06 Oktober 2010

MULUS, Muluskan Ja’i!

Tarian Paling Populer di NTT

Oleh Frans Anggal

Tari ja’i ramaikan perayaan HUT Ke-65 TNI di Makodim 1612 Manggarai di Ruteng, Selasa 5 Oktober 2010. Begitu lagu ja’i terdengar, tanpa dikomando ratusan peserta langsung ’terjun bebas’ melantai. Ibu-ibu Persit Chandrakirana, dandim, kapolres, tentara, polisi, satpol PP, pramuka, berbaur bergoyang ria (Flores Pos Rabu 6 Oktober 2010).

Ja’i, tari asal Ngada, Flores. Ini tari paling populer di NTT saat ini. Malah sudah jadi semacam tari wajib saat pesta. Tanpa ja’i, pesta terasa tak lengkap. Setelah semua acara resmi berlalu, tutupnya mesti dengan ja’i. Semacam pamungkas, memuncaki kemeriahan dan kegembiraan pesta.

Formasi ja’i mirip tentara berbaris. Jumlah barisan bisa lebih dari satu, tergantung dari kondisi ruangan. Demikian juga panjangnya. Pemimpin ja’i anggota barisan juga, di urutan pertama, paling depan. Ia primus inter pares. Yang pertama dari yang lain. Ia memandu gerak: maju, berputar seperempat lingkaran di tempat, maju lagi, dengan ayunan kaki setengah pincang.

Gerak dan irama kaki ja’i umumnya stabil. Tapi goyang tubuh dan kiprah tangannya, aduhai, sangat variatif, meski pola dasarnya tetap. Si pemimpin, sang pemandu geraklah yang menentukan kapan maju, kapan berputar, kapan berbelok, dst. Tiap peserta tinggal sesuaikan diri dengan orang di depan atau di samping. Mudah dipelajari. Lima menit, langsung ”on”.

Ja’i kolosal pernah dipentaskan saat Pesta 75 Tahun Seminari Mataloko, beberapa tahun silam. Satu lapangan bola kaki, ful. Pejabat pemerintah, rakyat jelata, uskup, imam, umat, yang bersepatu, yang berkaki telanjang, berbaur. Mereka dipersatukan oleh sebuah tari ”made in” kampung, dengan gelegar musik bertempo cepat, berdinamika keras dari awal sampai akhir.

Lagu ja’i membosankan kalau hanya didengarkan. Hampir tak ada cepat-lambat dan keras-lembutnya. Semuanya cepat dan keras dari ujung ke ujung. Telinga musik klasik sebaiknya disumbat. Ini bukan lagu kontemplatif. Ini lagu superaktif. Menikmatinya tidak pas pake diam. Mesti pake gerak. Sebab, lagunya diciptakan untuk ditarikan. Ia lebih optik ketimbang akustik.

Justru di situlah keunggulannya. Ini sekaligus jawaban atas pertanyaan: kenapa tari ja’i begitu populer. Karena ada lagunya! Dan, produksi lagu-lagu barunya masih tetap berlangsung! Coba, hentikan produksi lagu-lagu baru itu, tari ja’i akan segera redup. Ini menimpa tari rokatenda dari Sikka, yang pada era 1970-an begitu populer di NTT. Demikian pula tari sajojo dari Papua. Terlalu terikat pada hanya satu lagu ”Sajojo” ciptaan Black Brothers. Begitu orang bosan lagunya, tariannya pun ditinggalkan.

Bagi masyarakat Ngada: berbanggalah! Tarian daerah Anda dikenal luas dan disukai banyak orang. Bagi pemkab Ngada: jangan hanya banggakan tariannya, lalu terlantarkan lagunya. Tanpa lagu ja’i, tari ja’i tidak ada apa-apanya. Tari itu digerakkan oleh lagu. Roh ja’i bersemayam dalam lagu. Tanpa lagu, tari ja’i hanyalah sejenis pencak silat yang aneh.

Pertanyaan kita: apa yang dilakukan pemkab Ngada? Apa sumbangan konkretnya agar produksi lagu-lagu baru ’ja’i tetap bertahan? Sudahkah pemkab dukung secara moril dan finansial pencipta, pemusik, dan penyanyi lagu ja’i?

Ngada di bawah nakhoda baru, MULUS, mudah-mudahan memperhatikan lebih sungguh-sungguh aset budaya ini. Jangan biarkan ja’i bernasib sama seperti rokatenda. Pudar, karena hanya dibanggakan, tapi tidak didukung dan dikembangkan. Duhai MULUS, bikinlah ja’i makin mulus!

“Bentara” FLORES POS, Kamis 7 Oktober 2010

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Setuju .. Itu PR yang mesti dituntaskan "MULUS" sebagai bukti pemimpin yang paham dan punya perhatian terhadap pelesetarian budaya ...

Anna Killa - Kupang