Menyoal Rencana BK DPR RI
Oleh Frans Anggal
Setelah beraneh-aneh dalam banyak hal, kini DPR RI punya ’mainan’ baru. Ke Yunani. Di negeri filosof Socrates ini, mereka mau belajar etika dan cara berperilaku anggota dewan. Yang kebelet ingin berangkat, tidak salah-salah: anggota ’paling terhormat’ dari lembaga terhormat itu. Anggota Badan Kehormatan (BK) DPR.
Ketua BK Gayus Lumbun sendiri bersikap lain. Menurutnya, ke Yunani tidak perlu. Tidak bermanfaat. Namun, ia tak berdaya. ”Sebagai ketua BK, saya tidak bisa mencegah secara langsung, dikarenakan sifat pimpinan BK yang kolektif kolegial” (Flores Pos Senin 25 Oktober 2010).
Pernyataan Gayus menyingkap apa yang terjadi. Ke Yunani mereka pergi, bukan karena itu baik, perlu, penting, mendesak, dan berguna, tapi karena sebagian besar anggota mau ke sana. Jumlah (multa) kalahkan mutu (multum). Dalam badan yang merupakan jantungnya etika parlemen, konfrontasi etik justru takluk di bawah konfirmasi statistik.
Apa alasan paling mendasar sehingga mereka harus ke Yunani? Karena Yunani negeri asal filsafat moral? Kalau itu alasannya, sungguh naif. Analog dengan mi. Mi berasal dari Cina. Namun, untuk bisa buat mi, orang tidak harus kursus ke Cina. Di Indonesia juga bisa. Mi instan buatan Indonesia justru terkenal di dunia.
Atribut ”Yunani” pada etika dan cara berperilaku anggota dewan---kalau memang itu relevan---hanya mengharuskan pembelajaran ”dari” Yunani, bukan ”di” Yunani, sehingga tidak mesti ”ke” Yunani. Etika dan cara berperilaku anggota dewan ala Yunani---kalau benar itu tipikal dan cocok untuk Indonesia---bisa dipelajari di mana saja. Di Indonesia juga bisa. Kita punya banyak filosof. Baca buku, lacak internet, atau ikuti kelas ekstensi di sekolah tinggi atau fakultas filsafat setempat, beres.
Kalau mesti begitu, hebat apanya etika dan cara berperilaku anggota dewan ala Yunani? Kita sudah punya pedoman etis koq. Dari budaya, agama, hukum, dan ideologi. Pancasila sudah kita terima sebagai satu-satunya pegangan etik sistem dan kebijakan pembangunan. Pancasila sudah (seharusnya) menjadi acuan etika dan perilaku anggota dewan. Tinggal jabarkan kelima silanya, selesai. Tidak perlu habiskan uang rakyat ke Yunani.
Bahkan, jauh sebelum Pancasila dirumuskan, kita sudah kenal etika dan cara berperilaku. Tokoh Myrna dalam prolog novel Kerudung Merah Kirmizi karya Remy Sylado (2004) berkata: ketika agama Hindu-Buddha masuk, kita menyerap kata Sanskerta: budaya dan susila. Ketika agama Islam masuk, kita menyerap kata Arab: adab dan akhlak. Ketika agama Serani masuk, kita menyerap kata Yunani/Latin: etika dan moral. Budaya dan susila, adab dan akhlak, etika dan moral, telah mengaliri sendi keinsanian kita.
Semuanya sudah ada di sini. Buat apa cari jauh-jauh ke Yunani? ”Aku sering merenung-renung mencari jawaban: gerangan apa yang menyebabkan bangsa Indonesia kehilangan mutunya sebagai manusia,” kata Myrna. ”Agaknya ada sesuatu yang tidak beres atas gen bangsa Indonesia.”
Myrna terlalu pukul rata. Tidak semua insan Indonesia kehilangan mutunya sebagai manusia. Kalangan tertentu saja. Antara lain, BK DPR itu. Mereka mengalami defisit moral. Kekuatan moral yang mendorong terbentuknya badan kehormatan itu kini merosot menjadi transaksi kepentingan para anggotanya. Pelesir di-stuba-kan. Stuba di-pelesir-kan. Duh!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 27 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar