Dukung Tambang atau Tolak Tambang?
Oleh Frans Anggal
Fokus program seratus hari GUSTI---Agus Ch Dula dan Maxi Gasa bupati-wabup Mabar 2010-2015---adalah pembenahan Labuan Bajo. Meliputi pembersihkan kota, penertiban ternak, dan penanganan air bersih. Tiga hal inilah yang selama ini paling dikeluhkan.
Dalam seratus hari semuanya beres, tentu tidak. Beres itu hasil dari proses. Prosesnya sudah dimulai. Diharapkan, dalam seratus hari, masalah terdiagnosis, sebab teridentifikasi, solusi ditemukan, program ditetapkan. Buahnya bisa segera, bisa juga lama. Tak apa.
Sampah, ternak, dan air bersish, persoalan lama Labuan Bajo. GUSTI bukan orang baru dalam pemerintahan. Masalah dan jalan keluar ketiga masalah sudah ada di kepala mereka. Yang belum selama ini, kewenangan memutuskan. Kini kewenangan sudah di tangan. Mereka bisa lakukan apa yang mereka mau.
Seratus hari, dengan lokus Labuan Bajo, dengan fokus sampah, ternak, dan air bersih, sungguh pilihan tepat. Menukiki ke hal nyata, hal vital dan urgen, yang dapat dilaksankan dan terukur hasilnya. Namun, cukup untuk hal seperti inikah seratus hari itu? Kalau ya, GUSTI tidak cukup tanggap.
Dalam seratus hari, semestinya GUSTI mencuatkan pula hal lebih visioner, yang kontroversinya selama ini lebih dahsyat ketimbang masalah sampah, ternak, dan air bersih Labuan Bajo. Yaitu, kontroversi tambang. Penyikapan segera yang mesti ditunjukkan GUSTI hanyalah menjawab satu pertanyaan. Dukung tambang ataukah tolak tambang?
Jawaban atas pertanyaan ini perlu diberikan secepatnya karena tiga alasan. Pertama, saat kampanye pemilukada, GUSTI sudah nyatakan sikap tolak tambang. Maka, sesudah dilantik jadi bupati-wabup, GUSTI perlu meneguhkan lagi sikapnya. Seratus hari itu momennya. Kesempatan meneguhkan sikap, membarui janji.
Kedua, GUSTI menang antara lain karena janjinya menolak tambang. Janjinya klop dengan sikap Gereja Katolik Keuskupan Ruteng yang jelas-tegas. Dalam konteks inilah, pada khotbah misa syukur pelantikan di Tentang-Kuwus, Senin 20 September 2010, Uskup Ruteng Mgr Hubertus Leteng ‘menagih’ janji tolak tambang GUSTI. Ini cara uskup mengingatkan GUSTI melawan lupa. Lupa itu ‘penyakit bawaan’ tiap kekuasan. Milan Kundera benar: “The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting.” Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingat melawan lupa.
Ketiga, pasca-pelantikan GUSTI, tersebar isu: ternyata GUSTI dukung tambang. Lain di mulut, lain di hati. Rakyat Mabar tertipu bulat-bulat. Gereja Keuskupan Ruteng terkecoh mentah-mentah. Pernyataan kekecewan pun menyebar luas, dari yang bisik-bisik sampai yang setengah berteriak. Lewat telepon, SMS, email, dan facebook. Dengan teknologi komunikasi , dunia jadi kecil. Kekecewaan dan kecaman itu menyebar cepat ke mana-mana.
Apa jawaban GUSTI? Sampai sekarang belum. GUSTI masih diam. Terhadap pertanyaan yang menuntut jawaban segera, diam bukan emas. Masalah ini terlalu besar untuk di-diam-kan. Berbicaralah. Singkat saja. Dukung tambang atau tolak tambang. Seratus hari terlalu lama untuk jawaban sesingkat ini.
Apa pun jawabannya, dampaknya segera terbayang. Dukung tambang berarti ingkar janji. Tolak tambang berarti tepat janji. Ingkar janji meruntuhkan kepercayaan. Tepat janji, mengukuhkan. Legitimasi kekuasaan justru terletak di sana. Maka, berbicaralah! Jangan diam.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 2 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar