerasan Front Pembela Islam (FPI). Di tengah negara yang suka absen, FPI menjadi vigilante. Vigilantisme adalah paham yang membenarkan tindak kekerasan dengan mengambil alih fungsi penegakan hukum. Dalam sejarah AS, tulis The Lexicon Webster Dictionary (1971), pernah hidup vigilance committee. Yakni lembaga ekstralegal berkeanggotaan sukarela dan terorganisasi, yang menjaga aturan dan menghukum pelanggar dalam wilayah tempat otoritas legal tidak bekerja baik atau mengecewakan. Anggotanya disebut vigilante.

Dalam praktiknya, FPI sering menggunakan argumentasi agama untuk membenarkan tindakannya. Dengan kata lain, organisasi ini memakai argumentasi privat di dalam ruang publik. Sepak terjangnya leluasa ketika negara absen dalam ruang publik, terutama saat kehadiran, peran, sikap, dan tindakan tegas negara sangat dibutuhkan masyarakat.

Indonesia ini republik. Sebagai republik, Indonesia adalah sebuah ruang publik. Metafora domestika puitika menyebutnya rumah bersama. Dalam rumah bersama, argumentasi publiklah yang semestinya digunakan, bukan argumentasi privat. Yang membedakan warga satu dari warga lain adalah konstitusi, bukan kitab suci. Jarak antara si A dan si B  diukur dengan ayat-ayat yuridis, bukan dengan ayat-ayat biblis.

Ide republik dijelaskan bagus oleh Rocky Gerung dalam Pidato Kebudayaan 2010, “Merawat Republik, Mengaktifkan Akal Sehat”. Di dalam republik,  kata filosof ini, status primer seseorang adalah warga negara. Ia tentu memiliki status privat: agama, etnis, dll. Namun status privat tidak boleh diajukan untuk mendukung argumentasi publik. Republik hanya berurusan dengan argumentasi publik. Keyakinan agama warga negara bukanlah urusan negara. Negara pun tidak boleh diperalat untuk menjamin isi keyakinan itu. Negara hanya menjamin hak berkeyakinan itu sebagai hak warga negara. Dan sebagai hak, setiap orang bebas mendeskripsikan preferensi religiusnya, sekaligus bebas untuk tidak menggunakannya.

Persoalan “aliran sesat” di Kabupaten Sikka seyogianya diwawas dengan tilikan ini.  Forum dialog pemimpin agama se-NTT di Kupang itu adalah ruang publik. Di dalamnya representan negara juga hadir dalam diri gubernur. Yang mengherankan, yang dibawa masuk ke ruang itu bukan argumentasi publik, tetapi agumentasi privat. Petunjuknya tampak pada penilaian terhadap isi ajaran dari beberapa aliran di Kabupaten Sikka, yang dicap “sesat” dan “meresahkan warga Sikka”.

Cap “sesat” di sini, tolok ukurnya apa? Apakah konstitusi dan undang-undang (argumentasi publik)? Ataukah dogma, kitab suci, dan teologi agama tertentu (argumentasi privat)? Kalau tolok ukurnya konstitusi dan undang-undang, apa bentuk pelanggaran hukum dari isi “ajaran sesat” itu? Pasti tidak ada. Sebab, yang melanggar hukum hanyalah subjek hukum. Adapun isi keyakinan---sebagaimana ideologi, paham, cita-cita,  fantasi, imajinasi, dan mimpi---bukanlah subjek hukum.

Kalau tolok ukurnya dogma, kitab suci, dan teologi agama tertentu (argumentasi privat), mengapa itu dibawa ke ruang publik? Di hadapan representan negara pula, dalam hal ini gubernur, yang notabene tidak punya hak mengurus isi keyakinan. Jadi, yang “sesat” itu siapa? Yang diberi cap atau yang memberi cap?

Negara tidak punya hak menentukan mana agama tepat, mana agama sesat. Negara tidak punya hak memvonis mana ajaran lurus, mana ajaran bengkok. Isi keyakinan agama bukanlah urusan negara. Tetapi, bila isi keyakinan itu melahirkan tindak kriminal, negara wajib menghukum pelaku tindakannya, bukan melarang isi keyakinannya.

Apakah ada tindak kriminal yang lahir dari isi keyakinan “aliran sesat” di Kabupaten Sikka? Kalau ada, langkah yang tepat adalah melaporkan pelakunya ke polisi. Dan, tindakan melanggar hukum itulah yang  boleh dibawa ke ruang publik (dengan argumentasi publik), bukan isi keyakinan pelakunya (dengan argumentasi privat). Itu pun harus tetap dengan asas praduga tak bersalah, bukan asas praduga harus dihukum.

Ini yang tidak tampak dari (berita tentang) dialog pemimpin agama se-NTT di Kupang. Yang mencuat malah cap “aliran sesat” dengan tudingan “meresahkan warga Sikka”---sesuatu yang sesungguhnya lebih bersifat psikologis-sosiologis ketimbang yuridis.

Apa makna “meresahkan” dalam tudingan itu? Kecil kemungkinan “aliran sesat”, yang notabene minoritas baru, hadir di Sikka untuk meresahkan warga beragama lain yang adalah mayoritas. Yang lebih mungkin, si mayoritas menjadi resah karena di sampingnya telah hadir si yang lain. Kalau itu yang terjadi maka ini bukan lagi sekadar “soal perspektif” seperti celetukan Om Toki. Ini sudah soal sikap. Sikap intoleransi. Intoleransi dalam hidup bermajemuk. Dan itu berarti sebuah langkah mundur.

Ketika para bapak bangsa mendirikan Indonesia, kesepakatan rasional pertama yang mereka capai bagi kehidupan sosial adalah kesediaan menerima kemajemukan, tulis Rocky Gerung pada artikel dalam antologi SETARA Intitute,  Beragama, Berkeyakinan dan Berkonstitusi (Jakarta: 2009).

Fakta kemajemukanlah yang melahirkan Sumpah Pemuda, Pancasila, dan UUD 1945. Perbedaan merupakan alasan fundamental ke-Indonesia-an. Di satu sisi, kita berbeda-beda tetapi satu. Di sisi lain---ini yang semakin “dilupakan”---kita satu tetapi berbeda-beda. Perbedaan harus tetap diingatkan. Karena itu, segala upaya meniadakan perbedaan, salah secara logis dan berbahaya secara sosiologis.

Yang berbahaya secara sosiologis sudah kasat mata, antara lain pada tindak kekerasan FPI. Kita tidak menginginkan bahaya seperti itu muncul di NTT. Tetapi kita juga tak akan bisa menghindarkannya kalau kita tetap bersikap intoleran, seraya gemar membawa argumentasi privat kewargaagamaan ke dalam ruang publik kewarganegaraan. ***

“Opini” Flores Pos, Sabtu 8 September 2012

01 September 2012

Menguji Hari Jadi Mabar


Oleh Frans Anggal



Sumber foto: http://number-footing.blogspot.com
Kapan hari jadi Kabupaten Manggarai Barat (Mabar)? Jawaban resminya baru muncul pada 2012, ketika daerah otonom mekaran dari kabupaten induk Manggarai itu memasuki usia kesembilan. Bupati Agustinus Ch. Dula pada apel HUT Kemerdekaan RI di ibu kota Labuan Bajo, Jumat  17 Agustus 2012,  menyampaikan pengumuman. Bahwa, hari jadi Mabar jatuh pada 25 Februari. Bukan pada 17 Juli seperti yang dirayakan  tahun-tahun sebelumnya (Flores Pos Kamis 23 Agustus 2012).

Apa dasarnya? Tak ada penjelasan. Bupati hanya menyebut Perda Nomor 1 Tahun 2012 tentang Hari Jadi Mabar sebagai rujukan dalam pengumumannya itu. Sedangkan alasan  penetapan tanggalnya tidak disampaikan atau mungkin tidak diberitakan. Demikian pula mengapa 17 Juli dibatalkan, tidak dikemukakan.
Kapan hari jadi Kabupaten Manggarai Barat (Mabar)? Jawaban resminya baru muncul pada 2012, ketika daerah otonom mekaran dari kabupaten induk Manggarai itu memasuki usia kesembilan. Bupati Agustinus Ch. Dula pada apel HUT Kemerdekaan RI di ibu kota Labuan Bajo, Jumat  17 Agustus 2012,  menyampaikan pengumuman. Bahwa, hari jadi Mabar jatuh pada 25 Februari. Bukan pada 17 Juli seperti yang dirayakan  tahun-tahun sebelumnya (Flores Pos Kamis 23 Agustus 2012). 
 
Yang diucapkannya hanya urutan kejadian. “Untuk diketahui, tanggal 27 Januari 2003 sidang paripurna DPR/MPR RI di gedung Nusantara Jakarta, mengesahkan beberapa rancangan undang-undang pemekaran wilayah kabupaten/kota, satu di antaranya pemekaran wilayah Kabupaten Manggarai Barat. Pada 25 Februari 2003, UU No. 8/2003 yang telah ditetapkan DPR/MPR RI tersebut secara administratif diberi penomoran sesuai dengan urutan serta dicatatkan pada lembaran negara dan tambahan lembaran negara untuk kemudian ditandatangani oleh presiden Republik Indonesia  saat itu Megawati Soekarnoputri. Pada tanggal 17 Juli 2003 bertempat di Labuan Bajo, Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno meresmikan Kabupaten Manggarai Barat.”

Itu adalah kronologi. Bukan argumentasi. Meski demikian, argumentasi yang tersembunyi di baliknya bisa ditebak. Antara lain, dengan merekonstruksi wacana setahun sebelumnya, sebagaimana dilansir Flores Pos, baik melalui beritanya (Senin 25 Juli 2011) maupun melalui editorialnya “Bentara” (Kamis 28 Juli 2011). Bahwa, meskipun penetapannya dilakukan DPR pada 27 Januari, UU pembentukan Kabupaten Mabar baru berkekuatan hukum setelah disahkan presiden pada 25 Februari, untuk selanjutnya tinggal diresmikan mendagri pada 17 Juli. 

Formulasi tersebut menempatkan  pengesahan UU Mabar oleh  presiden sebagai titik kulminasi perjuangan Mabar kabupaten. Sedangkan penetapan UU-nya oleh DPR  sekadar pengantar, dan peresmian kabupaten oleh mendagri hanyalah penutup. Ini pandangan yang melulu yuridis, yang  lemah sebagai dasar penetapan hari jadi Mabar.

Pada ketiga peristiwa, terdapat tiga kata kunci, masing-masing menyangkut pelaku dan tindakannya. DPR menetapkan (27 Januari), presiden mengesahkan (25 Februari), mendagri meresmikian (17 Juli). Dalam alur Mabar kabupaten,  ketiga pelaku dan tindakannya itu erat terkait. Yang satu mengandaikan dan mempersyaratkan yang lain. 

Mendagri bisa meresmikan Kabupaten Mabar (17 Juli) karena presiden sudah  mengesahkan UU pembentukannya (25 Februari). Presiden bisa  mengesahkan UU pembentukan itu karena DPR telah  menetapkan-nya (27 Januari). Tanpa penetapan (oleh DPR), UU itu tidak bisa disahkan (oleh presiden). Tanpa pengesahan, kabupaten baru itu tidak bisa diresmikan (oleh mendagri). Tanpa peresmian, daerah otonom baru itu tidak bisa berjalan.

Ketiga pelaku dan tindakannya sama penting. Oleh fungsinya, satu mengandaikan dan mempersyaratkan yang lain, maka peristiwa yang satu tidak lebih penting daripada peristiwa yang lain. Dengan demikian pula, tanggal yang satu tidak lebih penting  daripada tanggal yang lain. Tanggal 27 Januari,  25 Februari, dan  17 Juli sama pentingnya.

Karena sama pentingnya maka semua tanggal itu bisa menjadi hari jadi Mabar: harinya Mabar menjadi kabupaten. Ketika DPR “menetapkan” UU-nya pada 27 Januari maka Mabar kabupaten “menjadi tetap”, dengannya 27 Januari  adalah “hari jadi penetapan Kabupaten Mabar”.  Ketika presiden “mengesahkan” UU itu pada 25 Februari maka Mabar kabupaten “menjadi sah”, dengannya 25 Februari  adalah “hari jadi pengesahan Kabupaten Mabar”. Ketika mendagri “meresmikan”-nya pada 17 Juli maka Mabar kabupaten “menjadi resmi”, dengannya 17 Juli  adalah “hari jadi peresmian Kabupaten Mabar”.

Kalau semua tanggal itu cocok sebagai hari jadi Mabar,  lalu atas dasar apa perda hanya memilih yang satu  dan menyingkirkan yang lain? Apa dasarnya sehingga 25 Februari-lah yang ditetapkan, dan bukan 27 Januari atau 17 Juli? 

Itulah lemahnya pandangan yang melulu yuridis. Ia mengabaikan pertimbangan etis, sesuatu yang  tidak hanya menjadikan hari jadi itu kenangan (ke belakang) tetapi juga pegangan, tuntunan, inspirasi, dan spirit (ke depan). Karena itu, yang diperlukan dalam menguji peristiwa historis bukan hanya konfrontasi yuridis, tetapi juga konfrontasi etis. Bila ini dilakukan maka hari jadi Mabar yang cocok bukanlah seperti yang ditetapkan perda. 

Mabar kabupaten itu sebuah perjuangan. Bahkan perjuangan dramatis.  Awalnya ada penolakan dari elite politik kabupaten induk Manggarai. Ada semacam ketidakrelaan jika Mabar disapih dari  induknya. Menghadapi resistensi elite ini, warga Mabar baik yang tinggal di Mabar maupun yang berkarya di luar tetap teguh berjuang. Sedemikian rupa, sehingga sulit untuk tidak mengatakan  perjuangan mereka adalah pengorbanan. Dalam demo perjuangan  di Ruteng ibu kota Kabupaten Manggarai kala itu, banyak aktivis yang ditangkap polisi, dipukul, dan dijebloskan ke dalam sel. Namun, semua keringat dan airmata seakan terhapus ketika palu diketukkan di Senayan pada 27 Januari 2003. Hari itu, rancangan UU pembentukan Kabupaten Mabar ditetapakan menjadi UU oleh DPR. 

Tanggal 27 Januari itulah puncak sejarah perjuangan Mabar kabupaten. Disebut puncak, karena yang dipikirkan dan diupayakan dalam dan selama perjuangan adalah bagaimana agar Manggarai kabupaten lolos di DPR, RUU pembentukannya ditetapkan menjadi UU. Bukan bagaimana agar UU-nya (nanti) disahkan oleh presiden (25 Februari). Juga, bukan bagaimana agar kabupatennya (nanti) diresmikan oleh mendagri (17 Juli).

Yang dilakukan di Senayan pada 27 Januari itu adalah perjuangan, mengatasnamakan masyarakat Mabar, termasuk mereka yang ditangkap, dipukul, disel karena berjuang. Perjuangan di DPR itu penuh argumentasi, persuasi, lobi, dan segala macam yang memeras otak, perasaan, waktu, dana, dll. Sedangkan presiden tinggal tanda tangan pada 25 Fabruari. Apa sih sulitnya? Mendagri tinggal  meresmikan kabupaten dan melantik penjabat bupatinya pada 17 Juli. Apa sih susahnya?

Jika dilakukan konfrontasi yuridis sekalipun, “penetapan” UU oleh DPR itu tetaplah kuat. Konstitusi UUD 1945 telah mengatur, jika presiden tidak mengesahkan (menandatangani) UU yang telah ditetapkan DPR maka dalam waktu 30 hari sejak penetapannya, UU itu sah dan wajib diundangkan. Kalau demikian halnya maka argumentasi terdahulu, yang menyebutkan bahwa UU pembentukan Kabupaten Mabar yang ditetapkan DPR  pada 27 Januari baru memiliki kekuatan hukum setelah disahkan oleh presiden pada 25 Februari, tidaklah cukup kuat dijadikan dasar penetapan 25 Februari sebagai hari jadi Kabupaten Mabar. Sebab, merujuk konstitusi, tanpa pengesahan oleh presiden sekalipun, UU pembentuan Kabupaten Mabar pasti akan tetap sah dan karena itu pasti akan tetap diundangkan. 

Dengan demikian, secara historis, yuridis-konstitusional, dan etis, 27 Januarilah yang cocok sebagai hari jadi Mabar. Bukan 17 Juli  seperti yang dirayakan  tahun-tahun sebelumnya. Bukan pula 25 Februari seperti yang ditetapkan perda. 

Mudah-mudahan suatu waktu kelak, seraya merujuk perda yang sudah direvisi nanti, bupati Mabar menyampaikan lagi pengumuman. Bahwa, hari jadi Mabar jatuh pada 27 Januari. Bukan pada 17 Juli. Bukan pula pada 25 Februari. ***

"Opini" Flores Pos, Sabtu 1 September 2012