Kasus Kematian Nurdin di Kabupaten Sikka
Oleh Frans Anggal
Markus Wara, saksi kunci kasus dugaan pembunuhan Nurdin bin Yusuf di Kabupaten Sikka, menantang Fidentius Oskar pengacara tersangka Aseng dan Angelo melakukan sumpah pocong untuk membuktikan keterangan siapa yang benar dan siapa yang salah.
”Saya memberikan keterangan yang sesungguhnya. Apa yang saya lihat dan saya alami (adalah) bahwa Nurdin mati karena dibunuh. Justru yang harus ditangkap polisi adalah Oskar yang menceritakan keterangan (palsu) di koran itu, karena dibayar oleh Aseng. Masyarakat tahu apa yang saya ceritakan benar. Kecuali Oskar, yang ingin Aseng bebas” (Flores Pos Jumat 15 Oktober 2010).
Tantangan ini dilontarkan Wara sebagai reaksi atas pernyaataan Oscar. Pengacara ini meminta polisi segera tetapkan Wara jadi tersangka karena Wara telah buat kesaksian palsu. ”Nurdin sebenarnya meninggal akibat lakalantas” (Flores Pos Senin 11 Oktober 2010).
Ditantang Wara, Oscar nyatakn siap. Namun yang harus ladeni Wara bukan dirinya, tapi kliennya. ”Saya kira klien saya Aseng sudah jauh sebelumnya menantang siapa saja untuk lakukan sumpah pocong. Tantangan sumpah pocong sudah jauh-jauh (hari) disampaikan klien saya.”
Menurut KBBI, sumpah pocong adalah sumpah yang disertai tidur membujur ke utara menghadap kiblat (barat) di dalam masjid dan berpakaian kain kafan (dipocong seperti mayat). Ada kepercayaan, yang bersumpah benar pasti tetap hidup. Yang bersumpah palsu pasti (langsung) mati.
Cara ini berasal dari sistem peradilan kuno. Belum ada dewan untuk susun UU. Belum ada polisi untuk sidik. Belum ada jaksa untuk tuntut. Belum ada pengacara untuk bela. Belum ada hakim untuk putuskan. Kepastian hukum (di)datang(kan) dari lembaga dikodrati. Intervensinya tentukan siapa benar, siapa salah.
Seandainya ini digunakan dalam peradilan Nurdin, Sikka gegerkan dunia. Bayangkan: orang rame-rame ke masjid, saksikan Oscar Wara dan Aseng dikafani seperti pocong, tidur membujur menghadap kiblat, lalu bersumpah dengan menyebut nama Tuhan. Hasilnya: siapa yang tetap hidup, dia tidak bersalah. Siapa yang langsung mati, dia bersalah.
Luar biasa. Ini penghematan sumber daya aparatur, lembaga, dan keuangan negara. Polisi, jaksa, hakim, dan pengacara tidak diperlukan. Tupoksi mereka sudah diambil alih Tuhan. Penyidikan, penuntutan, dan persidangan ala Tuhan tidak bertele-tele. Ia langsung hadir, dengar, dan putusan, selesai. Penjara tidak diperlukan. Sebab, yang bersalah langsung dikuburkan, karena langsung mati.
Dengan ini, kita hendak mengecam wacana sumpah pocong. Ini langkah mundur peradaban. Kalau Aseng dan Wara yang omong, kita mengerti. Mereka ’orang biasa’ yang terjepit. Aseng ditersangkakan. Wara diamankan di Jakarta oleh lembaga pelindungan saksi. Yang kita herankan, pengacara koq nimbrung. ”Tantangan sumpah pocong sudah jauh-jauh (hari) disampaikan klien saya.”
Ini apa-apaan? Kalaupun benar klien omong begitu, yang irasional ini tidak patut dikutip. Selain membela hak hukum klien, tugas profesional pengacara adalah mencerdaskannya. Bukan ikut-ikutan jadi bodoh. Ini menyalahi etos keprofesionalan. Orang profesional mesti mengusahakan nilai luhur yang khas bagi profesinya. Jika perlu, mengutamakan nilai luhur profesi di atas kepentingan klien!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 16 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar