30 Oktober 2010

Untuk “Mosalaki” Pantai

Penyegelan Kantor Desa di Ende

Oleh Frans Anggal

Masyarakat Desa Aewora, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende, kembali menyegel kantor desa setelah penyegelan pertama dibongkar polisi. Penyegelan ulang mereka lakukan karena tuntutan mereka belum terpenuhi. Yakni, penyelesaian tuntas kasus penyalahgunaan raskin dan penyelewengan keuangan desa oleh kades (Flores Pos Jumat 29 Oktober 2010).

Kasus raskin dan keuangan desa telah mereka laporkan ke pemerintah dan DPRD beberapa waktu lalu. Tunggu punya tunggu, tak ada penyelesaian. Kantor desa pun mereka segel Rabu 27 Oktober 2010. Polisi membongkarnya. ”Mosalaki” (kepala persekutuan adat sekaligus tuan tanah) merasa dilecehkan. Maka, kantor itu mereka segel ulang Kamis 28 Oktober. Dan, mereka jaga.

”Mereka (polisi) datang buka segel tidak beri tahu ’mosalaki’ dan tua adat. Mereka sudah hina para tua adat, dan kami tidak terima itu,” kata Yulius Mangu, anak ”mosalaki”. Kenapa mereka merasa dilecehkan? Kenapa pula, karena merasa dilecehkan, mereka segel kantor desa?

Dalam struktur kekuasaan adat Lio, mereka ini penguasa dan pemangku hak ulayat wilayah pantai (mosalaki dai mata ma’u enga nanga). Tugasnya, menyapa ramah para pendatang (talu rapa sambu, tawa rapa rega). Pantai itu pintu komunikasi dengan dunia luar, sekaligus gerbang peradaban. Maka, etos ke-mosalaki-annya adalah hospitalitas, keramahtamahan menerima tamu. Nah, kalau sampai mereka tidak ramah, tentu ada yang tidak beres.

Dalam kasus ini, yang tidak beres itu kades. Raskin ia salahgunaan, keuangan desa ia selewengkan. Sudah dilaporkan ke pemerintah dan DPRD. Namun penyelesaiannya lamban. Mereka tidak tahan. Mereka harus bersikap dan bertindak. Mereka tak punya daya tawar lain selain milik yang telah mereka serahkan ke pemerintah: tanah. Karena dibangun di atas tanah itulah, kantor desa mereka segel. Mereka akan buka kalau kasus diselesaikan.

Tindakan mereka jelas salah. Pertama, raksin dan keuangan desa itu bukan perkara adat. Ke-mosalakian-an tidak relevan di sini. Kedua, dengan telah diserahkan kepada pemerintah, tanah tempat kantor desa itu bukan lagi milik ”mosalaki”. Maka, menyegel kantor desa merupakan tindak penyerobotan.

Diwawas dengan kearifan budaya Lio, tindakan menyegel itu tidak bijaksana. Itu sama dengan mencopot tangga, menutup, dan mengunci pintu rumah (lai tangi, usu pere, sube pere). Justru dalam rumah itulah seharusnya masalah diselesaikan. Kalau tangganya dicopot, pintunya dipalang, rumah itu bukan rumah lagi. Ia hilang. Hilangnya rumah berarti hilangnya tempat paling intim bagi hospitalitas.

Selanjutnya, hilangnya hospitalitas berarti hilangnya etos yang semestinya melekat pada diri ”mosalaki” wilayah pantai. Sebab, tugasnya menyapa ramah pendatang. Keramahan paling intim justru di dalam rumah. Kalau rumah hilang, apa jadinya? Runyam!

Dengan filosofi ini, kita mendesak ”mosalaki” segera bongkar segel kantor desa. Tempuh (lagi) cara yang baik. Jangan gunakan solusi yang bukan solusi. Jangan atasi masalah dengan (buat) masalah.

Usahakan, datangi (lagi) camat dan DPRD. Dari dapil setempat, banyak orang hebat di dewan. Ada Marsel Petu yang ketua dewan. Ada Yustinus Sani, Armin W Wasa, Gabriel D Ema, dll. Tagih (lagi) janji mereka. Nyatakan terus terang: kami bosan dengan janji, janji, dan janji!

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 30 Oktober 2010

29 Oktober 2010

Ini Juga Tragedi Moral

Tenggelamnya KM Karya Pinang

Oleh Frans Anggal

KM Karya Pinang yang tenggelam di perairan Sada Watu Manuk, Flores, Jumat 22 Oktober 2010, dikemudi oleh anggota DPRD Sikka, Frans Ropi Cinde. Ini terungkap dari penyidikan terhadap nakhoda Adeodatus Rangga alias Ora yang sudah ditahan Polres Sikka (Flores Pos Kamis 28 Oktober 2010)..

Dalam kecelakaan ini---data hingga Rabu 27 Oktober 2010---sebanyak 14 meninggal, 9 hilang, 43 selamat. Pencarian korban masih barlangsung. Pemkab Sikka memperpanjang masa pencarian.

Sejak bertolak dari Palue hingga tenggelam, kapal dikemudi Frans Cinde. Begitu kesaksian banyak korban selamat. Ini fakta tak terbantahkan. Yang belum jelas, mengapa, bagaimana, dan untuk apa kemudi dialihtangankan ke seseorang yang berstatus penumpang. Proses hukum akan menjawabnya.

Sejauh diberitakan, penjelasan Ora sebatas menjawab pertanyaan mengapa ia tidak (segera) mengambil alih kemudi ketika tanda-tanda bahaya sudah di depan mata. ”Saya malu dan takut minta Frans Cinde agar jangan duduk di ruang kemudi. Saya juga malu untuk minta ambil (dan) nakhodai kapal, karena ia seorang pejabat.”

Malu, segan, takut. Ini sifat psikologis. Yang psikologis ini begitu dominan dan determinannya hingga mengalahkan yang etis: tanggung jawab dan tanggung gugat. Dampaknya, puluhan nyawa hilang sia-sia. Ini sudah jadi fenomena umum dunia angkutan. Di darat, kita kenal ”sopir tembak”. Banyak kecelakaan terjadi di tangan sopir jenis ini. Kemudi begitu entengnya dialihtangankan hanya karena pertemanan.

Budaya politik negeri ini pun ditandai fenomena serupa. Sifat psikologis lebih dihargai ketimbang sifat moral. Seorang koruptor dan penjahat kemanusiaan bisa dengan mudahnya diampuni tanpa diadili. Pengampunan diberikan tanpa pamastian apa persis bentuk kesalahannya. Rasa tak tega (sifat psikologis) mengalahkan rasa keadilan (sifat moral).

Contoh paling jelas, Soeharto. Tidak ada putusan pengadilan yang memastikan bentuk kesalahannya. Eh, tiba-tiba muncul wacana memaafkan Soeharto. Eh, tiba-tiba muncul lagi wacana memahlawankan Soeharto. Ini budaya politik buruk. Melemahkan sendi negara hukum. Negara hukum adalah negara yang memenangkan sifat moral di atas sifat psikologis.

Dalam konteks ini, tenggelamnya KM Karya Pinang tidak hanya tregadi kemanusiaan. Ini juga tregadi moral. Hancurnya yang etis oleh yang psikologis. Seandainya Ora tempatkan tanggung jawab dan tanggung gugatnya terhadap keselamatan penumpang, di atas malu dan takutnya terhadap Frans Cinde, ceritanya mungkin lain.

Hingga kini, Frans Cinde belum bisa dihubungi. Telepon masuk tidak ia angkat. SMS masuk tidak ia balas. Tampaknya ia memilih diam. Ia tidak gunakan hak jawab, yang bisa membenarkan, membantah, mengoreksi, atau menyempurnakan keterangan Ora. Akal sehat kita menduga, ia memilih diam sebagai emas mungkin karena ia sedang cemas.

Betapa tidak. Di tangannyalah kapal itu tenggelam. Di tangannyalah puluhan jiwa melayang. Kisah Frans Cinde ”juru mudi tembak” memperpanjang kisah ”tembak” anggota dewan. Apa yang kita kenal dengan stuba dewan boleh jadi hanyalah aksi ”peneliti tembak”. Di Pusat, anggota Badan Kehormatan DPR kebelet jadi ”filosof tembak”. Ngotot pergi belajar etika di Yunani. Hmm. Mereka merasa bisa, tanpa bisa merasa.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 29 Oktober 2010

27 Oktober 2010

Kesaksian dari Sikka

NTT Kekurangan Dokter Spesialis

Oleh Frans Anggal

Provinsi NTT kekurangan dokter, terutama dokter spesialis. Saat ini NTT hanya miliki 53 spesialis. Dengan jumlah itu, NTT masih kekurangan 47, berdasarkan standar Depkes 1997. Kenapa kurang? Sekretaris Dinas Kesehatan Provinsi NTT Jakobus Atasoge kasih jawaban.

Menurut dia, penyebabnya adalah rasa enggan para dokter spesialis. Topografi, sarana dan prasarana, serta tingkat kesejahteraan masyarakat NTT kurang menguntungkan para dokter. ”Rasa enggan seperti ini wajar dan normal, dan mencerminkan perilaku dalam pasar kerja, apalagi (untuk) profesi dokter ahli” (Flores Pos Rabu 27 Oktober 2010).

Agumentasi ini memurukkan citra dokter spesialis. Terkesan, para profesional medis ini tidak lebih daripada pencaker (pencari kerja), bahkan pencatung (pencari untung). Panggilan luhur profesi mereka seakan hanya diperuntukkan bagi masyarakat kaya, di wilayah topografi mudah, dengan sarana dan prasarana nyaman. Spesialis identik dengan elitis.

Pemurukan ini kian ’sempurna’ karena pemerintah mengambil sikap etis yang sesat. Jakobus Atasoge bilang, ”Rasa enggan seperti ini wajar dan normal.” Pemosisian kita justru sebaliknya. Ini tidak wajar dan tidak normal. Ini melanggar asas profesionalisme. Yaitu: kesanggupan melayani klien dalam hal-hal yang mati-matian dibutuhkannya, dengan keahlian sedemikian rupa, sehingga kepentingan klien selalu diutamakan di atas kepentingan sang profesional (Bernhard Kieser: 1991).

NTT akan selalu kekurangan dokter spesialis kalau cara wawas pemerintah masih seperti itu. Biang kerok selalu ditudingkan ke dokter spesialis. Tidak diarahkan ke diri sendiri. Pemerintah suka memandang kutu di seberang lautan, tapi enggan menatap gajah di pelupuk mata. Gajah di pelupuk mata itu adalah manajemen salah urus.

Contoh. Untuk perjalanan dinas gubenur, bupati, walikota, miliaran rupiah bisa habis dengan mudah. Jadi, uang ada, cukup. Tapi untuk menggaji pantas dokter spesialis, ’tiba-tiba’ uang tidak ada. Dalihnya dana terbatas. Persoalannya bukan dana terbatas, tapi pemanfaatan tak tahu batas. Yah, manajemen salah urus. Tidak tahu skala prioritas, suka boros, dan gemar kurup.

Dengan ini, kita tolak pemurukan citra dokter spesialis. Apalagi menganggap itu wajar dan normal. Mereka tidak seburuk itu. Tengoklah Sikka. Dokter spesialis RSUD Maumere siap bantu RSU Santo Gabriel. ”Saya akan bantu di sela-sela kesibukan. Toh yang dilayani di RSU Santo Gabriel adalah masyarakat Sikka (juga),” kata Asep Purnama, spesialis penyakit dalam. Sebagai Direktur RSUD (milik pemerintah), ia mengajak dokter spesialis lain luangkan waktu layani pasien RSU Santo Gabriel (milik swasta).

Masyarakat Sikka patut bersyukur. Pemkab Sikka patut berbangga. Mereka punya dokter spesialis seperti ini. Dokter, pelindung manusia. Yang tidak perjual-belikan manusia sakit bagaikan barang. Yang tidak manfaatkan derita orang sakit untuk cari untung.

Ini sebuah kesaksian, yang membantah profesional medis sekadar pencaker dan pencatung. Yang membantah panggilan profesi dokter spesialis hanya bagi masyarakat kaya, di wilayah topografi mudah, dengan sarana dan prasarana nyaman.

Sebaliknya. Kesaksian dari Sikka meneguhkan satu hal. Semakin spesialis haruslah berarti semakin etis, bukan semakin elitis.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 28 Oktober 2010

Ke Yunani Belajar Etika?

Menyoal Rencana BK DPR RI

Oleh Frans Anggal

Setelah beraneh-aneh dalam banyak hal, kini DPR RI punya ’mainan’ baru. Ke Yunani. Di negeri filosof Socrates ini, mereka mau belajar etika dan cara berperilaku anggota dewan. Yang kebelet ingin berangkat, tidak salah-salah: anggota ’paling terhormat’ dari lembaga terhormat itu. Anggota Badan Kehormatan (BK) DPR.

Ketua BK Gayus Lumbun sendiri bersikap lain. Menurutnya, ke Yunani tidak perlu. Tidak bermanfaat. Namun, ia tak berdaya. ”Sebagai ketua BK, saya tidak bisa mencegah secara langsung, dikarenakan sifat pimpinan BK yang kolektif kolegial” (Flores Pos Senin 25 Oktober 2010).

Pernyataan Gayus menyingkap apa yang terjadi. Ke Yunani mereka pergi, bukan karena itu baik, perlu, penting, mendesak, dan berguna, tapi karena sebagian besar anggota mau ke sana. Jumlah (multa) kalahkan mutu (multum). Dalam badan yang merupakan jantungnya etika parlemen, konfrontasi etik justru takluk di bawah konfirmasi statistik.

Apa alasan paling mendasar sehingga mereka harus ke Yunani? Karena Yunani negeri asal filsafat moral? Kalau itu alasannya, sungguh naif. Analog dengan mi. Mi berasal dari Cina. Namun, untuk bisa buat mi, orang tidak harus kursus ke Cina. Di Indonesia juga bisa. Mi instan buatan Indonesia justru terkenal di dunia.

Atribut ”Yunani” pada etika dan cara berperilaku anggota dewan---kalau memang itu relevan---hanya mengharuskan pembelajaran ”dari” Yunani, bukan ”di” Yunani, sehingga tidak mesti ”ke” Yunani. Etika dan cara berperilaku anggota dewan ala Yunani---kalau benar itu tipikal dan cocok untuk Indonesia---bisa dipelajari di mana saja. Di Indonesia juga bisa. Kita punya banyak filosof. Baca buku, lacak internet, atau ikuti kelas ekstensi di sekolah tinggi atau fakultas filsafat setempat, beres.

Kalau mesti begitu, hebat apanya etika dan cara berperilaku anggota dewan ala Yunani? Kita sudah punya pedoman etis koq. Dari budaya, agama, hukum, dan ideologi. Pancasila sudah kita terima sebagai satu-satunya pegangan etik sistem dan kebijakan pembangunan. Pancasila sudah (seharusnya) menjadi acuan etika dan perilaku anggota dewan. Tinggal jabarkan kelima silanya, selesai. Tidak perlu habiskan uang rakyat ke Yunani.

Bahkan, jauh sebelum Pancasila dirumuskan, kita sudah kenal etika dan cara berperilaku. Tokoh Myrna dalam prolog novel Kerudung Merah Kirmizi karya Remy Sylado (2004) berkata: ketika agama Hindu-Buddha masuk, kita menyerap kata Sanskerta: budaya dan susila. Ketika agama Islam masuk, kita menyerap kata Arab: adab dan akhlak. Ketika agama Serani masuk, kita menyerap kata Yunani/Latin: etika dan moral. Budaya dan susila, adab dan akhlak, etika dan moral, telah mengaliri sendi keinsanian kita.

Semuanya sudah ada di sini. Buat apa cari jauh-jauh ke Yunani? ”Aku sering merenung-renung mencari jawaban: gerangan apa yang menyebabkan bangsa Indonesia kehilangan mutunya sebagai manusia,” kata Myrna. ”Agaknya ada sesuatu yang tidak beres atas gen bangsa Indonesia.”

Myrna terlalu pukul rata. Tidak semua insan Indonesia kehilangan mutunya sebagai manusia. Kalangan tertentu saja. Antara lain, BK DPR itu. Mereka mengalami defisit moral. Kekuatan moral yang mendorong terbentuknya badan kehormatan itu kini merosot menjadi transaksi kepentingan para anggotanya. Pelesir di-stuba-kan. Stuba di-pelesir-kan. Duh!

“Bentara” FLORES POS, Rabu 27 Oktober 2010

26 Oktober 2010

Soeharto Pahlawan?

Tidak Setiap Penjasa Itu Pahlawan

Oleh Frans Anggal

Mantan Wapres RI Jusuf Kalla (JK) berpendapat, rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto bisa dimengerti. Soeharto punya kontribusi besar bagi negeri ini. Namun, segala sesuatunya perlu dipertimbangkan. Khususnya pro dan kontranya (Flores Pos Senin 25 Oktober 2010).

JK tidak lugas nyatakan setuju atau tolak. Ia hanya minta pemberian gelar tidak tergesa-gesa. Sebab, masih ada pro dan kontra. Tunggu dulu, sampai pro dan kontra reda. Begitu pro dan kontra lenyap, silakan.

Pendapat JK seakan dibenarkan sejarahwan UI, Magdalia Alfian. Dia bilang, faktor waktu sangat berpengaruh. Masyarakat sekarang masih bisa melihat dan bahkan mengingat tindak-tanduk Soeharto. Euforia reformasi masih kental. Jadi, “Terlalu cepat pengajuan gelar ini. Seandainya 5-10 tahun yang akan datang baru diajukan, mungkin lain ceritanya” (Okezone Jumat 22 Oktober 2010).

Wacananya betul-betul dangkal. Penggelaran pahlawan sekadar masalah teknis. Soal waktu. Makin panjang rentang waktunya, makin terkikis sosok sang tokoh dalam ingatan publik, dengan demikian makin berkurang pro dan kontranya, sehingga makin mudahlah sang tokoh digelari pahlawan. Di sini, kelupaan sejarah, amnesia historis, dipandang sebagai solusi pemahlawanan. Mengerikan.

Karena investasi utamanya waktu dan kelupaan, maka semua mantan presiden jangan saling iri. Semua pasti di-pahlawan-nasional-kan. Habibie, Gus Dur, Mega, SBY, harap bersabar. Pada saatnya, kamu akan dapat. Di negeri ini, kepahlawanan itu soal teknis. Soal waktu. Soal giliran. Soal arisan.

Secara demikian, seandainya lahir dan berkuasa di Indonesia, Hitler pun bisa jadi pahlawan nasional, meski sudah bantai jutaan orang. Waktu bisa pudarkan kejahatan kemanusiaannya dari ingatan publik. Kurang lebih begitulah konsekuensi logis dari wacana ala politikus JK dan sejarahwan Magdalia Alfian.

“Terlalu cepat pengajuan gelar ini,” kata Magdalia Alfian. Aha! Dia keliru. Penggelaran pahlawan itu bukan soal “cepat”, tapi soal “tepat”. Soal ‘layak dan patut’ (fit and proper). Kata ’layak’ menunjuk muatan formal. Kata ’patut’ menunjuk muatan moral. Secara formal, Soeharto ’layak’. Dibandingkan dengan 9 calon pahlawan nasional lain yang diajukan tahun ini ke Dewan Gelar, Tanda Kehormatan, dan Tanda Jasa, Soeharto paling ‘layak’. Dia hidup dan berperan besar dalam empat masa pembangunan, 1945-2008.

Yang jadi soal, apakah dia juga ‘patut’? Tidak! Ia koruptor. Ini “gelar” sah, karena tercantum dalam Tap MPR 11/2008 (tentang pemberantasan KKN yang dilakukan Soeharto dan keluarganya). Kan lucu, tap koruptornya belum dicabut, sekarang mau bikin tap pahlawannya. Pahlawan yang koruptor. Koruptor yang pahlawan. Janggal. Belum lagi pelanggaran HAM beratnya yang belum lenyap dari perbincangan internasional. Makin janggal.

Bahwa Soeharto berjasa, ya. Untuk itu, ia sudah digelari bapak pembangunan. Itu sudah cukup. Tidak setiap penjasa itu pahlawan. Penjasa: orang yang berikan jasa khusus. Sedangkan pahlawan: orang yang berikan pengorbanan khusus. Berjasa: memberikan sesuatu. Sedangkan berkorban: kehilangan sesuatu (bdk esai Ignas Kleden, Tempo 17 Februari 2008).

Soeharto tidak berikan pengorbanan khusus. Ia tidak korbankan diri. Sebaliknya, ia korbankan (banyak) orang lain. Ia tidak kehilangan sesuatu. Sebaliknya, ia mendapat segala sesuatu. Ia tidak layak dipahlawankan.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 26 Oktober 2010

16 Oktober 2010

Hmm, Sumpah Pocong

Kasus Kematian Nurdin di Kabupaten Sikka

Oleh Frans Anggal

Markus Wara, saksi kunci kasus dugaan pembunuhan Nurdin bin Yusuf di Kabupaten Sikka, menantang Fidentius Oskar pengacara tersangka Aseng dan Angelo melakukan sumpah pocong untuk membuktikan keterangan siapa yang benar dan siapa yang salah.

”Saya memberikan keterangan yang sesungguhnya. Apa yang saya lihat dan saya alami (adalah) bahwa Nurdin mati karena dibunuh. Justru yang harus ditangkap polisi adalah Oskar yang menceritakan keterangan (palsu) di koran itu, karena dibayar oleh Aseng. Masyarakat tahu apa yang saya ceritakan benar. Kecuali Oskar, yang ingin Aseng bebas” (Flores Pos Jumat 15 Oktober 2010).

Tantangan ini dilontarkan Wara sebagai reaksi atas pernyaataan Oscar. Pengacara ini meminta polisi segera tetapkan Wara jadi tersangka karena Wara telah buat kesaksian palsu. ”Nurdin sebenarnya meninggal akibat lakalantas” (Flores Pos Senin 11 Oktober 2010).

Ditantang Wara, Oscar nyatakn siap. Namun yang harus ladeni Wara bukan dirinya, tapi kliennya. ”Saya kira klien saya Aseng sudah jauh sebelumnya menantang siapa saja untuk lakukan sumpah pocong. Tantangan sumpah pocong sudah jauh-jauh (hari) disampaikan klien saya.”

Menurut KBBI, sumpah pocong adalah sumpah yang disertai tidur membujur ke utara menghadap kiblat (barat) di dalam masjid dan berpakaian kain kafan (dipocong seperti mayat). Ada kepercayaan, yang bersumpah benar pasti tetap hidup. Yang bersumpah palsu pasti (langsung) mati.

Cara ini berasal dari sistem peradilan kuno. Belum ada dewan untuk susun UU. Belum ada polisi untuk sidik. Belum ada jaksa untuk tuntut. Belum ada pengacara untuk bela. Belum ada hakim untuk putuskan. Kepastian hukum (di)datang(kan) dari lembaga dikodrati. Intervensinya tentukan siapa benar, siapa salah.

Seandainya ini digunakan dalam peradilan Nurdin, Sikka gegerkan dunia. Bayangkan: orang rame-rame ke masjid, saksikan Oscar Wara dan Aseng dikafani seperti pocong, tidur membujur menghadap kiblat, lalu bersumpah dengan menyebut nama Tuhan. Hasilnya: siapa yang tetap hidup, dia tidak bersalah. Siapa yang langsung mati, dia bersalah.

Luar biasa. Ini penghematan sumber daya aparatur, lembaga, dan keuangan negara. Polisi, jaksa, hakim, dan pengacara tidak diperlukan. Tupoksi mereka sudah diambil alih Tuhan. Penyidikan, penuntutan, dan persidangan ala Tuhan tidak bertele-tele. Ia langsung hadir, dengar, dan putusan, selesai. Penjara tidak diperlukan. Sebab, yang bersalah langsung dikuburkan, karena langsung mati.

Dengan ini, kita hendak mengecam wacana sumpah pocong. Ini langkah mundur peradaban. Kalau Aseng dan Wara yang omong, kita mengerti. Mereka ’orang biasa’ yang terjepit. Aseng ditersangkakan. Wara diamankan di Jakarta oleh lembaga pelindungan saksi. Yang kita herankan, pengacara koq nimbrung. ”Tantangan sumpah pocong sudah jauh-jauh (hari) disampaikan klien saya.”

Ini apa-apaan? Kalaupun benar klien omong begitu, yang irasional ini tidak patut dikutip. Selain membela hak hukum klien, tugas profesional pengacara adalah mencerdaskannya. Bukan ikut-ikutan jadi bodoh. Ini menyalahi etos keprofesionalan. Orang profesional mesti mengusahakan nilai luhur yang khas bagi profesinya. Jika perlu, mengutamakan nilai luhur profesi di atas kepentingan klien!

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 16 Oktober 2010

15 Oktober 2010

Nalar Ajar, Budi Takar

Pengujian UU Sisdiknas

Oleh Frans Anggal

Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pengujian UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang diajukan Yayasan Salafiyah Pekalongan dan Yayasan Santa Maria Pelakongan (Flores Pos Kamis 14 Oktober 2010).

Dalam pokok permohonannya, pemohon persoalkan kata ”dapat” pada pasal 55, ayat 4. Bunyinya: lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Menurut pemohon, kata ”dapat” itu mengimplikasikan dua hal. Pertama, menghilangkan atau setidak-tidaknya berpotensi menghilangkan kewajiban pemerintah/hak pemohon dalam pembiayaan pendidikan dasar. Kedua, menghilangkan atau setidak-tidaknya berpotensi menghilangkan (1) hak konstitusional dapatkan perlakuan sama di hadapan hukum, (2) jaminan mendapatkan kepastian hukum, (3) hak mendapatkan perlakuan tidak diskriminatif serta perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM.

Agar konteksnya jelas, simaklah pesan yang wajib dicantumkan pada setiap bungkusan rokok. ”Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin”. Seandainya kata ”dapat” dihilangkan, pesan ini mengandung pemutlakan: merokok (pasti) menyebabkan kanker dst.

Faktanya? Ada bahkan banyak perokok tidak menderita kanker dst. Dengan hanya satu perokok seperti ini, pemutlakan itu gugur. Karena itulah, kata ”dapat” harus dicantumkan. Dengan demikian, menjadi benar: merokok bisa menyebabkan kanker dst, bisa juga tidak.

Yang membaca filosof Karl R Popper mengenal ini sebagai asas falsifiabilitas, yang mengadung asimetri logis berdasarkan hukum logika. Entah sudah berapa banyak perokok yang menderita kanker, secara logis tidak bisa dikatakan semua perokok menderita kanker. Sebaliknya, cukup hanya satu perokok yang tidak menderita kanker maka bisa dipastikan tidak semua perokok menderita kanker.

Pasal 55, ayat 4, UU Sisdiknas: lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan secara adil dan merata dari pemerintah. Artinya? Bantuan itu bisa diperoleh, bisa juga tidak. Tidak ada pewajiban mutlak pada pemerintah untuk memberikan bantuan.

Pemohon menutut kata ”dapat” itu dicabut. Kalau tanpa kata ”dapat” maka pemerintah berkewajiban mutlak memberikan bantuan. Pertanyaan kita: baik dan benarkah pemutlakan seperti ini? Tidak! Ini melanggar asas subsidiaritas. Apa yang bisa oleh masyarakat sendiri, tidak perlu (lagi) oleh pemerintah. Tapi, apa yang tidak bisa oleh masyarakat sendiri, wajib dilakukan (dibantu) pemerintah.

Berdasarkan asas ini, pencatuman kata ”dapat” itu tepat. Lucunya: implikasi minimal yang diandaikan pemohon, secara konsisten-logis justru mendukung kata ”dapat”. Pemohon menyatakan: kata ”dapat” pada pasal tersebut ... setidak-tidaknya berpotensi menghilangkan kewajiban pemerintah dst. Kata ”berpotensi” sama maknanya dengan kata ”dapat”: bisa ya, bisa tidak. Bisa hilangkan kewajiban pemerintah, bisa juga tidak. Jadi, pemohon menolak kata ”dapat” dengan menggunakan (sinonim) kata ”dapat”. Mana tidak lucu itu.

Kita tidak hendak remehkan maksud baik pemohon. Yang mau kita tekankan: maksud baik saja tidak cukup. Maksud baik perlu didukung penalaran absah. Hati perlu diteguhkan otak. Juga sebaliknya. Nalar mengajar, budi menakar.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 15 Oktober 2010

14 Oktober 2010

Selamat Tidur, Polisi!

Maraknya Vigilantisme di Indonesia

Oleh Frans Anggal

Kehadiran Tera Patrick dalam film horor Indonesia membuat gerah Front Pembela Islam (FPI). FPI siap mencegat bintang film porno itu jika ia datang lagi ke Tanah Air untuk promosikan filmnya. ”Kita akan menggelar aksi di bandara kalau bintang film Amerika itu datang lagi ke Indonesia,” kata Ketua FPI DKI Jakarta Habib Saim Umar Alatas (Flores Pos Rabu 13 Oktober 2010).

Tera Patrick sudah datang. Sudah syuting. Dan sudah pulang. Rencana kedatangan dan pengambilan gambarnya untuk film ”Rintihan Kuntilanak Perawan” sepi dari liputan media. Tidak seheboh rencana kedatangan dan pengambilan gambar ”Menculik Miyabi” yang dimainkan bintang film porno asal Jepang, Maria Ozawa Miyabi, kali lalu. Mbak Tera aman. Sedangkan Mbak Miyabi menangis karena syutingnya terpaksa pindah ke Jepang.

Rupanya produser KK Dheeraj belajar dari kasus Miyabi. Publikasi rencana kedatangan dan syuting tidak boleh heboh. Harus diam-diam. Mbak Tera pun didatangkan diam-diam. Syuting diam-diam. Kaget-kaget, sudah pulang. Filmnya sudah diloloskan Lembaga Sensor Film (LSF). Dan siap tayang.

Seperti “Menculik Miyabi”, “Rintihan Kuntilanak Perawan” hanyalah film horor. Bagi FPI, yang penting tidak porno, tidak apa-apa. Yang bikin FPI gerah, kenapa film horor harus diperankan bintang porno. ”Memangnya tidak ada yang cantik dan berakhlak bintang film kita?" kata Habib Salim Alatas. Maka, “… kalau dia (Tera Patrick) main film horor, ya tidak apa-apa, tapi kita menolak kedatangannya ke Indonesia karena haram hukumnya!"

Menolak kedatangan bintang porno dari mana pun! Itulah sikap FPI. Implikasinya---sebagaimana alasan tindak kekerasannya sejak 2001---FPI akan ‘beraksi’ kalau aparat negara tidak bertindak setelah diingatkan. FPI mengambil alih tugas negara ketika negara dinilainya lalai.

Dari modus ini, aksi FPI bukan premanisme dalam batasan ala Miller (1958). Lebih tepat, ini vigilantisme. Paham yang membenarkan tindak kekerasan dengan mengambil alih fungsi penegakan hukum. The Lexicon Webster Dictionary (1971) merujuknya ke vigilance committee dalam sejarah AS. Yaitu, lembaga ekstralegal, berkeanggotaan sukarela dan terorganisasi, yang menjaga aturan dan menghukum pelanggar, di dalam wilayah di mana otoritas legal tidak bekerja baik atau mengecewakan. Anggotanya disebut vigilante.

Dalam konteks Indonesia, vigilantisme mengemuka sejalan dengan kian maraknya tindak kekerasan oleh kelompok warga terhadap warga lain. Kelompok paling terkenal, FPI. Organisasi Islam garis keras. Berdiri dengan tujuan menegakkan syariat Islam di negara sekular. Dideklarasikan 17 Agustus 1998, hanya empat bulan setelah Soeharto mundur. Kenapa? Pada masa Soeharto, tindakan ekstremis dalam bentuk apa pun tidak ditoleransi.

Dalam hal satu ini, Soeharto dan Orde Baru hebat, dan tepat. Kekerasan itu monopoli negara. Personifikasi negara, dalam hal ini, polisi. Dalam ranah penegakan hukum, atas dasar rasional dengan kadar proporsional, penggunaan kekerasan oleh polisi dibenarkan secara hukum.

Karena hanya negaralah yang memonopoli kekerasan, dan polisilah personifikasinya dalam hal ini, maka hanya polisilah yang boleh melakukan kekerasan. Ini diskresi. Bukan diskriminasi. Di era Reformasi, batasan ini kabur. FPI jadi polisi (moral), sedangkan polisi (hukum) tidur atau jadi penonton.

Wah. Lengkap sudah kebobrokan negeri ini. Negeri para koruptor. Negeri para teroris. Negeri para vigilante. Selamat tidur, polisi!

“Bentara” FLORES POS, Kamis 14 Oktober 2010

12 Oktober 2010

Makin Islami Berarti ….

Pemberangkatan 109 Calon Haji dari Ende

Oleh Frans Anggal

Sebanyak 109 calon haji dari Kabupaten Ende diberangkatkan dari Bandara H Hasan Aroeboesman Ende menuju Surabaya, Senin 11 Oktober 2010. Penerbangan dari Ende, dua kali. Pertama 80 orang, kedua 29 orang (Flores Pos Selasa 12 Oktober 2010).

Ketua Umum Pemberangkatan dan Penjemputan H Achmad Mochdar memohon doa semua pihak, agar para calon haji dilindungi Allah swt sehingga dapat jalankan ibadah dengan baik dan kembali dengan selamat. Wabup Ende ini berharap, mereka jadi haji mabrur.

Harapan Ketua Umum MUI Ende H Abdurahman Aroeboesman juga begitu. Mereka jadi haji mabrur. Mampu tingkatkan kualitas hidup membangun bangsa dan negara. Untuk itu, doa dari sesama pihak sangat diharapkan.

Kita doakan! Apa pun agama kita. Mereka itu sesama, ciptaan khalik yang satu dan sama: Tuhan. Mereka itu sesama, penghuni planet yang satu dan sama: Bumi. Mereka itu sesama, warga dan penduduk negara yang satu dan sama: Indonesia. Oleh yang satu dan sama, kita diper-satu-kan dan diper-sama-kan. Kita jadi satu dan sama, di hadapan Tuhan, di atas Bumi, di bawah Indonesia.

Satu dan sama di hadapan Tuhan tidak haruskan satu dan sama agama. Memang harus ada yang satu dan sama bagi semua ciptaan-Nya. Namun itu bukan agama, tapi religiositas. Ciri autentiknya: penuntunan manusia ke arah segala makna yang baik. Demikian mufti besar Muhammad Abduh, berdasarkan Surah 5,105. Dalam bahasa Santo Paulus, ciri autentiknya: cinta kasih, berpokok dalam hati nurani, hati yang jujur dan iman yang tidak pura-pura (1 Tim 1:5).

Satu dan sama di atas Bumi tidak haruskan satu dan sama bangsa dan negara. Memang harus ada yang satu dan sama bagi semua penghuni Bumi. Namun itu bukan bangsa dan negara, tapi kemanusiaan. Kemanusiaan yang maha-esa, demi pengamalan ketuhanan yang adil dan beradab. Kemanusiaanlah alasan terdalam lahirnya PBB (meski belum adil), kovenan internasional HAM dll, Piala Dunia , Palang Merah Internasional, Green Peace, dst.

Satu dan sama di bawah Indonesia tidak haruskan satu dan sama suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Memang harus ada yang satu dan sama bagi semua insan Indonesia. Namun itu bukan SARA, melainkan kewargaan dan kependudukan. Inilah dasar dari persamaan di depan hukum. Negara hanya boleh bedakan warga dan penduduknya atas dasar hukum publik. Klasifikasinya hanya dua: taat hukum dan lawan hukum. Apa pun suku, agama, ras, dan golongannya, semua warga dan penduduk itu sama di mata negara. Dan karena itu, harus diperlakukan sama di depan hukum.

Dalam kesadaran inilah, doa bagi para calon haji kita panjatkan. Semoga mereka pergi-pulang selamat. Seluruh ibadahnya berjalan baik. Dan semoga mereka jadi haji mabrur. KBBI mengartikannya haji yang diterima Allah. Haji yang baik.

Dalam konteks bahwa kita semua satu dan sama di hadapan Tuhan, di atas Bumi, di bawah Indonesia, haji mabrur berarti haji yang islami. Islam itu ’rahmat bagi semesta alam’. Maka haji mabrur adalah haji yang membawa rahmat bagi semua orang, tanpa sekat imajiner suku, agama, ras, dan golongan.

Dalam konteks bahwa kita semua satu dan sama di hadapan Tuhan, di atas Bumi, di bawah Indonesia, makin islami, makin kristiani, dll berarti makin tertuntun ke arah segala makna yang baik, makin berperikemanusiaan, dan makin taat hukum. Jika itu yang terjadi, doa kita tidak sia-sia.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 13 Oktober 2010

Maju Terus GUSTI!

Tolak Tambang Didukung Banyak Pihak

Oleh Frans Anggal

Bupati-wabup paling fenomenal di NTT saat ini, GUSTI. Bupati-wabup Manggarai Barat. Agustinus Ch Dula dan Maximus Gasa. Pada kampanye pemilukada, GUSTI ucapkan tolak tambang. Menang. Hari-hari pertama memimpin, diragukan. Benarkah GUSTI tolak tambang? Ataukah tolak tambang hanya kecap kampanye?

Keraguan mencuat, karena GUSTI tidak segera teguhkan sikap. Padahal, janji politik kampanye selalu menuntut dua hal. Pertama, konfirmasi, lewat ucapan. Kedua, aplikasi, lewat tindakan. Kalau ber-ucap saja ragu, bagaimana mungkin ber-tindak teguh. Lalaikan ucapan, inilah yang terjadi pasca-pelantikan.

Pada syukuran pelantikan di Tentang-Kuwus, Senin 20 September 2010, GUSTI tak ucapkan (lagi) tolak tambang. Padahal, dalam khotbah misa syukuran itu, Uskup Ruteng Mgr Hubertus Leteng ‘tagih’ janjinya. Pada sidang paripurna DPRD di Labuan Bajo, 29 Septembar s.d. 1 Oktober 2010, GUSTI pun tidak ucapkan (lagi) tolak tambang. Padahal, fraksi-fraksi menuntut sikap tegasnya.

Dua momen terlewatkan, tanpa ucapan tolak tambang. Maka, keraguan terhadap GUSTI menggumpal. Kian pekat, karena terbetik berita: alat berat eksplorasi tambang mangan mulai masuk Rewas dan Metang Waning. Yang lain bilang, bukan untuk tambang, tapi untuk buka isolasi kampung. Sulit dipercaya. Sebab, tambang pun butuh jalan raya. Ini kamuflase.

Di saat itu, kredibilitas GUSTI mulai melorot. Dicap oportunistis, tidak tepat janji, berbohong. Kata-kata ‘kudus’ dialamatkan ke duet ini. Koleksi ‘kebun binatang’ tersebar via telepon, SMS, email, milis, dan face book. GUSTI pun mulai terancam: hanya akan miliki legalitas, tanpa legitimasi. Ini awal dari akhir setiap kekuasaan.

Syukurlah, GUSTI terselamatkan. Tidak oleh siapa-siapa, tapi oleh dirinya sendiri. Sabtu 2 Oktober 2010, sehari setelah rapat paripurna tanpa ucapan tolak tambang, GUSTI langsung lakukan tindakan tolak tambang. GUSTI keluarkan surat penghentian aktivitas tambang. Tanpa terkonfirmasi lewat ucapan, tolak tambang langsung teraplikasi lewat tindakan.

Betul-betul fenomenal! GUSTI-lah satu-satunya bupati-wabup di Flores, di NTT, mungkin juga di Indonesia, yang ambil sikap tolak tambang. Penyikapannya pun melewati grafik ups-down-ups. Tegas ber-ucap tolak tambang saat kampanye, lalu tak ber-ucap lagi setelah dilantik, untuk kemudian langsung ber-tindak dalam seratus hari kepemimpinan.

Boleh jadi, GUSTI sengaja pilih cara ini. Tapi, buat apa? Grafik ups-down-ups hanya cocok untuk mempermainkan emosi publik. Bikin publik penasaran. Ini cara teater. Dalam realpolitic, cara seperti ini berisiko. Berharap untung, bisa buntung. Berharap publik gemas, bisa bikin diri cemas.

Secara rasional, ini bukan pilihan GUSTI. Jadi? Patut dapat diduga, ini dampak dari birokrasi yang belum dibersihkan. Sebagian (besar?) staf GUSTI saat ini ‘manusia lama’, para loyalis (mantan) bupati dukung tambang. Boleh jadi, ada permainan internal, disetir tangan tak kelihatan, guna anjlokkan kredibilitas GUSTI. Kekuatan lama tidak menghilang. Ia cuma memudar.

Maka, sudah saatnya “kabinet” dibersihkan. Soal dukungan, GUSTI sudah punya, dan banyak! Tolak tambang didukung DPRD. Didukung Gereja. Didukung berbagai elemen civil society seperti JPIC SVD, JPIC OFM, Geram, Forum Lintas Agama, Forum Pariwisata, Walhi, kelompok cendekiawan, media massa, dll. Jadi, takut bikin apa! Maju terus!

“Bentara” FLORES POS, Selasa 12 Oktober 2010

08 Oktober 2010

Perlu Konduktor Andal

Kaji Ulang Perda Tambang NTT

Oleh Frans Anggal

Anggota DPRD NTT dari PKS H Zainal Abidin Thayib meminta Pemprov NTT mengkaji ulang Perda Provinsi NTT tentang Pertambangan Mineral dan Energi. NTT miliki cukup banyak potensi andalan, antara lain pertanian, perkebunan, peternakan, kelautan, perikanan, pariwisata. Ia minta pemprov ajukan beberapa alternatif pengelolaan potensi daerah (Flores Pos Kamis 7 Oktober 2010).

Di Kabupaten Ende, kata Thayib, ketika perda pertambangan disosialisasikan, masyarakat justru minta agar perda itu dikaji kembali. Menurut mereka, tambang tidak datangkan kemakmuran bagi masyarakat. Setelah eskplorasi---belum eksploitasi!---sudah muncul banyak persoalan, seperti kerusakan lingkungan. Pengusaha sering abaikan amdal.

Fenomena bagus. Sudah ada anggota dewan dan warga yang berpikir jauh. Mereka belum banyak. Namun, mereka elemen penting masa depan NTT. Mereka terbatas. Namun, mereka sudah ada di mana-mana. Mereka inilah ”kader” harapan.

Mereka kita harapkan, karena provinsi ini, sebagaimana juga negeri ini, penuh dengan oportunitas, dan dipimpin banyak oportunis. Mereka hanya pikirkan mengambil kuntungan bagi diri dari keempatan yang ada, sekalipun itu mengangkangi hukum dan moral.

Di NTT, yang mayoritas kristiani, oportunitas itu justru ”sempurna”. NTT termasuk termiskin, tapi jawara korupi. Tahun 2009, Kupang, ibu kotanya, ”dinobatkan” sebagai kota terkorup di Indonesia. Lirik lagu Ebiet G Ade ”Untuk Kita Renungkan” seakan terpenuhi. ”Dalam kekalutan, masih ada tangan yang tega berbuat nista.”

Berbuat nista: mencuri nasi dari piring orang miskin. Atau, dengan matafor lain: mengail di air keruh. Mengeruhkan air jernih agar mudah mengail. Memperkeruh air keruh agar semakin mudah mengail. NTT dan Indonesia penuh pengeruhan. Dibutuhkan ”kader” yang mau dan berani lakukan penjernihan.

Di parlemen, ”kader” itu ada. Sayang, mereka masih sedikit. Selalu kalah dalam suara, meski menang dalam kebenaran. Di parlemen, jumlah mengalahkan mutu. Saat voting, nasib kebenaran berada di ujung jari. Menang kalahnya kebenaran ditentukan jumlah jari yang diunjukkan. Tidak oleh argumentasi yang diajukan.

Dalam pertambangan, drama ini terjadi di ruang sidang Senayan. Ketika UU Minerba disahkan 15 Desember 2008, hanya tiga fraksi yang menolak. UU ini masih mengandung beberapa pasal yang kontradiktif secara substansial dan dikhawatirkan tidak bakal operasional. Mereka walk out. Tapi ketok palu jalan terus. Mereka kalah suara, kalah jumlah, meski unggul argumentasi.

Koordinator Nasional JATAM Siti Maemunah menyimpulkan tepat. UU Minerba adalah hasil kompromi partai-partai penguasa Senayan yang selama ini banyak mendapat manfaat dari sektor pertambangan (Kompas 26 Desember 2008). Jadi, ini UU hasil kompromi para oportunis.

UU-nya sudah begitu. Apakah Perda Provinsi NTT tentang Pertambangan Mineral dan Energi yang (akan) merujuk UU itu luput dari oportunitas yang sama? Di sinilah para ”kader” dibutuhkan. Mereka sudah ada. Namun masih berpencar, sporadis. Mereka butuhkan jejaring dan komunikasi guna lahirkan sinergi. Diperlukan konduktor andal. Siapa yang mau dan berani?

“Bentara” FLORES POS, Kamis 7 Oktober 2010

06 Oktober 2010

MULUS, Muluskan Ja’i!

Tarian Paling Populer di NTT

Oleh Frans Anggal

Tari ja’i ramaikan perayaan HUT Ke-65 TNI di Makodim 1612 Manggarai di Ruteng, Selasa 5 Oktober 2010. Begitu lagu ja’i terdengar, tanpa dikomando ratusan peserta langsung ’terjun bebas’ melantai. Ibu-ibu Persit Chandrakirana, dandim, kapolres, tentara, polisi, satpol PP, pramuka, berbaur bergoyang ria (Flores Pos Rabu 6 Oktober 2010).

Ja’i, tari asal Ngada, Flores. Ini tari paling populer di NTT saat ini. Malah sudah jadi semacam tari wajib saat pesta. Tanpa ja’i, pesta terasa tak lengkap. Setelah semua acara resmi berlalu, tutupnya mesti dengan ja’i. Semacam pamungkas, memuncaki kemeriahan dan kegembiraan pesta.

Formasi ja’i mirip tentara berbaris. Jumlah barisan bisa lebih dari satu, tergantung dari kondisi ruangan. Demikian juga panjangnya. Pemimpin ja’i anggota barisan juga, di urutan pertama, paling depan. Ia primus inter pares. Yang pertama dari yang lain. Ia memandu gerak: maju, berputar seperempat lingkaran di tempat, maju lagi, dengan ayunan kaki setengah pincang.

Gerak dan irama kaki ja’i umumnya stabil. Tapi goyang tubuh dan kiprah tangannya, aduhai, sangat variatif, meski pola dasarnya tetap. Si pemimpin, sang pemandu geraklah yang menentukan kapan maju, kapan berputar, kapan berbelok, dst. Tiap peserta tinggal sesuaikan diri dengan orang di depan atau di samping. Mudah dipelajari. Lima menit, langsung ”on”.

Ja’i kolosal pernah dipentaskan saat Pesta 75 Tahun Seminari Mataloko, beberapa tahun silam. Satu lapangan bola kaki, ful. Pejabat pemerintah, rakyat jelata, uskup, imam, umat, yang bersepatu, yang berkaki telanjang, berbaur. Mereka dipersatukan oleh sebuah tari ”made in” kampung, dengan gelegar musik bertempo cepat, berdinamika keras dari awal sampai akhir.

Lagu ja’i membosankan kalau hanya didengarkan. Hampir tak ada cepat-lambat dan keras-lembutnya. Semuanya cepat dan keras dari ujung ke ujung. Telinga musik klasik sebaiknya disumbat. Ini bukan lagu kontemplatif. Ini lagu superaktif. Menikmatinya tidak pas pake diam. Mesti pake gerak. Sebab, lagunya diciptakan untuk ditarikan. Ia lebih optik ketimbang akustik.

Justru di situlah keunggulannya. Ini sekaligus jawaban atas pertanyaan: kenapa tari ja’i begitu populer. Karena ada lagunya! Dan, produksi lagu-lagu barunya masih tetap berlangsung! Coba, hentikan produksi lagu-lagu baru itu, tari ja’i akan segera redup. Ini menimpa tari rokatenda dari Sikka, yang pada era 1970-an begitu populer di NTT. Demikian pula tari sajojo dari Papua. Terlalu terikat pada hanya satu lagu ”Sajojo” ciptaan Black Brothers. Begitu orang bosan lagunya, tariannya pun ditinggalkan.

Bagi masyarakat Ngada: berbanggalah! Tarian daerah Anda dikenal luas dan disukai banyak orang. Bagi pemkab Ngada: jangan hanya banggakan tariannya, lalu terlantarkan lagunya. Tanpa lagu ja’i, tari ja’i tidak ada apa-apanya. Tari itu digerakkan oleh lagu. Roh ja’i bersemayam dalam lagu. Tanpa lagu, tari ja’i hanyalah sejenis pencak silat yang aneh.

Pertanyaan kita: apa yang dilakukan pemkab Ngada? Apa sumbangan konkretnya agar produksi lagu-lagu baru ’ja’i tetap bertahan? Sudahkah pemkab dukung secara moril dan finansial pencipta, pemusik, dan penyanyi lagu ja’i?

Ngada di bawah nakhoda baru, MULUS, mudah-mudahan memperhatikan lebih sungguh-sungguh aset budaya ini. Jangan biarkan ja’i bernasib sama seperti rokatenda. Pudar, karena hanya dibanggakan, tapi tidak didukung dan dikembangkan. Duhai MULUS, bikinlah ja’i makin mulus!

“Bentara” FLORES POS, Kamis 7 Oktober 2010

Lencana DPRD Manggarai

Emas Gantikan Kuningan

Oleh Frans Anggal

Anggota DPRD Manggarai 2009-2014 mendapat lencana emas 23 karat, 4 gram. Harga per buah Rp2,5 juta. Dikali dengan jumlah anggota dewan 40 orang, anggarannya Rp100 juta. Mereka juga dapat pakaian dinas 3 setel dan 1 jas per anggota per tahun, total Rp115 juta. Ditambah mebel: lemari, sofa, meja, spring bed, dll, seluruhnya Rp500 juta. Untuk semua itu, tahun 2010, anggarannya Rp715 juta (Flores Pos Selasa 5 Oktober 2010).

”Pengadaan itu ada dasarnya. Berlaku secara nasional, dan kita sudah adakan. Para anggota dewan sudah menerimanya,” kata Sekwan Primus Parman. Ia merujuk PP 24/2004 dan PP 21/ 2007. ”Benar, kami sudah terima,” aku anggota dewan Grag Gaguk. ”Para anggota telah menerima apa yang menjadi haknya.”

Logika Primus Parman (wakil pemerintah) dan Grag Gaguk (wakil DPRD) klop. Pengadaan atribut, pakaian, dan mebel ada aturannya. Aturan itu mewajibkan. Maka, pengadaan barang-barang itu wajib hukumnya. Pewajiban ditujukan pada pemerintah. Pemerintah pengemban kewajiban. Sedangkan dewan pengemban hak. Maka, tepat: ini hak dewan.

Pada hampir semua kasus pengadaan barang dan jasa bagi dewan, yang (mau) dilihat hanya sisi legalitasnya. Sisi moralitasnya tidak. Yang dipertimbangkan hanya persoalan teknisnya. Persoalan etisnya tidak.

Pengadaan lencana emas pun seperti itu. Menurut Sekwan Primus Parman, lencana emas dipilih karena lebih permanen ketimbang lencana kuningan. Dari pengalaman, kuningan cepat pudar. Karena permanennya, lencana emas diadakan cukup sekali untuk lima tahun masa tugas anggota dewan.

Betul-betul teknis. Karena melulu teknis, 4 gram masih bisa kita persoalkan. Permanenannya masih kurang. Empat gram itu cepat aus. Kenapa tidak 100 gram saja. Lebih permanen. Apa susahnya. Aturan ada. Anggaran ada atau mudah diadakan. Tinggal kurangi jatah rakyat, emas 100 gram bergelantung di dada wakil rakyat.

Apa yang terabaikan di sini? Etika parlemen! Parlemen itu wakil rakyat. Mereka dimandati rakyat untuk perjuangkan dan distribusikan keadilan bagi rakyat. Jadi, mereka pelayan rakyat, sekaligus pejuang keadilan. Dalam etika ini, semua tupoksi, kewenangan, dan hak hanyalah alat distribusi keadilan sosial, bukan sarana akumulasi kehormatan diri dan kekayaan pribadi.

Maka, pertanyaan kita: efek keadilan sosial apa yang muncul, atau diandaikan muncul, dari lencana emas 40 anggota dewan? Tidak ada! Kalau efek langsung tidak ada, karena lencana itu hanya simbol, minimal ada efek tidak langsung. Efek psikologis. Efek pencitraan. Sayang, justru jauh dari citra keadilan sosial.

Di mata anggota dewan, lencana emas boleh jadi pencitraan diri positif. Mereka merasa diri lebih berwibawa, lebih dihormati, lebih disegani. Di mata rakyat, lain sama sekali. Rakyat bisa geleng-geleng kepala sambil bergumam: ”Hmmm, wakil rakyat. Dulu mengemis suara rakyat, sekarang mengemas suara lain. Dulu katanya pelayan, kini berlagak tuan.”

Lencana sudah dibagikan. Sudah pula disematkan. Menariknya kembali, sulit. Maka, kini tinggal tunggu dan lihat. Apakah otak, hati, dan tindakan anggota dewan akan turut berkualitas emas. Ataukah tetap saja kuningan. Atau malah melorot jadi logam karatan. Pertanyaan ini mengandung imperatif moral. Perjuangkan dan distribusikan keadilan bagi rakyat! Tanpa itu, lencana kencana hanyalah lencana bencana. Sebuah skandal!

“Bentara” FLORES POS, Rabu 6 Oktober 2010

04 Oktober 2010

Tambang Mabar Disetop

GUSTI Mulai Tepat Janji

Oleh Frans Anggal

Memasuki seratus hari pertama memimpin Mabar, Bupati Agus Ch Dula dan Wabup Maxi Gasa---alias GUSTI---lakukan hal yang paling ditunggu-tunggu. Tolak tambang. Terhadap tambang, GUSTI tempuh tindakan tolak tanpa gunakan kata “tolak”.

Wujud tindakannya berupa surat peringatan kepada semua pemegang izin KP (kuasa pertambangan) dan izin usaha pertambangan (IUP). Isinya: hentikan semua aktivitas tambang di wilayah Mabar, selambat-lambatnya 30 hari terhitung sejak peringaan dikeluarkan.

Surat dikeluarkan pada 2 Oktober 2010. Seratus hari belum berakhir, masih di etape awal, GUSTI sudah mulai tunjukkan bukti tepat janji: janji tolak tambang. Inilah salah satu janji politiknya pada kampanye pemilukada. Salah satu, namun janji inilah yang paling signifikan. Dari semua isu kampanye, tolak tambanglah yang paling membekas dalam ingatan publik. Ada alasannya.

Janji tolak tambang dicuatkan GUSTI di tengah kebijakan sang incumbent Fidelis Pranda yang ngotot tambang. Kebijakan ini dilawan berbagai elemen civil society, termasuk dan terutama Gereja Katolik Keuskupan Ruteng yang jelas-tegas tolak tambang. Di mata Gereja dan berbagai elemen, sikap GUSTI bagai gayung ber-sambut. Sebaliknya sikap incumbent, bagai gayung ber-sumbat. Maka, GUSTI ter-sambut: menang. Pranda ter-sumbat: kalah.

Sebagai yang paling signifikan dan membekas dalam ingatan publik, janji tolak tambang paling ditunggu-tunggu pemenuhannya. Dua peristiwa penting menandai janji ini ditagih. Peristiwa pertama, peristiwa agama: misa syukur pelantikan di Tentang-Kuwus, Senin 20 September 2010. Peristiwa kedua, peristiwa politik: sidang parpurna DPRD 29 Septembar s.d. 1 Oktober 2010.

Pada misa syukur pelantikan, Uskup Ruteng Mgr Hubertus Leteng sampaikan pesan tolak tambang dan amankan lingkungan hidup. Pada sidang paripurna DPRD, fraksi-fraksi minta pemkab hentikan semua eksplorasi tambang. Kalangan DPRD dukung jiika pemkab ambil sikap tolak tambang. Baik pesan uskup maupun permintaan DPRD mengandung nuansa yang sama: tagih janji.

Dua momen penting dan strategis ini kesempatan emas bagi GUSTI teguhkan janji. Sayang, momen itu terlewatkan. Pada sambutan syukuran pelantikan, peneguhan janji tolak tambang tidak muncul. Pada penyampaian jawaban pemerintah terhadap pandangan umum fraksi-fraksi, soal (tolak) tambang tak terucap. Dengan alasan, sedang dikaji.

Eh, hanya berselang sehari, GUSTI keluarkan surat. Setop semua aktivitas tambang! Di mata publik, ini kejutan besar. Karena, presedennya hampir tidak ada. Dua momen penting dan strategis terlewatkan tanpa peneguhan janji. Makanya semakin tersebar luas isu GUSTI dukung tambang. Ternyata, tidak. GUSTI tolak tambang. Caranya saja yang lain. GUSTI tempuh tindakan tolak, tanpa gunakan kata “tolak”.

Untuk sikapnya tepat janji, GUSTI kita puji. Dan tentu kita dukung. Pesan ini dititipkan pecinta lingkungan Pater Marsel Agot SVD via SMS Senin 4 Oktober 2010 ketika memberitakan surat setop tambang itu. “Teman-teman pencinta lingkungan ybk … Mari kita dukung kebijakan bupati ini yang pro lingkungan dan kesejahtaraan masyarakat.”

GUSTI kita puji. GUSTI kita dukung. Namun, itu saja tidak cukup. GUSTI perlu tetap kita ingatkan dan awasi. Dalam demokrasi, check and balances merupakan dukungan paling efektif.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 5 Oktober 2010

Mereka Bukan Kelas 2

Rasul Awam d Haribaan Gereja

Oleh Frans Anggal

Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa (STIPAR) Ende mewisuda 161 sarjana agama Katolik, Jumat 1 Oktober 2010. Mereka calon fungsionaris pastoral Gereja lokal yang siap membantu tugas perutusan di tengah umat Katolik, kata Ketua STIPAR Romo Domi Nong Pr (Flores Pos Sabtu 2 Oktober 2010).

Berbeda dengan PT umumnya, sekolah tinggi pastoral dan sejenis selalu menggelar dua ritus, menandai berakhirnya jenjang pendidikan. Ritus pertama, ritus akademia: wisuda. Ritus kedua, ritus liturgia: misa perutusan.

Dengan wisuda, mereka jadi sarjana. Dengan misa perutusan, mereka jadi misionaris. Misionaris awam, misionaris tak tertahbis, untuk membedakannya---bukan memisahkannya!---dari misonaris tertahbis, imam. Sebab, yang tertahbis, yang tak tertahbis, sama-sama misionaris, karena sama-sama telah dibaptis.

Dengan pembatisan, tak ada dan tak boleh ada pengkelasan. Tak ada Katolik kelas satu dan Katolik kelas dua. Kalau toh ‘harus’ dikelaskan---karena kecenderungan sosial stratifikasi---maka semuanya kelas satu. Imam (clerus) dan awam (laicus) sama-sama Katolik kelas satu.

Kenyataannya, masih banyak awam merasa diri kelas dua. Inferioritas religi ini berangkat dari pencitraan sesat berabad-abad yang mengotomatiskan awam penuh hasrat ‘daging’, sedangan imam penuh hasrat ‘roh’. Daging dambakan kedosaan. Roh hasratkan kekudusan.

Dengan inkarnasi, pencitraan ini semestinya tak boleh ada. Dengan inkarnasi, Sabda telah menjadi daging. Tidak sekadar untuk jadi daging. Sabda menjadi daging agar daging menjadi Sabda. Menjadi Roh. Menjadi kudus. Dengan inkarnasi, daging dikuduskan. Dengan pembabtisan, daging terkuduskan diutus menguduskan yang lain.

Banyak awam kurang menyadari ini. Mereka merasa tugasnya tugas profran, tugas yang penuh rintangan besar di jalan kekudusan. Louis Evely dalam bukunya That Man Is You (Kaulah Orangnya) mengingatkan: itu keliru besar! Awam masih buta terhadap tugasnya sendiri. Tugas yang sesungguhnya luhur.

“Kita tak sadar bahwa hidup kita tidak lagi merupakan sesuatu yang profan sejak kita dibabtis,” kata Evely. Sejak kita dibabtis, hidup kita telah menjadi suatu ibadat, suatu liturgi, suatu kebaktian, suatu kerasulan. Yang menjadi persoalan, bukanlah macamnya tugas yang kita miliki, melainkan kesadaran kita bahwa kita benar-benar mempunyai suatu tugas.

Pesan ini kita titipkan pada diri 161 lulusan STIPAR. Dengan diwisuda, mereka jadi sarjana. Dengan diutus, mereka jadi misionaris, rasul. “Mereka merupakan misionaris awam, pemimpin agama, dan pelayan umat Katolik yang diutus ke seluruh panjuru Tanah Air,” kata Vikjen Keuskupan Agung Ende Pater Josep Seran SVD dalam sambutannya.

Diwisuda dan diutus. Menjadi sarjana dan rasul. Keduanya utuh tak terpisahkan. Sarjana-rasul dan rasul-sarjana. Sarjana yang rasuli dan rasul yang sujana. Jelas, mereka bukan Katolik kelas dua. Bukan misionaris kelas dua. Bukan rasul kelas dua.

Pergilah! Kalian telah diutus. Jangan takut! Ia akan mendahului kamu ke Galilea (Matius 28:7). Percayalah! Kalian akan lakukan perbuatan-perbuatan yang lebih besar daripada yang Ia lakukan (Matius 24:25).

“Bentara” FLORES POS, Senin 4 Oktober 2010

02 Oktober 2010

Berbicaralah GUSTI!

Dukung Tambang atau Tolak Tambang?

Oleh Frans Anggal

Fokus program seratus hari GUSTI---Agus Ch Dula dan Maxi Gasa bupati-wabup Mabar 2010-2015---adalah pembenahan Labuan Bajo. Meliputi pembersihkan kota, penertiban ternak, dan penanganan air bersih. Tiga hal inilah yang selama ini paling dikeluhkan.

Dalam seratus hari semuanya beres, tentu tidak. Beres itu hasil dari proses. Prosesnya sudah dimulai. Diharapkan, dalam seratus hari, masalah terdiagnosis, sebab teridentifikasi, solusi ditemukan, program ditetapkan. Buahnya bisa segera, bisa juga lama. Tak apa.

Sampah, ternak, dan air bersish, persoalan lama Labuan Bajo. GUSTI bukan orang baru dalam pemerintahan. Masalah dan jalan keluar ketiga masalah sudah ada di kepala mereka. Yang belum selama ini, kewenangan memutuskan. Kini kewenangan sudah di tangan. Mereka bisa lakukan apa yang mereka mau.

Seratus hari, dengan lokus Labuan Bajo, dengan fokus sampah, ternak, dan air bersih, sungguh pilihan tepat. Menukiki ke hal nyata, hal vital dan urgen, yang dapat dilaksankan dan terukur hasilnya. Namun, cukup untuk hal seperti inikah seratus hari itu? Kalau ya, GUSTI tidak cukup tanggap.

Dalam seratus hari, semestinya GUSTI mencuatkan pula hal lebih visioner, yang kontroversinya selama ini lebih dahsyat ketimbang masalah sampah, ternak, dan air bersih Labuan Bajo. Yaitu, kontroversi tambang. Penyikapan segera yang mesti ditunjukkan GUSTI hanyalah menjawab satu pertanyaan. Dukung tambang ataukah tolak tambang?

Jawaban atas pertanyaan ini perlu diberikan secepatnya karena tiga alasan. Pertama, saat kampanye pemilukada, GUSTI sudah nyatakan sikap tolak tambang. Maka, sesudah dilantik jadi bupati-wabup, GUSTI perlu meneguhkan lagi sikapnya. Seratus hari itu momennya. Kesempatan meneguhkan sikap, membarui janji.

Kedua, GUSTI menang antara lain karena janjinya menolak tambang. Janjinya klop dengan sikap Gereja Katolik Keuskupan Ruteng yang jelas-tegas. Dalam konteks inilah, pada khotbah misa syukur pelantikan di Tentang-Kuwus, Senin 20 September 2010, Uskup Ruteng Mgr Hubertus Leteng ‘menagih’ janji tolak tambang GUSTI. Ini cara uskup mengingatkan GUSTI melawan lupa. Lupa itu ‘penyakit bawaan’ tiap kekuasan. Milan Kundera benar: “The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting.” Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingat melawan lupa.

Ketiga, pasca-pelantikan GUSTI, tersebar isu: ternyata GUSTI dukung tambang. Lain di mulut, lain di hati. Rakyat Mabar tertipu bulat-bulat. Gereja Keuskupan Ruteng terkecoh mentah-mentah. Pernyataan kekecewan pun menyebar luas, dari yang bisik-bisik sampai yang setengah berteriak. Lewat telepon, SMS, email, dan facebook. Dengan teknologi komunikasi , dunia jadi kecil. Kekecewaan dan kecaman itu menyebar cepat ke mana-mana.

Apa jawaban GUSTI? Sampai sekarang belum. GUSTI masih diam. Terhadap pertanyaan yang menuntut jawaban segera, diam bukan emas. Masalah ini terlalu besar untuk di-diam-kan. Berbicaralah. Singkat saja. Dukung tambang atau tolak tambang. Seratus hari terlalu lama untuk jawaban sesingkat ini.

Apa pun jawabannya, dampaknya segera terbayang. Dukung tambang berarti ingkar janji. Tolak tambang berarti tepat janji. Ingkar janji meruntuhkan kepercayaan. Tepat janji, mengukuhkan. Legitimasi kekuasaan justru terletak di sana. Maka, berbicaralah! Jangan diam.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 2 Oktober 2010

01 Oktober 2010

Pancasila Tidak Sakti

Perlunya Demitologi Pancasila

Oleh Frans Anggal

Hari ini, Jumat 1 Oktober 2010, apa yang kita peringati? Seandainya Orde Baru belum runtuh, hari ini wajib diperingati sebagai “Hari Kesaktian Pancasila”. Begitulah penamaannya oleh Orde Baru.

Sakti berarti mampu berbuat sesuatu yang lampaui kodrat alam. Bertuah. Seakan-akan, oleh Pancasila semuanya beres. Tidak perlu kerja. Pancasila bisa bimsalabim apa saja jadi benar, adil, damai.

Pancasila lahir 1 Juni 1945. Sudah 65 tahun, seusia Indonesia. Kalau benar sakti, kebertuahannya 65 tahun semestinya sudah jadikan negeri ini paling adil dan makmur di dunia. Kenyataannya? Indonesia penuh koruptor, teroris, preman. Terpuruk di belakang negara tanpa Pancasila. Artinya apa?

Pancasila tidak sakti. Ia cuma ideologi. Tidak ada ideologi yang sakti. Komunisme, sistem kekuasaan ideologis terkuat, dan sosialisme, ideologi keselamatan sekularistik paling mengharukan, akhirnya lunglai . Pada 1991, Uni Soviet kampiun komunisme itu hancur. Imperialisme Rusia 300 tahun pun berakhir. Tak ada yang sakti. Semua bisa mati. Termasuk Pancasila.

Ini penting agar kita tak lengah. Dari dirinya, Pancasila tak mampu berbuat. Ia bukan makhluk atau mesin. Ia kesepakatan dan tugas. Nasibnya tergantung pada yang bersepakat. Jika kesepakatan dikhianati dan tugas diingkari, Pancasila tak bakal nyata. Ia cuma antah menuju tiada.

Meng-antah-kan Pancasila, itulah yang mengancam keindonesiaan. Masa Orde Lama, 1945-1950-an, orang tak bicarakan Pancasila. Baru pada 1959, disebut-sebut sebagai aspirasi bangsa, tapi disimpangkan ke Nasakom. Mulai 1966, “melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen” didengungkan Orde Baru untuk ‘mengoreksi’ Orde Lama. Eh, sama saja. Jauh kata dari tingkah. Di era Reformasi, makin gawat. Sudah di-“antah”-kan, Pancasila mau di-”tiada”-kan.

Pancasila tidak sakti. Tidak perlu pula disaktikan. Penyaktian ideologi, langkah mundur peradaban. “Idea” yang sudah di-”logos”-kan koq mau di-“mitos”-kan. Itulah yang dibuat Orde Baru dengan morfologi penyaktian: Hari Kesaktian Pancasila. Pancasila dimitologikan.

Untuk apa? Untuk kelanggengan kekuasaan. Tiap mitologi butuhkan tokoh dan kisah. Ada pahlawan, ada pecundang. Pahlawan perlukan kisah heroik. Pecundang perlukan kisah khianat . Dalam mitologi Pancasila, pahlawan itu Orde Baru (Soeharto). Pecundang itu PKI. Mengalahkan Orde Baru sama dengan meniadakan Pancasila. Maka, Orde Baru harus tetap menang agar Pancasila tetap aman.

Mitologi itu menyamakan Pancasila dengan Orde Baru. Karena keduanya disamakan maka setiap kali Pancasila diperingati, Orde Baru turut dikenang. Memperingati kesaktian Pancasila mau tidak mau mengenang kepahlawanan Orde Baru. Peringatan dan pengenangan ini melegitimasi kekuasaan Orde Baru. Untuk itulah peringatan diwajibkan, agar pengenangan berulang, sehingga kekuasaan dilanggengkan.

Ini tidak baru. Mitologi adalah sosiologi kekuasaan. Mitologisasi ideologi adalah sosialisasi kekuasaan, sekaligus legitimasi penguasaan. Orde Baru sudah lakukan itu terhadap Pancasila. Hasilnya buruk. Pembalikan harus dilakukan. Demitologi Pancasila. Kembalikan Pancasila ke ideologi. Karena itu, ia tidak sakti dan tidak perlu disaktikan. Sebagai kesepakatan bernegara, ia hanya perlu dijaga. Sebagai tugas bersama, ia hanya perlu ditunaikan.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 1 Oktober 2010