29 November 2009

Sidangnya di Bajawa Saja!

Persidangan Kasus Romo Faustin Sega Pr

Oleh Frans Anggal

Forum para pastor Keuskupan Agung Ende (KAE) dan tokoh awam Katolik menemui Kajari Bajawa Samuel Say, Rabu 25 November 2009. Tim ini dipimpin Ketua JPIC KAE Romo Rony Neto Wuli Pr. Seperti diwartakan Flores Pos Sabtu 28 November 2009, tim menyampaikan tiga hal kepada kajari.

Pertama, apresiasi dan dukungan kepada Kejari Bajawa karena berita acara pemeriksaan (BAP) tersangka Theresia Tawa dan Agus Waja telah dinyatakan lengkap (P21). Kedua, harapan agar penyerahan tersangka dan barang bukti dari Polda NTT kepada Kejari Bajawa dilakukan dalam tempo yang tidak terlalu lama. Ketiga, permintaan agar persidangan kasus ini dilangsungkan di Pengadilan Negeri (PN) Bajawa, karena tempat kejadian perkara (locus delicti) berada dalam yurisdiksi Kejari Bajawa.

Tentang poin ketiga, Kajari Samuel Say bilang ia masih harus berunding dengan Kejati NTT di Kupang. Yang menjadi petimbangan utama, kata dia, keamanan. Amankah kalau persidangan kasus kematian Romo Faustin dilangsungkan di PN Bajawa? Tidak ada jawaban eksak matematis untuk ini. Dengan kata lain, segala kemungkinan bisa terjadi. Namun, ini yang penting: tingkat probabilitas dari segala kemungkinan itu bisa diprediksikan.

Pertama, dengan melihat presedennya. Sudah beberapa kali umat Kevikepan Bajawa berdemo besar-besaran sebelum penyidikan kasus ini diambil alih Polda NTT dari tangan Polres Ngada. Apa yang terjadi? Demo itu aman. Tertib. Damai. Jauh dari gelagat anarki. Ketika berdemo, umat mampu kendalikan diri. Kenapa tidak saat menyaksikan persidangan nanti?

Kedua, dengan melihat peran para pastor. Kenapa beberapa kali demo umat Kevikepan Bajawa itu berlangsung aman, tertib, tidak anarkis? Salah satu jawabannya adalah ini. Peran para pastor. Tanpa diminta sekalipun, mereka sudah terpanggil membawa umatnya menapaki jalan kebenaran, keadilan, dan perdamaian. Ketika berdemo, umat mereka arahkan menapaki jalan itu. Kenapa tidak saat menyaksikan persidangan nanti?

Ketiga, dengan melihat peran alat negara. Dalam banyak konflik horizontal di Ngada, termasuk perang tanding, Polres Ngada terbukti sigap dan mampu mengatasi situasi. Itu pun di tempat kejadian perkara yang jauh dari mapolres. PN Bajawa, tempat akan berlangsungnya persidangan kasus Romo Fautin, berapa sih jaraknya dari mapolres? Tidak jauh, bukan? Denyut kamtibmas dalam kota sekecil Bajawa amat mudah direkam, mudah diperkirakan eskalasinya, dan karena itu mudah pula diantisipasi dan diatasi.

Dengan tiga pertimbangan tersebut, kita dapat menyatakan: tingkat probabilitas kerusuhan dalam persidangan kasus Romo Faustin di PN Bajawa amatlah rendah. Secara optimistik, kita hakulyakin persidangan akan aman. Optimisme ini, selain locus delicti tadi, menjadi dasar rasional untuk tidak perlu memindahkan persidangan ke tempat lain. Sidangnya di Bajawa saja!

Tapi, tidak dengan demikian lantas semua pihak boleh takabur. Keamanan itu tidak jatuh dari langit. Keamanan bukan sebuah kebetulan (by accident). Keamanan itu hasil kerja (by design). Karena itu, prakondisinya harus dirancang. Pada titik ini, yang bertanggung jawab bukan hanya umat, pastor, dan polisi. Kejaksaan dan pengadilan ikut bertanggung jawab.

Apa saja tanggung jawab yang dituntut dari Kejari dan PN Bajawa? Tidak banyak-banyak amat tuh. Cuma sedikit. Bahkan cuma satu. Dan yang cuma satu itu sederhana saja, kalau memang mau bertanggung jawab agar persidangan jadi aman. Apakah itu? Peradilan yang fair!

“Bentara” FLORES POS, Senin 30 November 2009

27 November 2009

Bila Jenazah Nurdin Diautopsi

Kematian Nurdin bin Yusuf di Sikka

Oleh Frans Anggal

Keluarga almarhum Nurdin bin Yusuf menyatakan siap bila jenazah Nurdin diautopsi demi kepentingan proses hukum. Namun kesiapan mereka disertai satu usulan. Autopsi hendaknya dilakukan oleh ahli forensik dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Mun’im Idris. Demikian warta Flores Pos Kamis 26 November 2009.

Nurdin bin Yusuf ditemukan tak bernyawa dekat jembatan Wailiti, Kecamatan Alok Barat, Kabupaten Sikka, 20 Juni 2009. Pada jenazahnya ditemukan banyak kejanggalan. Antara lain, luka memar dan bengkak di sekujur tubuh. Semua kejanggalan ini sudah dilaporkan ke polisi oleh kuasa hukum keluarga korban. Keluarga yakin, Nurdin tewas dibunuh, bukan karena kecelakaan lalu lintas.

Perlukah jenazah Nurdin diautopsi? Pertanyaan ini cocoknya diarahkan ke penyidik Polres Sikka. Merekalah yang mengumpulkan barang bukti, keterangan, dan petunjuk. Kalau semua itu dinilai belum memadai, perlunya autopsi tentu patut mereka pertimbangkan. Pihak keluarga sudah siap untuk itu, meski dengan syarat tadi: harus oleh Mun’im Idris.

Ini yang menarik. Kenapa harus oleh Mun’im Idris? Kenapa tidak oleh yang lain? Kenapa tidak oleh tim forensik polda misalnya? Pertanyaan ini cocoknya diarahkan ke keluarga Nurdin. Apa pun jawaban mereka, satu hal ini sudah cukup jelas. Mun’im Idris pakar forensik terkemuka di Indonesia saat ini.

Masih segar dalam ingatan publik Flores, bagaimana profesor dari Fakultas Kedokteran UI ini menerobos kebuntuan proses hukum kematian Pastor Pembantu Paroki Raja, Romo Faustin Sega Pr. Hasil autopsinya menyimpulkan: Romo Faustin meninggal karena kekerasan tumpul. Identifikasi pada leher dan tengkorak sangat meyakinkan kita. Korban tewas dibunuh. Bukan mati wajar seperti dikoar-koarkan sebelumnya oleh Polres Ngada.

Tentang Mun’im Idris, Valens Daki-Soo, Advisor Bidang Ideologi Satgas Bom/Antiteror Mabes Polri, memberikan kesaksian via SMS 12 September 2009. ”Kompetensi teknis, integritas, dan kredibilitas profesional Mun’im Idris sangat tinggi. Kami (Satgas Bom dan Densus 88/Antiteror Mabes Polri) pun menggunakan dia, dan publik dapat menilai sendiri hasil kerjanya dalam membantu identifikasi mayat teroris dan para korban.”

Jadi, cukup jelas. Kalau keluarga Nurdin menghendaki autopsi oleh Mun’im Idris, itulah dasarnya. Sangat masuk akal. Untuk mendapatkan hasil terbaik, mereka menginginkan pakar terbaik. Hasil terbaik, maksudnya: hasil yang objekif dan lengkap. Sedangkan pakar terbaik, maksudnya: pakar yang punya kompetensi teknis, integritas, dan kredibilitas profesional. Banyak yang punya kompetensi teknis, tapi tak punya integritas dan kredibilitas. Alias, mudah berkonspirasi, mudah disogok. Mun’im Idris tidak begitu.

Kita berharap, Polres Sikka menghargai keinginan keluarga Nurdin. Tidak usah tersinggung-lah. Tidak usah persoalkan, kenapa autopsi harus oleh Mun’im Idris. Kenapa tidak oleh tim forensik polda. Jawaban atas pertanyaan ini sama dengan jawaban atas pertanyaan: kenapa Satgas Bom dan Densus 88/Antiteror Mabes Polri gunakan Mun’im Idris dan bukan tim forensik Mabes Polri. Dasarnya, itu tadi: Mun’im Idris punya kompetensi teknis, integritas, dan kredibilitas profesional.

Polres Sikka malah harus bersyukur kalau nanti Mun’im Idris besedia datang. Kompetensi teknis, integritas, dan kredibilitas profesionalnya akan sangat membantu menciptakan tiga hal penting dari (penegakan) hukum. Yakni, stabilitas (stability), kepastian (predictability), dan keadilan (fairness). Hitung-hitung, perbaiki citra Polri juga, yang sekarang sedang ancor-ancornya.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 28 November 2009

Otoritas Tanpa Legitimasi

Penertiban Pasar Dadakan di Lembata

Oleh Frans Anggal

Polisi pamong praja lakukan penertiban di Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata, Selasa 24 November 2009. Sasarannya, pasar dadakan di Berdikari, Kelurahan Lewoleba. Seperti diwartakan Flores Pos Rabu 25 November, para petugas membongkar tempat berjualan sayur dan ikan. Para pedagang lakukan perlawanan, menyiramkan air ikan bercampur lombok ke arah petugas. Sia-sia.

Kenapa mereka melawan? Saat datangi DPRD usai bongkar paksa itu, para pedagang jelaskan dasarnya. Mereka berjualan di pasar dadakan karena jualan mereka laris. Tidak demikian kalau berjualan di pasar resmi di Pada. Pasar Pada jauh di luar kota. Harus buang uang lagi untuk ongkos transportasi. Mereka sudah coba. Tidak untung tuh. Akhirnya mereka kembali ke pasar dadakan, di dalam kota.

Kita namakan saja ini ’rasionalitas ekonomi dan bisnis’. Dagang ya cari untung, bukan cari buntung. Bahwa demi cari untung, perda tata ruang kota dilanggar, itulah yang terjadi. Lembata sudah punya perdanya. Perda Nomor 12 Tahun 2003 tentang Tata Ruang Kota. De facto, yang langgar perda ini bukan hanya para pedagang sayur dan ikan yang notabene cuma orang kecil, miskin, kurang terdidik itu. Orang besar, orang kaya, figur publik pun pelanggar perda juga.

Koordinator Aldiras, Piter Bala Wukak, dalam orasinya di DPRD hari itu mengangkat ini sebagai dasar lain mengapa para pedagang melakukan perlawanan. Kita namakan saja ini ’rasionalitas hukum dan keadilan’. Pemerintah hanya menertibkan orang kecil. Sedangkan orang besar, orang kaya, dibiarkan. Mereka bebas-ria menginjak-injak perda. Ia sebutkan tiga contoh.

Pertama, Lopo Moting milik Andreas Duli Manuk, yang adalah bupati Lembata, dibangun di jalur hijau. Letak bangunan ini jelas-jelas melanggar perda. Kenapa tidak ditertibkan? Kedua, Hotel Anisa dibangun di pinggir pantai. Ini juga jelas-jelas melanggar perda. Kenapa tidak ditertibkan? Ketiga, kantor bupati, ada tiga! Di Lusikawak, di Lamahora, dan di tengah kota. Apa-apaan ini? Yang di Lamahora itu melanggar perda. Kenapa tidak ditertibkan?

Di hadapan pertanyaan retoris ini, DPRD tidak bisa jawab. Wakil ketua Hyasintus Burin paling cuma bilang begini. Aspirasi para pedagang akan dikaji oleh dewan. Selanjutnya ia minta para pedagang ikuti dulu apa yang diatur oleh pemerintah. Jawabannya tidak memuaskan. Maka, para pedagang kasih tenggat 1 x 23 jam untuk cari jalan keluar. Lewat dari itu, mereka akan duduki kantor DPRD.

Dengan kasus ini, apa yang sesungguhnya sedang terjadi di Lembata? Ada otoritas! Tapi, tak ada legitimasi! Merujuk ilmuwan politik Robert Bierstedt, otoritas adalah kekuasaan yang dilembagakan. Pemilik otoritas berhak mengeluarkan perintah dan membuat peraturan serta berhak mengharapkan kepatuhan terhadap peraturannya. Apa yang terjadi di Lembata? Pemilik otoritas (pemerintah) membuat peraturan (perda) lalu keluarkan perintah (tertibkan pasar dadakan). Dan? Ini pokok soalnya: peraturan dan perintah itu tidak dipatuhi! Artinya apa? Ada otoritas, tapi tak ada legitimasi.

Tak ada legitimasi berarti tak adanya keyakinan pada masyarakat bahwa wewenang yang dimiliki penguasa itu wajar dan patut dihormati. Di Lembata, ini bukan dongeng. Tuntutan para pedagang bersama Aldiras sangat jelas. Mereka bilang, kalau mau Lembata damai dan sejahtera, hanya ada satu jalan: berhentikan Bupati Andreas Duli Manuk!

Ibarat sebuah drama, pentas di Lembata saat ini punya judul. ”Otoritas Tanpa Legitimasi”. Penertiban pasar dadakan dan perlawanan terhadapnya hanyalah sebuah episode dari banyak yang sudah, sedang, dan akan dipertontonkan.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 26 November 2009

26 November 2009

DPRD Lembata Satu Nol

Kontroversi Anggaran Sosialisasi Tambang

Oleh Frans Anggal

DPRD Lembata dinilai tidak berwibawa. Mereka bikin kesepakatan dengan pemerintah. Lalu, pemerintah langgar kesepakatan itu. DPRD menerimanya begitu saja. Seakan-akan tidak ada masalah.

Penilaian ini dilontarkan anggota dewan Fredy Wahon dalam rapat paripurna DPRD, Senin 23 November 2009. Agenda paripurna ini: penyampaian nota keuangan APBD 2010 oleh Bupati Andreas Duli Manuk. Seperti diwartakan Flores Pos Selasa 24 November, Wahon lakukan interupsi sebelum bupati bacakan nota keuangan. Ia minta klarifikasi dari Ketua DPRD Yohanes de Rosari. Apa masalahnya?

Dalam nota keuangan yang naskahnya dibagikan ke anggota dewan, anggaran sosialisasi dan pendampingan masyarakat untuk usaha pertambangan bahan galian A dan B tetap dimasukkan. Padahal, item ini sudah dicoret dalam nota kesepakatan yang telah ditandatangani bupati dan ketua DPRD.

Menurut Wahon dkk, pemerintah harus tarik kembali nota keuangan ini. Diperbaiki dulu. Dan karena itu, paripurna harus ditunda. Ketua DPRD Yohanes de Rosari tidak sependapat. Mengutip kadispenda, dia bilang: ini hanya human error. Kekeliruan manusiawi. Tidak disengajakan. Sidang perlu dilanjutkan. Bupati setuju. Alasannya, item tersebut bisa diubah dalam pembahasan nanti. Maka, ketua ketuk palu. Paripurna dilanjutkan.

Benarkah lolosnya item yang sudah digugurkan itu hanya sebuah kekeliruan? Menjawabnya, dibutuhkan kejujuran. Persoalannya: apa ukuran kejujuran di sini? Seberapa besar pula tingkat keterpercayaan terhadap kejujuran itu? Maka, kejujuran saja tidak cukup. Perlu ada pengujian dan pembuktian. Persoalannya lagi: cepat, mudah, dan murahkah proses pengujian dan pembuktian itu?

Kita andaikan saja, yang dikatakan pemerintah benar. Human error. Maka, beberapa hal tak terbantahkan. Pertama, penyusun nota keuangan tidak cermat. Dalam hal ini, dispenda. Kedua, penanda tangan nota keuangan juga tidak cermat. Dalam hal ini, bupati. Ketidakcermatan terletak pada masuk kembalinya item yang sudah digugurkan dalam nota kesepakatan yang sudah ditandatangani bupati dan ketua DPRD.

Pertanyaannya sekarang: langkah apa yang semestinya dilakukan? Sayang, pada titik penting ini, DPRD Lembata justru berlawanan pendapat. Fredy Wahon dkk mendesak nota keuangan diperbaiki sebelum paripurna dilanjutkan. Desakan ini rasional. Sebab, meskipun human error, yang terjadi itu tetaplah kesalahan. Setiap kesalahan mengandung secara intrinsik tuntuan perbaikan pada tempat kesalahan terjadi. Di mana tempat kesalahan terjadi? Di dalam nota keuangan! Maka, perbaikannya harus pada nota keuangan itu. Dengan demikian, nota keuangan menjadi dokumen yang benar dan sah. Di atas kebenaran dan keabsahannyalah paripurna bisa berjalan benar dan sah pula.

Logika seperti ini tidak masuk dalam batok kepala Ketua DPRD Yohanes de Rosari. Begitu mudahnya ia terpengaruh pendapat bupati. Bahwa, item human error bisa dibahas dan diubah dalam rapat komisi nanti. Janggal! Pertama, itu berarti komisi bahas lagi item yang sudah digugurkan. Kedua, yang lakukan human error pemerintah. Maka, pemerintahlah yang harus lakukan perbaikan, membuang item human error itu, sehingga komisi tidak perlu lagi membahasnya.

Terlambat. Palu sudah diketuk oleh ketua DPRD. Sidang paripurna jalan terus. Item human error tetap ada dalam nota keuangan. Kalau tidak dibahas oleh komisi nanti, item itu lolos, dianggarkan. Itu berarti melanggar nota kesepakatan. Kalau dibahas, itu berarti komisi kerja bodoh: menjilat kembali ludah yang sudah dibuang. DPRD Lembata betul-betul satu nol dalam ‘pertandingan’ ini.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 25 November 2009

“Drama” Kalang Maghit

Ketika Hukum Dipolitikkan di Manggarai

Oleh Frans Anggal

Berita acara pemeriksaan (BAP) tersangka Frans Padju Leok dalam kasus Kalang Maghit di Manggarai Timur dinyatakan lengkap. Penyidik Polres Manggarai telah menyerahkan barang bukti dan sang tersangka ke Kejari Ruteng. Demikian warta Flores Pos Sabtu 21 November 2009.

Kasus ini kasus lama. Proyek pembangunan jalan di Kalang Maghit, tahun 2001. Nilai proyek Rp61 juta. Bukti fisik pengerjaan proyek tidak jelas. Menurut hasil audit BPKP, kerugian negara Rp58 juta. Selain Padju Leok yang saat itu kepala bappeda Manggarai, ada dua tersangka lain: Lian Jemali (staf bappeda) dan Abel Bebo (rekanan pelaksana proyek).

Lian Jemali dan Abel Bebo sudah divonis. Satu tahun penjara. Mereka naik banding hingga kasasi. Toh, putusan MA sama juga: satu tahun penjara. Entahlah nanti untuk Padju Leok. Soalnya, sudah bertahun-tahun, baru sekarang BAP-nya dinyatakan lengkap. Kenapa baru sekarang? Sulit dijawab. Tapi beberapa fakta dari “drama” Kalang Maghit berikut ini sulit ditolak. Drama dalam lima babak.

Babak pertama. Padju Leok sebagai kepala bappeda Manggarai. Pada masa kepemimpinan Bupati Anthony Bagul Dagur dan Wabup Markus Djadur. Sudah sejak itu ia berstatus tersangka. Sebuah adegan menandai babak ini. Ia masuk tahanan polisi, satu hari. Karena sakit, penahanannya ditangguhkan. BAP-nya belum lengkap.

Babak kedua. Padju Leok sebagai sekda Manggarai. Pada masa kepemimpinan Bupati Christian Rotok dan Wabup Kamelus Deno. Hal ‘mengagumkan’ terjadi. Meski berstatus tersangka, Padju Leok naik posisi. Dari kepala bappeda era Bagul-Djadur menjadi sekda era Rotok-Deno. Ini ‘prestasi’ Rotok-Deno: mempromosikan seorang tersangka. BAP-nya belum lengkap.

Babak ketiga. Padju Leok sebagai penjabat bupati Manggarai Timur. Masih pada kepemimpinan Rotok-Deno. Hal ‘mengagumkan’ terjadi lagi. Kali ini lebih hebat. Kendati masih berstatus tersangka, Padju Leok melejit dari sekda Manggarai menjadi penjabat bupati Manggarai Timur. Tentu, ‘prestasi’-nya Rotok-Deno juga: lagi-lagi mempromosikan seorang tersangka. BAP-nya belum lengkap.

Babak keempat. Padju Leok pensiun, menyusul berakhirnya masa baktinya sebagai penjabat bupati Manggarai Timur dan terpilihnya bupati-wabup definitif hasil pilkada: Yosef Tote dan Andreas Agas. Di saat pensiun ini, sebuah adegan peralihan terjadi. Dari birokrat, Padju Leok menuju politikus. Dengan demikian, melalui adegan peralihan ini, ia ingin masuk ke babak berikut.

Babak kelima. Padju Leok siap maju dalam pilkada Manggarai 2010. Artinya, siap bertarung melawan paket lain. Satu di antara paket itu, Credo Jilid II. Rotok-Deno ingin maju lagi menakhodai Manggarai dua periode. Maka masuklah mereka dalam atmosfer rivalitas. Dalam atmosfer inilah, seperti mimpi saja, kasus Kalang Maghit mencuat lagi. Bom waktu itu akhirnya meledak. BAP Padju Leok dinyatakan lengkap, setelah bertahun-tahun menggantung tidak jelas. Sebentar lagi ia akan duduk di kursi pesakitan. Sebentar lagi ia akan divonis.

Ini drama hukum. Benar. Tapi tidak sepenuhnya. Ini drama politik juga. Malah politiknya lebih dominan dan determinan ketimbang hukumnya. Tokohnya tokoh politik. Adegannya adegan politik. Alurnya alur politik. Setingnya seting politik. Keteganganya khas politik. Peleraiannya pun kental politik.

Tidak salah lagi: kasus Kalang Maghit adalah kasus hukum yang dipolitikkan dengan sangat sukses. Sebagai drama, babak demi babaknya penuh dagelan. Lucu, tapi juga menyedihkan. Sebab, dalam kasus ini, hukum tidak hanya ditertawakan, tapi juga dipermainkan.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 24 November 2009

Irasionalitas Kadishut Mabar

Kasus Perambahan Hutan Lindung

Oleh Frans Anggal

Kadishut Mabar Edward menolak penilaian bahwa pihaknya diskriminatif dalam penegakan hukum kasus perambahan hutan lindung TRK 108 Nggorang Bowo Si’e. Alasan dia, sudah banyak pelaku yang masuk bui. Demikian warta Flores Pos Sabtu 21 November 2009.

Khusus tentang penahanan sembilan warga Nggorang, kadishut benarkan: penahanan dilakukan oleh polisi atas dasar laporan dishut. Laporan dibuat karena tiga dari sembilan pelaku itu tertangkap tangan. Sedangkan investor tambang emas tidak dilaporkan, dengan alasan sebaliknya: tidak tertangkap tangan.

Tertangkap tangan. Inilah dasar yang digunakan kadishut untuk melaporkan kasus perambahan hutan lindung ke polres. Dasar seperti ini sangat kuat dan masuk akal. Kita akui itu. Yang tidak bisa dicerna akal kita adalah pembatasan yang digariskan kadishut untuk menentukan berdasar atau tidaknya laporan ke polisi. Ia tersesat ketika menjadikan “tertangkap tangan” satu-satunya dasar bagi laporan.

Sebuah analogi: kasus korupsi. Kalau tunggu tertangkap tangan, tidak seorang koruptor pun yang bisa diproses hukum di republik ini. Sebab, korupsi dilakukan secara rahasia. Sifat kerahasiaannya memperkecil bahkan memustahilkan pelakunya tertangkap tangan. Dengan karakteristik delik seperti ini, menunggu pelakunya tertangkap tangan sama dengan menunggu kucing bertanduk. Nonsens. Tidak masuk akal. Tidak realistis.

Yang kita sayangkan, koq bisa-bisanya kadishut (rela) tenggelam dalam irasionalitas seperti ini. Ia menunggu tertangkap tangan dulu, barulah investor ia laporkan ke polisi. Kalau tidak tertangkap tangan, ya, tidak dilaporkan. Pertanyaan kita: mungkinkan seorang investor tertangkap tangan sedang merambah hutan? Memangnya investor itu buruh? Memangnya investor itu masuk hutan lindung, menggali sendiri parit uji, dan menumbangkan pohon?

Tidak hanya irasional, cara berpikir kadishut sangat berbahaya bagi kelestarian hutan yang justru harus dilindunginya. Bisa-bisa, seluruh hutan lindung TRK 108 Nggorang Bowo Si’e hancur oleh ekplorasi tambang emas. Dan si investor aman tenteram. Dia tidak bakal dilaporkan ke polisi. Sebab, dia tidak tertangkap tangan merambah hutan.

Tidak hanya investor, bupati pun aman tenteram. Sebab, dia juga tidak masuk hutan. Mana mungkin dia bisa tertangkap tangan. Meski, dialah yang kasih izin ke investor. Atas dasar itu, investor lakukan ekplorasi di hutan lindung. Padahal belum ada izin dari Menhut. Maka, jelas-jelas ini ilegal, perambahan hutan, dan justru karena itu kini ekplorasinya dihentikan (sementara).

Dalam logika kadishut, investor dan bupati baru akan dipandang layak dilaporkan ke polisi kalau tertangkap tangan sedang merambah hutan. Dengan kata lain, investor dan bupati harus jadi buruh dulu, lalu masuk hutan lindung, menggali parit uji ekplorasi, dan ini dia: tertangkap tangan saat itu juga! Pertanyaan kita: mungkinkah itu? Pasti tidak! Tapi justru yang tidak mungkin inilah yang dijadikan dasar oleh kadishut untuk tidak melaporkan investor dan bupati.

Dengan cara berpikir seperti ini, tidak heran, hanya orang-orang kecil yang ditahan, diadili, masuk bui. Menurut kadishut, mereka yang masuk bui itu sudah banyak. Dan menurut dia, ini bukti penegakan hukum di Mabar tidak diskriminatif. Tidak pandang bulu, Tidak tebang pilih.

Simpulannya jelas irasional. Tapi kita bisa mengerti. Simpulan irasional lahir dari cara berpikir irasional. Demikian juga, sikap dan tindakan diskriminatif lahir dari cara berpikir diskriminatif.

“Bentara” FLORES POS, Senin 23 November 2009

Tebang Pilih ala Mabar

Kasus Perambahan Hutan Lindung

Oleh Frans Anggal

Sekitar 30 warga Nggorang bermalam di kantor Dushut Mabar di Labuan Bajo, Rabu 18 November 2009. Sampai kapan, entahlah. Mereka menuntut, sembilan warga yang ditahan polisi dibebaskan. Kesembilan warga itu ditahan berdasarkan laporan dishut. Mereka rambah hutan lindung RTK108 Nggorang Bowo Si’e. Namun menurut warga, kawasan itu tanah ulayat mereka. Lingko Lokang Tete, namanya. Demikian warta Flores Pos Jumat 20 November 2009.

Kesembilan warga ditahan sejak Oktober 2009. Saat itu baru dua hari mereka garap Lingko Lokang Tete. Mereka kerjakan bagian mereka berdasarkan pembagian dari kuasa ulayat setempat. Yang mereka persoalkan: kenapa menggarap di lahan sendiri dianggap merambah hutan? Kenapa para penggarap ditahan? Dan kenapa hanya mereka?

Ada dua persoalan di sini. Hukum dan keadilan. Hukum, berkenaan dengan konflik tanah. Antara hukum agraria nasional dan hukum adat. Antara tanah negara dan tanah ulayat. Persisnya apa dan bagaimana, belum jelas. Kadishut Edward belum mau beberkan duduk perkaranya. Dengan alasan jaringan buruk sehingga suara tidak jelas, ia tidak bersedia menjawab lewat telepon.

Meski demikian, satu hal perlu dipahami. Orang Manggarai menganut sistem ladang berpindah (field rotation system). Dengan demikian, selalu ada lahan yang diistirahatkan. Bahkan ada yang belum digarap karena belum dikapling. Diistirahatkan, belum digarap, itu tidak sama dengan ditinggalkan atau diterlantarkan. Apalagi kalau sampai dianggap tidak bertuan. Karena itu, pemerintah jangan enak-enak mengklaimnya sebagai tanah negara. Jangan gampangan menjadikannya hutan lindung, dll.

Di Manggarai, nama lahan menunjukkan status tanah. Kalau disebut ”lingko”, itu jelas ada pemiliknya. “Lingko” masuk dalam kategori tanah yang dikuasai atau menjadi hak sekelompk orang bagi usaha pertanian dengan sistem ladang berpindah tadi. Dalam konteks kasus warga Nggorang, lahan yang mereka garap itu ada namanya. Lingko Lokang Tete. Ini tanah ulayat. Ada kuasa ulayatnya.

De facto, pemerintah jadikan Lingko Lokang Tete kawasan hutan lindung. Dasarnya apa, waktunya kapan, prosesnya bagaimana, tidak jelas. Mungkin karena itulah kadishut mengelak memberi penjelasan. Kalau tidak jelas, lalu atas dasar apa kesembilan warga ditahan? Proses hukum tidak boleh berjalan di atas sesuatu yang tidak jelas. Oleh karena itu, bukan hanya harus ditangguhkan penahanannya, kesembilan warga harus dibebaskan!

Itu dari segi hukum. Sekarang dari segi keadilan. Kenapa hanya sembilan warga itu yang ditahan? Perambah lainnya, termasuk yang kelas wahid? Dishut hanya laporkan orang-orang kecil. Polisi juga hanya tahan orang-orang kecil. Penegakan hukumnya diskriminatif. Pandang bulu. Tebang pilih.

Kalau mau adil, semestinya dishut laporkan juga Bupati Fidelis Pranda dan investor tambang emas. Bupati kasih izin eksplorasi ke investor. Si investor lakukan ekplorasi dalam kawasan hutan lindung yang sama. Pohon-pohon bertumbangan. Tanpa izin dari Menhut! Berarti, ilegal. Berarti, perambahan hutan juga. Dishut tidak laporkan ini. Forum Geram-lah yang melapor. Hasilnya? Polisi tidak lakukan penahanan.

Dalam penegakan hukum, dishut memang berani. Polres memang berani. Tapi, beraninya cuma sama orang kecil, orang kampung, petani miskin. Sama bupati, sama investor, mana berani. Kalau model begini, semua orang bisa jadi kadishut. Semua orang bisa jadi kapolres. Apa susahnya. Injak yang kecil, sembah yang besar.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 21 November 2009

Roby di Sarang Penyamun

Membongkar Borok Dishubkominfo Sikka

Oleh Frans Anggal

Robertus Lameng, Kadis Hubkominfo Kabupaten Sikka, berjanji akan letakkan jabatan kalau pihak berwenang tidak tindak lanjuti temuan dugaan korupsi di instansinya. Demikian warta Flores Pos Kamis 19 November 2009. Kasus demi kasus telah ia beberkan kepada publik melalui media massa.

Kasus pertama, gaji fiktif selama 2001-2009. Rugikan negara Rp100 juta lebih. “Bentara” Flores Pos Kamis 19 November 2009 mengapresiasinya sebagai wujud transparansi. Dan transparansi merupakan salah satu prinsip hakiki penegakan good governance. Kasus kedua, rehabilitasi Terminal Barat tahun anggaran 2008 senilai Rp110 juta. Ternyata hanya berupa pengecatan.

Kasus ketiga dst, mencapai enam kasus. Pungutan retribusi terminal 2008 tanpa kuitansi resmi. Retribusi izin trayek 2008. Retribusi pengujian kendaran bermotor 2008. Pelataran parkir terminal 2007. Gudang Veem di Dermaga Sadang Bui yang sudah diperiksa BPKP tapi hasilnya belum diserahkan ke Dishubkominfo. Veev dan VIP Bandara Waioti, yang belum diserahkan ke Dishubkominfo oleh mantan kuasa pengguna anggaran dan mantan pejabat pembuat komitmen.

Singkatnya, satu instansi, banyak kasus. Semuanya dugaan korupsi. Dishubkominfo Sikka telah jadi sarang penyamun. Kenapa baru sekarang dibongkar dan disampaikan ke publik? Ilmuwan politik Peter Bachrach dan Morton S. Baratz bisa kasih jawaban lewat artikel mereka yang terkenal, The Two Faces of Power (1962). ‘Dua Wajah Kekuasaan’.

Dijelaskan, kekuasaan punya dua wajah. Wajah pertama, berupa gejala kekuasaan yang dapat diamati. Masalah dan putusan masalah dibicarakan dalam forum umum. Sedangkan wajah kedua, berupa gejala kekuasaan yang tidak dapat diamati. Masalah dan putusan masalah berlangsung dalam sirkuit tertutup. Di sini, si pemilik wajah bisa seseorang, bisa sekelompok orang. Mereka halangi perbincangan masalah dan putusan masalah dalam forum publik. Mereka tutup akses bagi media massa. Bahkan, mengabaikan hak publik untuk tahu, mereka lancarkan ‘proses tidak membuat keputusan’ (the non-decision making process).

Tampaknya, sebelum Roby Lameng memimpin, Dishubkominfo Sikka dikuasai kekuasaan wajah kedua itu. Banyak kasus dugaan korupsi sepertinya disembunyikan. Demikian pula penyelesaiannya. Seolah-olah uang itu uang arisan keluarga. Padahal, uang itu uang publik. Publik berhak untuk tahu. Publik berhak mendapatkan penyelesaian yang tuntas dan adil.

Begitu Roby Lameng memimpin, Dishubkominfo jadi heboh. Ia cek pembukuan keuangan. Ia kroscek ke Kupang. Ia dapatkan petunjuk bahkan bukti, telah terjadi pembayaran gaji fiktif selama 2001-2009. Negara dirugikan Rp100 juta lebih. Si pelaku, juru bayar gaji, tidak bisa membantah. Ia mengaku dan bikin pernyataan di atas kertas bermeterai. Ini dibeberkan kepada publik melalui media massa. Demikan pula kasus-kasus lainnya.

Tranparansi ala Roby Lameng benar-benar ‘gila’. Ia memotret instansinya pakai mesin rontgen. Dengan bantuan sinar-X, bagian dalam tubuh instansinya, yang selama ini serba-rahasia itu, kini terlihat jelas. Cantik? Pasti tidak. Di mana-mana, hasil foto rontgen tidak pernah cantik. Malah menakutkan. Tapi, semua orang tahu, foto rontgen itu perlu.

Hasil foto rontgen Dishubkominfo Sikka sudah diperlihatkan. Sudah pula dilaporkan ke aparat berwenang. Roby Lameng tinggal menunggu tindak lanjutnya. Kalau tidak ditindaklanjuti, ia akan letakkan jabatan. Kenapa? Katakan ini sinetron, judulnya ia benci: “Roby di Sarang Penyamun”. Apalagi kalau judulnya diubah, karena ia tetap kepala di sana: “Roby, Kepala Para Penyamun”.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 20 November 2009

Maju Terus, Roby!

Membongkar Borok Dishubkominfo Sikka

Oleh Frans Anggal

Kadis Hubkominfo Kabupaten Sikka, Robertus Lameng, membongkar gaji fiktif di instansinya. Pelakunya, juru bayar gaji, Kamilus Gore. Selama 2001-2009, Kamilus Gore tetap menganggarkan gaji bagi Damianus Jata. Padahal, sejak 2001 Damianus Jata dimutasi ke Dishub Provinsi NTT di Kupang. Dan sejak itu pula gajinya dibayar oleh Dishub Provinsi NTT, tidak lagi oleh Hubkominfo Kabupaten Sikka.

Menurut Kadis Roby Lameng, kerugian negara akibat perbuatan Kamilus Gore mencapai Rp100 juta lebih. Pelaku mengakui perbuatannya. Dengan sadar, tahu dan mau, tanpa tekanan dari pihak mana pun, dia mengambil, menerima, dan memakai uang itu. Dia siap bertanggung jawab. Pengakuannya tertuang di atas kertas bermeterai. Demikian warta Flores Pos Rabu 18 November 2009.

Memproses hukum kasus ini tidak sulit. Ada bukti. Ada saksi. Ada kerugian negara. Ada pengakuan. Apanya lagi? Tinggal disidik, didakwa, disidangkan, divonis. Pelaku masuk penjara. Uang negara harus dikembalikan. Titik. Kalau semua pelaku begini, polisi, jaksa, dan hakim tidak pusing. Yang bikin pusing kalau: sudah jelas-jelas korup, masih juga bela diri, putar balik, berbelit-belit, sogok sana gogok sini. Yang ini, lain. Kalau koruptor, dia koruptor jujur. Memang, kejujuran tidak menghapus kesalahan. Namun, berguna, meringankan hukuman.

Yang tak boleh dilupakan, si pelaku tidak tiba-tiba jujur. Ada prakondisi dan proses. Ini preseden yang diciptakan sang atasan, Kadis Roby Lameng. Peran sang kadis sangat penting dan menentukan. Ia periksa pembukuan. Ia lakukan kroscek ke Kupang. Melalui berbagai proses ke dalam dan ke luar itu, ia memperoleh petunjuk bahkan bukti telah terjadi pembayaran gaji fiktif. Temuan ini mengkondisikan pelaku tidak bisa membantah. Ia akhirnya mengaku.

Langkah Roby Lameng tidak terhenti di situ. Ia beberkan kasus ini kepada publik melalui media massa. Dengan demikian, dua langkah telah dia ayunkan. Pertama, melacak dan menemukan kasus gaji fiktif dalam instansinya. Kedua, mengumumkan kepada publik kebobrokan dalam instansinya itu. Langkah pertama sudah sering dilakukan banyak pemimpin. Langkah kedua jarang. Kebanyakan, kasus hanya dikonsumsi orang dalam dan diselesaikan ke dalam.

Langkah kedua itu wujud transparansi. Dan transparansi merupakan salah satu prinsip hakiki penegakan good governance. Tanpa tranparansi maka korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menyubur. Tanpa transparansi maka pemberantasan KKN dan peningkatan profesionalisme aparat pemerintah hanya tinggal mimpi.

Buku Media dan Tranparansi (2004) melukiskannya begini. Ibarat bangunan, tanpa transparansi maka ruangan itu gelap gulita. Pemerintahan dalam ruangan seperti ini dikelola oleh para “drakula” yang menyukai ruangan gelap dan gemar mengisap darah rakyat. Di dalam Indonesia yang gelap gulita, tikus-tikus leluasa berkeliaran dan merajalela mencuri apa saja. Koruptor adalah tikus-tikus yang menikmati ketertutupan dan kegelapan itu.

Roby Lameng ibarat pemilik bangunan. Ia menerangi ruangan gelap. Ia temukan dan menangkap tikus. Lalu ia buka pintu dan jendela. Orang pun jadi tahu, ternyata dalam bangunan itu ada tikusnya. Seekor sudah ditangkap. Lainnya? Mungkin masih ada dan banyak. Mungkin masih ngumpet di sudut-sudut sempit. Untuk menemukannya, dibutuhkan senter. Media massa memainkan peran itu. Menyorotkan cahaya agar semua tikus terlihat, ditangkap, dan dimusnahkan.

Itulah yang sedang dilakukan Roby Lameng. Membangun transparansi. Kita patut memberinya apresiasi dan dorongan. Maju terus, Roby! Siapa takut!

“Bentara” FLORES POS, Kamis 19 November 2009

20 November 2009

Ketika Wabup Jadi Satpam

Wabup Sikka Lakukan Ronda Kota

Oleh Frans Anggal

Tertangkap tangan mengotori tembok bangunan kota, seorang siswa SLTA di Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, disel satu malam. Demikian warta Flores Pos Senin 16 November 2009. Siapa yang memergok dan membekuk anak ini? Polisi? Pol PP? Camat? Lurah? Petugas kebersihan kota? Satpam? Bukan! Ia dibekuk oleh Wabup Damianus Wera.

Dalam sepekan terakhir, wabup lakukan operasi penertiban kebersihan dan keindahan kota. Maklum, Sikka sedang persiapkan diri raih Adipura 2009/2010. Dinihari, Rabu 11 November 2009, wabub keliling. Seorang anak terpergok sedang corat-coret tembok pakai cat. Ia dibekuk saat itu juga. Diserahkan ke polisi. Disel satu malam. Keluar dari sel, ia diinterogasi Pol PP. Terungkap, 4 siswa dari sekolah yang sama lakukan aksi yang sama selama ini.

Siswa corat-coret tembok itu biasa. Ronda kota dan bekuk anak-anak nakal juga biasa. Yang tidak biasa, ronda dilakukan seorang wabup. Keluarbiasaan (unusualness) merupakan salah satu nilai berita (news value). Semua yang luar biasa layak diberitakan. Sebaliknya, yang biasa-biasa saja, tidak.

Lord Northchliffe, pujanggga dan editor di Inggris abad 8, bilang begini. If a dog bites a man it is not news, but if a man bites dog, it is news. Apabila anjing menggigit orang, itu bukan berita. Sebaliknya, apabila orang menggigit anjing, itu baru berita. Sampai sekarang, prinsip ini masih jadi acuan reporter dan editor.

Di Sikka, begitulah. Wabup rela turun pangkat jadi satpam. Ia lakukan ronda kota. Sementara pol PP, camat, lurah, petugas kebersihan kota, mungkin sedang nyenyak. Sikka inginkan Adipura, tapi tembok bangunan kotanya dikotori anak-anak nakal. Yang di bawah, yang bertugas, tidak bisa atasi. Maka, sang jenderal rela turun pangkat jadi kopral. Luar biasa. Ini laik berita.

Masih ada nilai lain. Teori jurnalistik bilang, news is about people. Berita adalah tentang orang. Tentang orang-orang penting, figur publik. Mereka adalah news maker (pembuat berita). Teori jurnalistik juga bilang, names makes news. Nama menciptakan berita. Apalagi kalau penyandang nama itu orang penting, orang besar, terkemuka. Di daerah, wabup salah satunya. Ia petinggi daerah.

Di Sikka, kedua nilai berita itu menyatu. Petinggi daerah (wabup) jalankan tugas bawahan yang jauh di bawahnya (satpam). Tidak ada salahnya. Dalam konteks tertentu malah luhur. Yang kristiani boleh memandangnya sebagai salah satu ciri khas kepemimpinan Yesus. Sebagaimana dikemukakan Fritz Loebingen (1999). Yesus tidak membiarkan keadaan manusia sebagaimana adanya. Ia menunjukkan jalan yang benar. Lebih daripada itu, Ia menapaki jalan yang ditunjuk-Nya. Bahkan, Ia sendiri adalah jalan, kebenaran, dan hidup.

Dengan ronda kota, Wabup Wera melakukan dua hal. Pertama, ia menunjukkan jalan bagaimana semestinya petugas lapangan menjalankan tugasnya menjaga keamanan dan ketertiban kota. Kedua, ia menjalankan tugas para petugas lapangan yang selama ini kurang optimal menjalankan tugas sehingga tidak bisa mengidentifikasi pelaku corat-coret dinding bangunan kota.

Sekali wabup turun jadi satpam, hasilnya langsung kelihatan. Pelaku corat-coret terpergok. Dibekuk. Diserahkan ke polisi. Disel. Diinterogasi pol PP. Sindikasinya terbongkar. Lengkap dengan identitas sekolah dan orangtua, guna pembinaan selanjutnya.

Langkah wabup kita puji. Tapi mesti ada batasnya. Sebab, wabup punya bawahan. Ada pol PP, camat, lurah, petugas kebersihan, satpam, dll. Apa saja kerja mereka sampai wabup harus jadi satpam? Mereka harus malu. Mereka harus sadar. Mereka harus bertanggung jawab.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 18 November 2009

Komodo Flores di Jawa

Terancam Punahnya Komodo Flores

Oleh Frans Anggal

Sekarang baru terungkap. Ternyata, 26 komodo sudah dibawa ke Jawa. Itu selama 1998-1999. Sebelum dan sesudahnya? Wallahualam. Yang pasti, pemindahan itu atas izin pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak dimintai pendapat. Masyarakat, apalagi. Untuk tahu saja, mereka dianggap tidak berhak. Maka, semuanya serba-rahasia. Kaget, di habitat aslinya komodo berkurang. Kaget, puluhan ekor sudah di Jawa.

Flores Pos Jumat 13 November 2009 wartakan, 1998 sebanyak 20 komodo dibawa ke Taman Safari Indonesia di Bogor. Pada 1999, sebanyak 3 pasang atau 6 ekor diangkut ke Kebun Bintang Surbaya. Lokasi penangkapan, Desa Golomori, Mabar. Diduga, komodo ini penghuni Cagar Alam Wae Wuul.

Belakangan, diketahui publik, populasi komodo Wae Wuul menurun drastis. Pada 1991 masih 99 ekor. Sembilan tahun kemudian, 2000, tinggal 19 ekor. Lalu, 2009, lahirlah kebijakan Menhut MS Kaban. Sebanyak 10 ekor mau dipindahkan ke Taman Safari Indonesia di Bali. Untuk pemurnian genetik, katanya. Ditolak masyarakat dan pemerintah NTT. Akhirnya, batal.

Seandainya 10 ekor itu dipindahkan, maka yang tersisa di Wae Wuul tinggal 9 ekor. Artinya apa? Punah! Dari aspek genetika, menurut Whitaker (2002), terlalu kecilnya populasi akan mengurangi kemampuan populasi dalam menanggapi perubahan lingkungan karena tidak tersedia sumber gen yang cukup. Akan terjadi erosi gen. Dan ini jalan menuju kepunahan.

Sampai sekarang belum diketahui ‘jumlah minimal bertahan hidup’ (minimum-viable-population) untuk komodo. Namun secara umum direkomendasikan, untuk mengimbangi erosi gen, diperlukan paling kurang 500 komodo. Dalam jangka pendek, populasi dapat bertahan dari kepunahan dengan jumlah 50 ekor. Dengan luas ‘daerah cari makan’ (foraging-area) minimal 4,2 km persegi.

Dari sisi tilik ini, pemindahan 26 komodo ke Jawa pada 1998-1999 tidak dapat dibenarkan. Demikian pula kebijakan Menhut MS Kaban yang mau pindahkan lagi 10 dari 19 ekor yang tersisa di Wae Wuul. Memindahkan sama dengan mengurangi populasi. Mengurangi populasi sama dengan mengerosikan gen. Mengerosikan gen sama dengan memunahkan atau memusnahkan populasi.

Ini tidak boleh terjadi. Komodo terlalu mahal. Amat sangat mahal. Pertama, di dunia, habitat aslinya hanya ada di Taman Nasional Komodo (TNK) dan pesisir barat Flores. Kedua, ia reptil paling tua di dunia. Hidup sejak 50 juta tahun lalu. Ia satu dari sedikit ‘fosil hidup’ peninggalan zaman ketika manusia belum ada di bumi. Ketiga, kemampuannya beradaptasi mengagumkan. Dulu nenek komodo berburu stegodon (gajah purba). Ketika stegodon punah, ia berganti mangsa. Kini, siput dan ikan pun ia makan.

Orang Flores tidak sadari ini. Kasihan. Dibandingkan dengan yang di TNK, komodo di Flores diterlantarkan. Di bawah BKSDA NTT nun jauh di Kupang, dengan petugas lapangan yang sedikit dan dana terbatas, bagaimana mungkin komodo di Flores bertahan hidup? Sudah begitu, dipindahkan ke luar Flores.

Syukur, 10 komodo Wae Wuul batal dipindahkan. Namun, itu saja tidak cukup. Bila tidak ada tindak lanjut, punahnya komodo Flores tinggal menghitung tahun. Komodo Flores ‘berhak’ mendapat perhatian yang sama dengan komodo TNK.

Kita tidak mau anak cucu orang Flores hanya dengar cerita. Bahwa dulu di pulau mereka “pernah” hidup komodo. Yang kemudian punah karena diterlantarkan dan (sengaja) dimusnahkan. Kita tidak mau, untuk melihat komodo Flores, anak cucu orang Flores harus ke Jawa lantaran komodo mereka sudah dipindahkan ke sana dan akhirnya hanya ada di sana.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 17 November 2009

DPRD “Para Kepala Batu”

Menunggak Pengembalian Dana TKI

Oleh Frans Anggal

Anggota DPRD Flotim 2004-2009 menunggak pengembalian dana tunjangan komunikasi intensif (TKI) Rp1,3 miliar. Dana seluruhnya Rp1,6 miliar, untuk 30 anggota dewan. Yang sudah dikembalikan baru Rp300 juta. Dengan kata lain, hanya segelintir anggota yang sudah melunasi tunggakan.

“Ini menunjukkan bahwa tidak ada itikad baik dari mantan anggota DPRD Flotim periode 2004-2009 …. Padahal, telah diberikan tenggang waktu yang cukup lama untuk mengembalikan dana dimaksud.” Demikian pernyataan Aktivitas Pendalaman Iman (API) Reinha Rosari Mahasiswa Katolik Dioses Larantuka di Kupang. Warta Flores Pos Sabtu 14 November 2009.

Tidak ada itikad baik. Simpulan yang tepat sekali. Tapi, sayangnya, terlambat sekali. Yang salah di sini adalah asumsi. Bahwa, karena wakil rakyat, mereka diyakini akan beritikad baik. Termasuk dalam mengembalikan uang dan aset daerah. Terbukti, meleset jauh. Diminta saja, sulit mereka kembalikan. Apalagi kalau dibiarkan, menunggu mereka beritikad baik.

Ambil contoh, DPRD Manggarai 2004-2009. Sampai sekarang belum semua kembalikan kendaraan dinas. Khususnya sepeda motor. Kalaupun dikembaikan, banyak yang tinggal kerangka. Suku cadang dan aksesorisnya sudah dipreteli abis. Sudah jadi rahasia umum, ini ‘hasil karya’ anak-anak para wakil rakyat. Seperti disentil Om Toki pada “Senggol” Flores Pos Sabtu 14 November 2009. “DPRD Manggarai belum kembalikan motor.” Komentar Om Toki? “Bapa dewan, anak berjaya, motor hancur.”

Hal yang sama dilakukan DPRD Flotim 2004-2009. Bukan kendaraan dinas, tapi dana TKI. Telah dikasih tenggang waktu beberapa tahun untuk pengembaliannya. PP 37/2006 beri tenggat satu bulan sebelum masa bakti berakhir. Hasilnya? Hanya segelintir yang patuh. Lainnya, mereka lari naek itu PP. Dari Rp1,6 miliar, baru Rp300 juta kembali ke kas umum daerah. Sebanyak Rp1,3 miliar masih ada di tangan anggota.

Dengan fakta seperti ini, masihkah kita mengandalkan itikad baik mereka? Tidak! Asumsi harus segera diubah. Keyakinan akan itikad baik harus diganti dengan dugaan akan itikad buruk. Ada dasarnya, tentu.

Pertama, presedennya. Kasus demi kasus sudah terjadi. Berkali-kali dan hampir di mana-mana. Di Manggarai sudah, dalam kasus kendaraan dinas. Di tempat lain sudah, dalam kasus yang lain. Sekarang di Flotim, dalam kasus dana TKI.

Kedua, psikologi kekuasaan. Sudah dari sononya, kekuasaan itu cenderung disalahgunakan. Sebagai wakil rakyat, DPRD penguasa juga, oleh kewenangan dan privilese yang dimilikinya. Kewenangan apa pun mudah disewenang-wenangkan. Besarnya kewenangan itu berbanding lurus dengan potensi penyalahgunaannya. Semakin besar kekuasaan, semakin besar pula godaan menyalahgunakannya.

Ketiga, budaya. Salah satu kelemahan orang Indonesia adalah satu ini. Gampang meminjam, tapi sulit mengembalikan pinjaman. Kalangan mahasiswa mengenal ungkapan dalam pinjam-meminjam buku. Mereka bilang: hanya orang bodoh yang meminjamkan buku, dan hanya orang gila yang mengembalikan buku pinjaman. Tunggu diminta, itu pun harus berkali-kali, baru dikembalikan.

Dengan tiga dasar ini, kita kembali ke kasus dana TKI DPRD Flotim. Pertama, harus ada aturan. Aturan sudah ada, PP 37/2006. PP ini beri tenggat. Satu bulan sebelum masa bakti berakhir, anggota DPRD harus sudah kembalikan dana TKI. Eh, tidak jalan. DPRD-nya kepala batu. Maka, kedua, harus ada sanksi. Ini yang kita tunggu dari Pemkab Flotim. Juga dari Pemkab Manggarai. Tidak bisakah, misalnya, para kepala batu itu dilaporkan ke polisi?

“Bentara” FLORES POS, Senin 16 November 2009

DPRD Lembata Seenaknya

Bahas Anggran Publik secara Tertutup

Oleh Frans Anggal

“Memalukan, DPRD Bahas Anggaran Tertutup”. Demikian judul berita Flores Pos Jumat 13 November 2009. Ini penilaian masyarakat Lembata. Rapat itu rapat badan anggaran legislatif dan tim anggaran eksekutif yang membahas pagu anggaran sementara (PPAS) APBD 2010, Kamis 12 November. Wartawan sudah dalam ruang rapat. Lima belas menit kemudian, Wakil Ketua DPRD Yoseph Meran Lagaor minta mereka keluar. Dasarnya, tatib dewan.

Kita kembali ke era Orde Baru. Era suka-sukanya pejabat publik. Di tangan mereka ada dua stempel. Yang satu, “terbuka untuk umum”. Yang lain, “rahasia negara”. Kapan mereka gunakan? Suka-sukanya mereka. Untuk hal yang tidak mengusik kepentingannya, stempelnya “terbuka untuk umum”. Untuk yang mengganggu apalagi membahayakan kepentingannya, stempelnya “rahasia negara”.

Apa kriterianya, itu bukan soal. Sebab, yang tentukan itu bukan hakikat sesuatu itu, tapi kehendak si penguasa. Atas maunya dan demi yang dimauinya, ruang publik mudah diubah jadi ruang privat. Di dalam ruang itulah apa pun yang dikehendakinya mudah terwujud. Korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi subur dalam ruang seperti ini.

Itu dulu. Sekarang ini? Sama saja. Lihat itu DPRD Lembata. Anggaran publik mereka bahas tertutup. Dalihnya, tatib. Kalau benar tatibnya begitu, pertanyaan kita, ini. Pertama, apakah tatib sudah bikin kategorisasi, mana yang rahasia dan mana yang tidak? Kedua, apakah tatib telah berikan kriteria rasional pada kategorisasi itu? Ketiga, kalau jawaban dua pertanyaan itu “ya”, apa yang jadi dasar sehingga pembahasan pagu PPAS APBD masuk kategori rahasia?

Kalau ketiga hal itu tidak tersurat dalam tatib, maka tatib itu tidak berbobot. Tidak jelas. Tidak tegas. Tidak lengkap. Tatib model begini tidak layak jadi dasar bersikap dan bertindak. Kalau dasarnya rapuh, bangunan di atasnya mudah ambruk. Konstruksi seperti inilah yang dipertontonkan DPRD Lembata.

Disebutkan dalam berita, tatib yang dimaksud merujuk pasal 88 ayat 3. Di situ disebutkan, rapat tertutup adalah rapat anggota DPRD yang tidak dapat dihadiri oleh umum. Cuma begitu? Mana kategorisasinya? Mana kriterianya? Mana dasarnya? Tanpa kategorisasi, kriteria, dan dasar yang tersurat, pengaturan tersebut berisiko multitafsir. Artinya? Suka-sukanya DPRD untuk tafsir dan nyatakan rapat ini tertutup, rapat itu terbuka. Seenaknya DPRD.

Kalau begitu, apa bedanya dengan pejabat Orde Baru? Tidak ada bedanya. Sama-sama seenaknya, suka-sukanya. Kalaupun ada, bedanya kecil, soal cara. Perihal rapat tertutup, DPRD Lembata bikin tatib yang tidak jelas, tidak tegas, dan tidak lengkap. Dengan begitu, mereka seenaknya kasih tafsir lalu bubuhkan stempel “rahasia negara” pada apa saja yang mereka suka. Bayangkan, pagu plafon PPAS APBD 2010 mereka stempeli sebagai rahasia, sehingga pembahasannya harus tertutup. Betul-betul seenaknya.

Masyarakat Lembata harus mencurigai sepak terjang seperti ini. Ada apa, anggaran publik dibahas tertutup? Supaya ‘negosiasi’-nya lancar dan aman? Supaya leluasa jadi calo proyek? Supaya mudah lakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme berjemaah?

Ini sudah kali kedua, DPRD Lembata mengecewakan. Sebelumnya, mereka ngotot pergi bimtek ke Jakarta. Hasilnya? Tatib yang tidak jelas, tidak tegas, dan tidak lengkap itu ka? Sekarang, mereka bahas anggaran publik secara tertutup. Hasilnya? Dapat ‘laba’ lewat ‘lobi’ karena ‘loba’ ka? Cuma mereka yang tau. Karena, sudah tau sama tau. Lalu, sama-sama tidak mau tau. Ancooor Lembata.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 14 November 2009

Kasihan Mabar

Kontroversi Tambang

Oleh Frans Anggal

Eksplorasi tambang emas di Batu Gosok tetap dilanjutkan sampai dengan berakhirnya izin eksplorasi 9 Juli 2010. Sedangkan di Tebedo, eksplorasinya dihentikan sementara, sejak 15 Agustus 2009. Demikian isi berita utama Flores Pos Kamis 12 November 2009. Ini kutipan pernyataan Pemkab Mabar dalam sidang paripurna DPRD, Selasa 10 November 2009.

Kenapa eksplorasi di Batu Gosok tetap dilanjutkan? Pemkab pakai dasar hasil peninjauan dan verifikasi tim Departemen ESDM 15-18 Juli 2009. Simpulan tim ada dua. Pertama, Batu Gosok terletak di luar Taman Nasional Komodo (TNK). Kedua, eksplorasi itu menggunakan metode parit uji. Dengan kata lain, karena terletak di luar TNK dan eksplorasinya menggunakan metode parit uji maka menambang emas di Batu Gosok itu no problem. Maka, eksplorasi diteruskan, sampai delapan bulan ke depan.

Itu di Batu Gosok. Sekarang di Tebedo. Langkah yang diambil pemkab sebaliknya. Eksplorasi dihentikan sementara. Apa alasannya? Izinnya sedang diproses di Menhut RI. Yaitu, izin untuk melakukan ekplorasi di dalam kawasan hutan lindung (RTK 108). Alasannya hanya itu, dan hanya sampai di situ.

Hebat betul Pemkab Mabar. Mendasarkan tindakannya hanya pada sesuatu yang menguntungkan kepentingannya, tanpa sedikit pun memperhitungkan kerugian yang sudah, sedang, dan akan menimpa masyarakat dan lingkungan hidup. Pemkab memelototi hanya satu hal, sambil membutakan mata terhadap banyak hal lain. Padahal, persoalan tambang emas itu multidimensional. Janggal tentunya, kalau untuk sesuatu yang multidimensional, pemkab hanya gunakan dasar tunggal, monodimensional.

Dalam kasus Batu Gosok, misalnya. Pemkab hanya pakai hasil peninjauan dan verifikasi tim Departemen ESDM sebagai dasar untuk meneruskan ekplorasi. Ini tidak dapat dibenarkan. Bahwa, Batu Gosok itu terletak di luar TNK, itu benar seratus persen. Bahwa, eksplorasi itu menggunakan metode parit uji, itu juga benar seratus persen. Yang dinafikan oleh pemkab adalah dampaknya.

Meski terletak di luar TNK, Batu Gosok tetap masuk dalam kawasan penyangga (buffer zone) TNK. Namanya juga penyangga alias penopang, perannya tidak boleh diremehkan. Tanpa topangan yang kuat, sebuah bangunan akan mudah roboh. Kalau Batu Gosok selaku buffer zone dirusakkan, ya otomatislah TNK akan terkena dampaknya. Tidak harus profesor, seorang tamatan SD juga tahu penalaran semudah ini. Anehnya, dalam logika seperti ini, Pemkab Mabar rela turun pangkat menjadi taman kanak-kanak.

Dalam kasus Tebedo juga begitu. Malah yang ini lebih parah. Tidak hanya tidak logis, pemkab juga tidak jujur. Katanya, ekplorasi dihentikan sementara karena izinnya sedang diproses di Menhut. Padahal, sudah dipublikasikan berkali-kali, ekplorasi di Tebedo itu bermasalah secara hukum. Ribuan pohon dalam kawasan hutan lindung RTK 108 tumbang karena ekplorasi. Bupati dan investor sudah dilaporkan ke polisi oleh Geram. Proses hukum sudah berjalan. Ini dasar mengapa ekplorasi dihentikan. Tapi, ini tidak disebutkan. Pemkab tidak jujur.

Dengan mengatakan ekplorasi dihentikan sementara karena izinnya sedang diproses di Menhut, itu berarti eksplorasi dalam hutan lindung selama ini dilakukan tanpa izin Menhut. Sikat dulu, baru urus. Langgar aturan dulu, baru ikut aturan. Kangkangi hukum dulu, baru hormati hukum. Dilaporkan Geram dulu, baru perjuangkan izin ke Menhut.

Tidak logis. Tidak jujur. Tidak taat hukum. Kata apa yang pas untuk Mabar di bawah pemkab seperti ini? Hanya ada satu kata: kasihan!

“Bentara” FLORES POS, Jumat 13 November 2009

Pemkab Sikka Terlibat

Leaglitas UMK Kampus III Maumere

Oleh Frans Anggal

Kemelut Universitas Muhammadiyah Kupang (UMK) Kampus III Maumere belum berakhir. Rapat di Kupang, yang dihadiri 6 utusan mahasiswa, rektor, pembantu rektor, dan yayasan, belum juga bisa memberi jawaban jelas. Yakni soal legalitas kampus dan status fakultas hukum. Demikian warta Flores Pos Rabu 11 November 2009.

Ini ketidakjelasan untuk kesekian kalinya. Pada 21 Oktober, dalam dialog dengan mahasiswa di Maumere, pembantu rektor III tidak bisa jelaskan legalitas kampus. Pada 5 November, dalam dengar pendapat dengan DPRD Sikka, sekretaris pengelola UMK Kampus III Maumere pun tidak bisa jelaskan legalitas kampus. Kata keduanya, ini porsi rektor. Pada 6 November, dalam rapat dengar pendapat di DPRD Sikka, ternyata rektor juga tidak bisa jelaskan secara meyakinkan soal legalitas kampus. Sekarang, rapatnya di Kupang. Hasilnya, sama. Tetap tidak jelas.

Pertanyaan kita: kenapa kampus yang tidak jelas legalitasnya ini bisa berkiprah di Kabupaten Sikka? Jawabannya sudah terungkap dalam pemberitaan sebelumnya. Ada MoU antara UMK dan Pemka Sikka. MoU ini diperbarui lima tahun sekali. Maka, tak dapat dinafikan, Pemkab Sikka terlibat. Pemkab jelas berandil menghadirkan sesuatu yang tidak jelas.

UMK Kampus III Maumere itu kelas jauh. Sesuatu yang sudah lama dilarang oleh dirjen dikti. Sudah sejak 1997. Pelarangan itu diulang berkali-kali pula: 2002, 2005, 2007, 2009. Alasannya pun kurang lebih sama. Kelas jauh melanggar norma dan kaidah akademik. Dosen tidak selalu berada di kampus. Perpustakaan dan laboratorium pun tidak tersedia. Dengan kondisi seperti ini, bagaimana mungkin kelas jauh bisa memainkan peran perguruan tinggi sebagai ‘pusat keunggulan’ (center of excellence)?

Pada Agustus 2008, sebanyak 13 guru besar yang tergabung dalam Komisi Guru Besar Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang menandatangani pernyataan keprihatinan tentang penyelenggaraan pendidikan kelas jauh dan sejenisnya yang dilakukan perguruan tinggi swasta di NTT dan di luar NTT. Pernyataan itu berisi enam butir sikap. Intinya, selain prihatin, mereka menolak penyelenggaraan pendidikan tinggi yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Sekretaris Komisi Guru Besar Undana Kupang, Alo Liliweri, penyelenggaraan pendidikan dengan sistem jarak jauh membodohi masyarakat umum dan peserta didik khususnya. Peserta didik dan para orangtua membuang biaya, tenaga, dan waktu untuk mendapat ijazah dan menyandang gelar yang kemudian tidak diakui.

Alo Liliweri benar. Pada 2007, dirjen dikti keluarkan edaran untuk kepala BKN, kakan regional BKN, kepala BKD, bupati, dan koordinator kopertis wilayah I-XII se-Indonesia. Isinya, selain pelarangan, juga penegasan. Bahwa ijazah kelas jauh dan kelas Sabtu-Minggu tidak dapat digunakan untuk pengangkatan dan pembinaan jenjang karier atau penyetaraan bagi PNS. Dengan kata lain, ijazah dan gelarnya tidak diakui.

Untuk Pemkab Sikka, buktinya sudah ada. Sebanyak 8 PNS alumni kelas jauh UMK Kampus III Maumere ditolak penyesuaian ijazahnya oleh BKN. Justru dari sinilah awal kemelut terjadi.

Pertanyaan kita: kenapa Pemkab Sikka berani-beraninya meneken MoU tentang sesuatu yang jelas melanggar aturan? Seandainya MoU itu tidak ada, tidak ada pula kelas jauh UMK di Maumere. Pemkab terlibat. Pemkab harus bertanggung jawab. Segera selesaikan!

“Bentara” FLORES POS, Kamis 12 November 2009

18 November 2009

Terima Kasih, Pater Amatus

Provinsial SVD Ende Berpulang

Oleh Frans Anggal

Hanya berselang sehari, kabar itu sudah berganti. Setelah sukacita, datang juga dukacita. Sabtu 7 November 2009, kabar gembira tersiar. Rm Hubertus Leteng Pr diangkat dan diumumkan oleh Paus Benediktus XVI menjadi uskup Ruteng. Belum lagi puncak kegembiraan itu lerai, tersebarlah warta dukana. Minggu 8 November, Provinsial SVD Ende P Amatus Woi SVD meninggal dunia di Surabaya.

Harian Umum Flores Pos menjadikan kedua peristiwa ini berita utama, masing-masing pada Senin 9 November dan Selasa 10 November 2009. Dua peristiwa kontras. Ada yang muncul, ada yang hilang. Ada yang datang, ada yang pergi. Ada yang teraih, ada yang terlepas. Ada yang akan disua, ada yang tak akan dijumpai lagi. Yang satu diutus pergi ke tempat ia akan berbakti. Yang lain dipanggil pulang ke tempat dari mana ia berasal.

Berita berjudul “Provinsial SVD Ende Tutup Usia” yang diturunkan Flores Pos disertai sebuah gambar kenangan. Pater Amatus sedang memberikan sambutan pada perayaan HUT ke-10 Flores Pos, 9 September 2009. Inilah kenangan terakhirnya bersama koran ini.

Sebagai salah satu pemilik, selain Bpk Gaspar P Ehok, sang provinsial saat itu memberikan pencerahan, kekuatan, peneguhan, dan harapan. Dialah sang matahari. Tak dinyana, matahari itu ternyata sudah condong ke magrib. Kata-katanya ternyata wasiat di senjakala kehidupan. Itulah kata-katanya yang tak akan pernah diucapkannya lagi. Kata-kata terakhir. Dan karena itu, membekas, dan akan selalu dikenang.

Beberapa tahun lalu, ketika masih sebagai wakil provinsial, ia mengisi rubrik opini Flores Pos setiap Senin. Tulisannya tajam. Menukik ke inti masalah. Ia tidak boros kata dan kalimat. Pilihan kata dan pola kalimatnya pun kuat. Jelas, tegas, efektif, sekaligus memikat. Semenjak terlampau sibuk dan kemudian menjadi provinsial, ia tidak lagi menulis secara rutin. Bahkan berhenti total. Flores Pos dan khalayak pembacanya mulai ‘kehilangan’ seorang Amatus sejak saat itu.

Meski merasa ‘kehilangan’, kru Flores Pos tahu baik, sang provinsial tetap punya hati untuk koran ini. Dia tetap percaya dan andalkan koran ini sebagai salah satu ujung tombak pewartaan: menegakkan kebenaran, keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. Ia tetap percaya dan andalkan koran ini sebagai forum publik yang mengembangkan dialog profetis dengan masyarakat miskin, masyarakat beragama lain, masyarakat berkebudayaan lain, dan masyarakat berideologi lain.

Yang luar biasa, meski sebagai pemilik, ia tidak pernah sekalipun mengintervensi kebijakan redaksional. Tidak semua pemilik modal mampu dan mau seperti ini. Dibutuhkan pengekangan diri. Dalam budaya pers di Indonesia, pengekangan diri seperti ini sangat mahal. Sudah menjadi rahasia umum, banyak ruang redaksi tidak lagi menjadi ruang ‘suci’.

Redaksi Flores Pos satu dari kekecualiannya. Ini karena para pemilik modalnya tahu diri, kekang diri, dan menghargai independensi redaksi. Kondisi ini memungkinkan redaksi berada pada jalur tradisi jurnalisme bermartabat. Bahwa, loyalitas yang benar adalah loyalitas kepada warga, bukan kepada penguasa, bukan pula kepada pemilik modal.

Pater Amatus telah pergi. Matahari itu telah terbenam. Fajar baru akan segera terbit. Pasti, seperti kemarin, ia pun memberikan pencerahan, kekuatan, peneguhan, dan harapan. Terima kasih, Matahari. Selamat datang, Fajar.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 11 November 2009

Uskup Hubert, Fajar Baru

Pengangkatan Uskup Ruteng

Oleh Frans Anggal

Doa-doa umat Keuskupan Ruteng terkabul. Hanya satu tahun sepeninggal almarhum Mgr Eduardus Sangsun SVD (13 Oktober 2008), Gereja lokal yang mencakup Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur ini sudah memiliki uskup baru. Dia Mgr Hubertus Leteng, imam projo Keuskupan Ruteng, doktor bidang spiritualitas, jebolan Universitas Teresianum Roma, yang kini Praeses Seminari Tinggi St Petrus Ritapiret dan dosen STFK Ledalero.

Paus Benediktus XVI mengangkat dan mengumumkannya di Roma pada Sabtu 7 November 2009, pkl 12.00 waktu setempat atau pkl 19.00 Wita. Dalam SMS ke berbagai pihak pada hari yang sama, Administrator Keuskupan Ruteng Rm Laurens Sopang Pr mengakhiri kabar gembira ini dengan ucapan singkat. “Trims (atas) doa-doa.”

Doa telah terpenuhi. Yang segera terpampang: harapan. Dalam warta Flores Pos Senin 9 November 2009, salah satu harapan datang dari Bupati Manggarai Christian Rotok. Ia harapkan uskup baru bisa membangun kerja sama agar kehidupan umat dan rakyat semakin sejahtara. “Bagi pemerintah, kerja sama dengan Gereja mutlak dan harus. Karena, sasaran yang mau dibangun sama, yakni rakyat dan umat.”

Kerja sama seperti apa? Tokoh umat Rofino Kant mengharapkan, kerja sama itu bersifat kritis. Kerja sama kritis, tidak hanya dengan pemerintah, tapi juga dengan semua pemangku kepentingan.

Jauh sebelumnya, “Bentara” Flores Pos Senin 27 April 2009 bertajuk “Ketika Gereja Dijinakkan” telah merumuskannya lebih konkret. “Keuskupan Ruteng sedang menunggu uskup baru. Alangkah bagusnya kalau yang baru bukan hanya uskupnya, tapi juga posisi Gerejanya. Tegas bersikap dalam setiap tragedi kemiskinan, krisis lingkungan, dan pelanggaran HAM.”

Gereja tidak boleh memilih diam. Berbicaralah! Gereja harus menolak bungkam. Bersuaralah! Bungkamnya Gereja di hadapan penguasa dan tidak jelas-tegasnya keberpihakannya dalam tragedi kemiskinan, krisis lingkungan, dan pelanggaran HAM, akan membawa dampak buruk. Tidak hanya bingung, umat kehilangan pegangan bersama. Kegamangan seperti ini memudahkan domba-domba itu tercerai-berai dan dimangsa.

Karena itu, harapan ini sangat tepat. “Umat tidak sekadar menantikan seorang uskup baru, tapi juga sebuah pola pastoral yang peka terhadap jeritan mereka. Umat bukan sekadar mengharapkan seorang yang diurapi sebagai raja, tapi sekalian imam dan nabi.” Demikian guratan lirik Eddie Doren dalam milis svd-sejagad-allesaja.

Siapakah Uskup Hubert, sampai kita boleh berharap banyak padanya? Agustinus Dawarja, mantan muridnya di Seminari Kisol, menulis sekilas gambaran tentang tokoh ini di milis forum-lonto-leok-nuca-lale. “Kesederhanaannya serta kerja kerasnya sungguh mengagumkan. Saya ingat dulu kalau potong rumput, beliau selalu ‘racang’ (asah) sabitnya dengan baik dan pegang sabit sendiri. Selama kerja jarang ngobrol, tapi nanti begitu istirahat dia bisa buat ‘joke’ yang ringan. Soal rajin berdoa saya tak ragu sama sekali. Seingatku, patung Bunda Maria di belakang gereja (Seminari) Kisol merupakan tempatnya berdoa setiap malam dan selalu yang (pulang) paling terakhir.”

Kita optimistik. Dalam diri Uskup Hubert, ada kemampuan dan kemauan memenuhi harapan itu. Kita percaya, dia mampu dan mau menjadi “fajar baru” bagi Keuskupan Ruteng. Ia sederhana. Rendah hati. Dekat ke bawah (umat). Dekat ke atas (Tuhan, bukan tuan).

“Bentara” FLORES POS, Selasa 10 November 2009

Legalkah UMK Maumere?

Legalitas UMK Kampus III Maumere

Oleh Frans Anggal

Sekitar 300 mahasiswa Universitas Muhammadiyah Kupang (UMK) Kampus III Maumere tidak puas dengan penjelasan Rektor UMK Sandy Maryanto dalam rapat dengar pendapat di DPRD Sikka, Jumat 6 November 2009. Rektor tidak jelaskan secara meyakinkan legalitas kampus itu. Ia akhirnya menghindari mahasiswa. Ia ‘menghilang’ lewat pintu belakang.

DPRD juga tidak puas. Jawaban si rektor putar-putar. Tidak fokus. Maka, dalam rekomendasinya, DPRD desak manajeman UMK bertanggung jawab atas legalitas kampus agar mahasiswa tidak dikorbankan. Demikian warta Flores Pos Sabtu 7 November 2009.

UMK Kampus III Maumere itu kelas jauh. Inilah masalahnya. Berkali-kali dirjen dikti depdiknas tegaskan: kelas jauh tidak dapat dibenarkan. Kalau sudah begitu, mau apa lagi? Yang berwenang beri izin operasional perguruan tinggi swasta adalah Dirjen Dikti. Jadi, legalkah UMK Kampus III Maumere?

22 September 2000, Dirjen Dikti keluarkan edaran nomor 2630/D/T/2000, tentang kelas jauh. Ditujukan ke rektor institut/universitas negeri, ketua sekolah tinggi negeri, dan koordinator kopertis wilayah I-XII. Tembusannya ke mendiknas, sekjen depdiknas, irjen depdiknas, serta sekretaris dan diektur ditjen dikti.

Isinya, kelas jauh dalam bentuk apa pun tidak dapat dibenarkan. Selama ini, pendidikan jarak jauh (bukan kelas jauh) ditangani UT, dan di waktu mendatang dapat dilakukan PTN lain dan PTS dengan gunakan pola seperti UT atau dengan media teknologi informasi. Pendidikan jarak jauh itu harus ditetapkan melalui SK mendiknas.

Edaran sejenisnya dikeluarkan lagi pada 2002, 2005, 2007, dan 2009. Pada 2007, dirjen dikti tujukan khusus ke kepala BKN, kakan regional BKN, kepala BKD, bupati, dan koordinator kopertis wilayah I-XII se-Indonesia. Isinya: kelas jauh dan kelas Sabtu-Minggu dilarang. Alasan: langgar norma dan kaidah akademik. Ijazah kelas jenis ini tidak dapat digunakan untuk pengangkatan dan pembinaan jenjang karier atau penyetaraan bagi PNS. Diingatkan, larangan ini sudah ada sejak 1997.

Nah. Kalau penyesuaian ijazah 8 PNS Sikka alumni UMK Kampus III Maumere ditolak BKN, dasarnya itu. Jelas dan tegas. Kalau pakai dasar ini, jelas dan tegas pula: UMK Kampus III Maumere itu ilegal. Dalam dengar pendapat, rektor menghindari simpulan ini. Sebaliknya, ia bilang UU 20/2003 memungkinkan kelas jauh. Larangan atasnya dinilainya tidak jelas dasar hukumnya.

Dari situ, si rektor melihat kasus 8 PNS sebagai persoalan teknis semata. Pemkab kurang pintar-pintar bikin keterangan bagi penyesuaian ijazah. Tertulis, izin belajar. Semestinya, tugas belajar. Kalau izin belajar, berarti tetap kerja. Dan itu tidak logis bagi BKN: mana mungkin 8 PNS itu tetap kerja di Sikka sambil kuliah di UMK di Kupang. Si rektor anjurkan, ubah keterangan itu jadi tugas belajar, agar logis bagi BKN. Seakan-akan 8 PNS itu tinggal dan kuliah di Kupang

Anjuran si rektor menunjukkan dua hal. Pertama, 8 PNS itu hanya bisa diselamatkan dengan mengakali BKN. De facto mereka tamatan UMK Kampus III Maumere. Fakta ini mau diubah, seolah-olah mereka kuliah di Kupang. Ini pembohongan. Pelacuran akademik. Pelacuran intelektual. Kedua, kenapa harus berbohong? Tidak perlu dijawab. Intinya: kalau legal, kenapa pakai akal-akalan?

“Bentara” FLORES POS, Senin 9 November 2009

Fenomena Rektor UMK

Legalitas UMK Kampus III Maumere

Oleh Frans Anggal

Rektor Universitas Muhammadiyah Kupang (UMK) Sany Maryanto batal datang ke Maumere, Kami 5 November 2009. Alasan, ia tidak kebagian tiket pesawat. Sedianya, hari itu digelar rapat dengar pendapat di DPRD Sikka dengan agenda kejelasan legalitas UMK Kampus III Maumere.

Ini kali ketiga rektor batal datang sejak Forum Mahasiswa Peduli Keadilan (FMPK) menuntut kehadirannya dalam beberap kali demo hingga penyegelan kampus. Pembatalan pertama, 21 Oktober. Dalam dialog dengan mahasiswa, rektor diwakili pembantu rektor III. Si wakil tidak bisa jelaskan legalitas kampus. Alasan: itu porsi rektor. Pembatalan kedua, 5 November. Dalam dengar pendapat dengan DPRD, rektor diwakili sekretaris pengelola UMK Kampus III Maumere. Wakil ini pun tidak bisa jelaskan legalitas kampus. Alasan, sama: itu porsi rektor.

FMPK kecewa. Jawaban atas persoalan pokok pun tetap menggantung. UMK Kampus III Maumere, legal atau ilegal? Kalau legal, kenapa BKN tolak penyesuaian ijazah delapan PNS Kabupaten Sikka alumni kampus ini? Dasar BKN, edaran Dirjen Dikti: kelas jauh dalam bentuk apa pun tidak dapat dibenarkan. Yang boleh hanya pendidikan jarak jauh, bukan kelas jauh, yang selama ini ditangani Universitas Terbuka. UMK Kampus III Maumere itu kelas jauh. Dilarang, tapi tetap dijalankan.

Ini persoalan kelas berat dan sangat mendesak. Tepat, porsinya rektor. Menurut UU Sisdiknas 2009, rektor adalah pimpinan tertinggi perguruan tinggi yang berkewajiban memajukan ilmu pengetahuan di masing-masing institusi melalui pendidikan dan penelitian, serta memberikan kontribusi maksimal kepada khalayak luas.

Pengertian tersebut mengandung tiga implikasi. Rektor berperan sebagai kekuatan sentral atau kekuatan penggerak kehidupan perguruan tinggi. Ia dituntut memahami tugas dan fungsinya demi keberhasilan perguruan tinggi. Ia dituntut memiliki kepedulian kepada staf, mahasiswa, dan masyarakat.

Kemelut UMK Kampus III Maumere telah berdampak besar pada staf pengelola, mahasiswa, orangtua mahasiswa, pemerintah, dan masyarakat. Oleh fungsinya, rektor dituntut peduli. Karena ini kelas jauh, ia dituntut datang. Karena ini serius dan mendesak, ia dituntut segera hadir. Ini yang tidak terjadi.

Terkesan, rektor enak-enak saja batal datang. Pada pembatalan pertama, alasannya sibuk. Pada pembatalan kedua, alasannya tidak kebagian tiket. Sibuknya seperti apa, dan kenapa sampai tidak dapat tiket, tidak dijelaskan. Sudah batal datang, pemberian mandatnya pun tidak solutif. Tidak pecahkan persoalan.

Pada 21 Oktober, kehadirannya diwakili pembantu rektor III. Pada 5 November, diwakili sekretaris pengelola UMK Kampus III Maumere. Kedua wakil ini menjadi wakil aneh. Mereka tidak bisa jelaskan legalitas kampus, dengan alasan itu porsinya rektor. Lho, kalian kan mewakili rektor! Kenapa persoalan pokok yang sudah diagendakan dilempar lagi ke atas? Ini namanya wakil yang tidak mewakili. Mandataris kekurangan mandat.

Kita tidak tahu, apa dasar terdalam sampai kedua wakil itu tidak berani omong tentang legalitas kampus. Apakah karena mereka tidak diberi mandat untuk bicarakan itu? Kalau demikian, untuk apa mereka hadir mewakili rektor? Ataukah mereka sudah diberi mandat tapi tidak berani menggunakannya? Kenapa tidak berani? Apakah karena legalitas UMK Kampus III Maumere suit dijelaskan karena memang tidak jelas? Fenomena wallahualam.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 7 November 2009

Pelajaran dari RSUD Ruteng

Sengeketa Madik di RSUD Ruteng

Oleh Frans Anggal

Pelayanan RSUD Ruteng dikeluhkan. Seorang pasien Jamkesmas disuruh pulang walau belum sembuh dari sakit akibat lakalantas. Ketika keluarga minta rawat inap diperpanjang 2-3 hari mengingat pasien masih lemah dan tak bisa jalan, petugas nyeletuk. “Kalau tidak mau, biar jadi lurah di rumah sakit saja.”

Keluar dari rumah sakit, kondisi pasien tidak membaik. Maka, keluarga kembali membawa dia ke rumah sakit. Kali ini tidak pakai Jamkesmas. Khawatir pelayanan kurang baik. Keluarga siap membeli resep. Dan, ternyata, disetujui rumah sakit.

Itu versi keluarga. Versi RSUD, lain lagi. Penanganan terhadap si pasien sudah memenuhi standar prosedur. Karena kondisinya dinilai membaik, penanganannya bisa dengan rawat jalan. Artinya, ia tetap gunakan obat yang diberikan dan selalu lakukan kontrol. Jadi, tidak ada diskriminasi terhadap pengguna Jamkesmas. Soal salah kata, pihak rumah sakit minta maaf.

Dua versi ini muncul dalam pertemuan yang difasilitasi dan dipimpin Direktur RSUD Ruteng, Dupe Nababan, seperti diwartakan Flores Pos Kamis 5 November 2009. Kedua belah pihak dihadirkan. Didengarkan keterangannya. Bukan untuk berdebat membenarkan diri. Tapi untuk membangun saling pengertian. Dan, berhasil. Kedua belah pihak bermaaf-maafan. Si pasien pun kembali dirawat inap. Ia tetap gunakan Jamkesmas.

Ini salah satu model penyelesaian sengketa medik yang bagus. Yang didapatkan di sini bukan hanya berakhirnya sengketa, tapi mekarnya kesadaran dan saling pengertian. Bahwa, hubungan pasien dengan rumah sakit tidak sebatas hubungan konsumen dengan produsen jasa. Tapi juga hubungan kerekanan. Pasien dan keluarga pasien merupakan rekan kerja rumah sakit dalam proses pelayanan.

Dalam kerekanan, ada kesederajatan. Kesederajatan sejati selalu didasari saling hormat dan tenggang rasa. Dalam konteks ini, ucapan Hippocrates (460-370 SM) perlu diperluas. Tidak hanya ditujukan kepada rumah sakit, tapi juga kepada pasien, keluarga pasien, dan masyarakat. Sejak 2.400 tahun silam, Hippocrates berfatwa. Primum, non nocere (Latin). First, do no harm (Inggris). Pertama-tama, janganlah menyakiti.

Bagi rumah sakit, fatwa ini mengamanatkan: keselamatan pasien harus diutamakan. Fatwa ini menyiratkan pula: keselamatan pasien bukan hal baru dalam dunia pengobatan. Sebab, pada hakikatnya, tindakan penyelamatan pasien sudah menyatu dalam proses pengobatan itu sendiri.

Bagi pasien, keluarga pasien, dan masyarakat, fatwa Hippocrates mengamanatkan: dalam menyikapi pelayanan medis yang mengecewakan, hendaklah prinsip tidak mengabaikan cara. Fortiter in re, suaviter in modo (Latin). Teguh dalam prinsip, lembut dalam cara. Yang baik dan benar harus ditegakkan, namun hendaknya melalui cara yang baik dan benar pula. Bagaimanakah itu? Primum, non nocere. First, do no harm. Pertama-tama, janganlah menyakiti.

Modus inilah yang digunakan dalam penyelesaian sengketa medik yang difasilitasi dan dipimpin Direktur RSUD Ruteng, Dupe Nababan. Mungkin Dupe Nababan telah belajar banyak dari banyak sengketa medik sebelumnya. Lazim, para pihak baku sikut dan baku sikat di media massa. Tak jarang, mereka saling memberi cap yang cenderung mengarah ke demonisasi: men-setan-kan satu sama lain. Padahal, menurut iman kristiani, tubuh itu, diri itu, kenisah Roh Kudus, bukan markas besar setan.

Dupe Nababan telah memberikan pelajaran berharga. Profisiat!

“Bentara” FLORES POS, Jumat 6 November 2009

17 November 2009

RSUD Ende Perlu Introspeksi

Seputar Sengketa Medik

Oleh Frans Anggal

Pelayanan RSUD Ende dikeluhkan keluarga korban lakalantas. Tiga jam korban di UGD, luka-lukanya tidak dibersihkan. Keluarga harus beli obat dulu, baru ada pertolongan pertama. “Kenapa harus tunggu uang baru bisa obati luka-luka?” keluh keluarga, diwartakan Flores Pos Rabu 4 November 2009. Setelah empat hari, korban meninggal. Jenazah dibiarkan tanpa dibersihkan. Keluargalah yang kasih mandi, setelah minta air dari rumah sekitar. Karena, kunci ruang pemandian jenazah dibawa oleh petugas yang sedang antar jenazah lain.

Tanggapan RSUD? Pada prinsipnya, manajeman RSUD Ende prioritaskan pelayanan, kata Plh Direktur Mourits Bunga. Mungkin karena beda pemahaman. Keluarga mau cepat, sedangkan petugas kerja ikut standar prosedur tetap (protap). Soal di ruang jenazah, itu karena kurang tenaga. “Hampir di semua instalasi,” katanya.

Menarik, tanggapan Mourits Bunga: mungkin karena beda pemahaman. Diandaikan demikian, pertanyaan pokok tetap ini. Sejauh mana petugas RSUD telah menaati standard of procedure (SOP) dan etika profesi? Pertanyaan ini semakin penting, karena pasien akhirnya meninggal. Dalam berita, keluarga bilang: jika sejak awal korban ditangani dengan cepat dan baik, kemungkinan jiwanya tertolong.

Benar tidaknya pernyataan keluarga itu tergantung dari pemenuhan standar protap dan etika profesi tadi. Kalau petugas RSUD tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan, atau melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan, itu sudah malpraktik medis. Namun, jika yang dilakukan petugas telah sesuai dengan standar dan etika profesi, namun gagal menyelamatkan jiwa pasien, ini risiko medis, bukan malpraktik medis. RSUD tidak dapat dipersalahkan.

Menarik pula, tanggapan Mourits Bunga: pada prinsipnya, manajeman RSUD Ende prioritaskan pelayanan. Prinsip ini patut didukung. RSUD bertekad memberikan pelayanan optimal kepada pasien. Mengapa?

Pertama, pasien adalah konsumen kesehatan yang memiliki hak memperoleh keselamatan dan keamanan dalam pelayanan kesehatan. Hak ini menuntut petugas kesehatan sebagai pemberi jasa layanan, memberikan pelayanan kesehatan yang profesional dan bertanggung jawab. Kedua, penelantaran bisa menimbulkan hal-hal yang berakibat buruk terhadap keselamatan dan kesehatan pasien. Terlebih pada pasien dengan keadaan yang kurang baik, yang membutuhkan pemantauan dan perawatan intensif.

Pertanyaan kita dalam kasus ini: sudahkah prinsip prioritaskan pelayanan itu dipraktikkan oleh petugas RSUD Ende? Benarkah perlakukan di UGD dan kamar jenazah bukan bukti pengabaian kewajiban rumah sakit terhadap pasien? Benakah yang terjadi itu telah sesuai dengan amanat Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (Koderasi)? Koderasi menegaskan: rumah sakit harus mengindahkan hak-hak asasi pasien. Benarkah hak-hak itu telah diindahkan RSUD Ende?

UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengamanatkan: masyarakat khususnya pasien sebagai konsumen, memiliki hak yang harus dihormati oleh pemberi jasa layanan kesehatan. Masyarakat konsumen kesehatan berhak atas keselamatan, keamanan, dan kenyamanan dalam pelayanan jasa kesehatan yang diterima. Dengan demikian, masyarakat konsumen kesehatan dilindungi dari kemungkinan upaya kesehatan yang tidak bertanggung jawab seperti penelantaran.

Pertanyaan kita dalam kasus ini: sudahkah amanat UU tersebut dilaksanakan oleh petugas RSUD Ende? Masih banyak pertanyaan lain yang bisa dideretkan di sini. Intinya satu: RSUD Ende perlu introspeksi. Jadikan kasus ini pembelajarn berharga.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 5 November 2009

Mabar dengan Dua Wajah

Kelaparan di Manggarai Barat

Oleh Frans Anggal

Manggarai Barat (Mabar) tampil dengan dua wajah dalam dua berita Flores Pos Selasa 3 November 2009. Wajah ke luar dan wajah ke dalam. Ke luar, wajahnya hangat sehangat mentari pagi. Ke dalam, wajahnya dingin sedingin es kutub. Ke luar, wajahnya sangat peduli. Ke dalam, wajahnya sangat apatis. Simak saja dua berita itu.

Pertama, berita halaman 1. Mabar sumbangkan Rp100 juta untuk korban bencana gempa bumi di Sumatera Barat (Sumbar). Dana berasal dari pemkab Rp50 juta, Korpri Rp30 juta, dan lain-lain sumbangan Rp20 juta. Kedua, berita halaman 12. Dalam waktu dekat, pemkab akan bagikan beras dua ton ke warga Mabar yang kelaparan di Desa Nggorang, Golo Pongkor, dan Macang Tanggar.

Narasumber dua berita ini, Kadis Kesosnakertrans Maksimus Bagul. Ke luar, ke Sumbar, dia antar langsung bantuan. Selain untuk bawa bantuan, ia ke Sumbar untuk beri dukungan moril langsung kepada masyarakat setempat agar mereka cepat bangkit. Sekaligus, promosi pariwisata Mabar.

Tidak terungkap dalam berita, apakah Maksimus Bagul juga sudah mengunjungi warga Desa Nggorang, Golo Pongkor, dan Macang Tanggar yang kelaparan. Sekurang-kurangnya, seperti misi sucinya ke Sumbar itu, memberi dukungan moril langsung kepada masyarakat kelaparan agar mereka ulet dalam kelaparan, dan tekun berdoa mohon mana dari surga, karena pemkabnya sudah tidak peduli lagi pada derita rakyatnya sendiri.

Kelaparan warga tiga desa sudah berlangsung satu bulan, akibat gagal panen lantaran banjir dan serangan hama tikus. Banyak dari mereka sudah makan umbi hutan dan isi batang gebang. Kades sudah bikin laporan dan mohon bantuan. Harian ini berkali-kali memberitakannya. Berkali-kali pula mengulasnya dalam “Bentara”. DPRD pun sudah mendesak-desak. Hasilnya, tidak ada hasil.

Berita terakhir hanya bilang begini: dalam waktu dekat pemkab akan bagikan beras dua ton. Frasa ‘dalam waktu dekat’, ‘akan’, sama dengan ‘belum’. Padahal, kasus ini terjadi di depan mata, tidak pake langgar laut, tidak harus lewati banyak pulau, seperti ke Sumbar itu. Kasus ini pun terjadi jauh sebelum gempa bumi Sumbar. Kenapa reaksi pemkab begitu lamban?

Ke luar, ke Sumbar, wajah pemkab hangat sehangat mentari pagi. Ke dalam, ke warganya sendiri yang kelaparan, wajah itu dingin sedingin es kutub. Ke luar, wajahnya sangat peduli. Ke dalam, wajah itu amat apatis. Ke luar, bergegas-gegas bawa uang. Ke dalam, berlambat-lambat bawa beras.

Orang Jerman punya istilah yang enak di telinga. Ada Sendung (baca: zendung), ada Sammlung (baca: zamlung). Ada perutusan ke luar, ada kekompakan ke dalam. Ada kepedulian ke luar, ada empati ke dalam. Ibarat dua sayap, Sendung dan Sammlung harus sama-sama mengepak. Di Mabar, sayap Sendung-nya terentang, sayap Sammlung-nya patah. Seamsal burung, Mabar terbang terpincang-pincang.

Mabar seperti ini mencerminkan pemimpinnya. Ke luar, hebat. Ke dalam, ancor. Lihat, bisa-bisanya Mabar dapat piagam dari Menhut. Padahal, hutan Tobedo dihancurkan demi eksplorasi tambang emas. Ini karena wajah tadi. Wajah ke Sumbar sama dengan wajah ke Menhut. Ke luar, smiling face, ‘wajah tersenyum’. Ke dalam, killing face, ‘wajah membunuh’.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 4 November 2009

Raskin dan Kesepakatan Itu

Kasus Raskin di Kabupaten Sikka

Oleh Frans Anggal

Ada dimensi baru dalam kasus raskin di Desa Wolonwalu, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka. Diwartakan sebelumnya, Kades Minsia bikin persyaratan. KK penerima raskin wajib bayar Rp75.000 dana pembangunan gedung Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Bayar dulu itu baru boleh beli raskin Rp1.600 per kg. Warga Dusun Ili pun mengadu ke kejaksaan.

Tanggapan kades? Yang tolak itu segelintir. Yang setuju jauh lebih banyak. Kebijakan ini didasari kesepakatan dengan warga. Malah bukan hanya Rp75.000, tapi Rp91.000. Rinciannya: iuran PAUD Rp75.000, iuran desa Rp12.000, dana solidaritas desa siaga Rp6.000. “Semua biaya telah disepakati bersama. Warga membayar ini secara cicil,” kata kades, diwartakan Flores Pos Senin 2 November 2009.

Modus ‘kesepakatan’ tampaknya lagi tren. Seperti di Desa Hangalande, Kecamatan Kota Baru, Kabupaten Ende. Kades bikin kesepakatan dengan masyarakat dan badan perwakilan desa. Raskin dijual ke pengusaha. Hasil penjualan dipakai untuk bayar pajak warga dan bangun kantor desa. Kasus ini sedang ditangani polisi.

Baik di Ende maupun di Sikka, modusnya sama: kesepakatan. Di Ende, kesepakatannya menyangkut peruntukan raskin. Bayar pajak warga dan bangun kantor desa. Di Sikka, kesepakatannya menyangkut persyaratan. Bayar dulu cicilan Rp91.000 baru boleh beli raksin.

Taruhlah, kesepakatan itu benar ada. Masuk akalkah? Pada kasus di Ende, cukup masuk akal. Dengan menyepakati raskin dijual ke pengusaha, warga tidak perlu lagi rogoh kocek bayar pajak dan bangun kantor desa. Tidak demikian di Sikka. Warga harus keluarkan uang, dobel pula. Pertama, untuk penuhi syarat beli raksin. Kedua, untuk beli raskin itu sendiri. Berat, tentu.

Masuk akalkah persyaratan seberat itu disepakati warga? Kalau benar disepakati, kesepakatan modal apakah itu? Kita patut dapat menduga, kesepakatan itu tidak ikhlas. Terpaksa. Warga ikut saja maunya kades. Yang terjadi di sini bukanlah “musyawarah untuk mufakat”, tapi “memusyawarahkan mufakat”. Artinya, sudah ada putusan terlebih dahulu dari kades, tinggal dipalu saja saat pertemuan bersama warga. Hasilnya, ‘kesepakatan’.

Dalam teori ilmu politik, ini salah satu bentuk partisipasi. Samuel P. Huntington membedakannya atas dua macam. Pertama, partispasi yang bersifat otonom (autonomous participation). Kedua, partisipasi yang dimobilisasi atau dikerahkan oleh pihak lain (mobilized participation). Untuk jenis kedua ini, pada pemilu Orde Baru, Golkar-lah jagonya. Mem-partispasi-kan masyarakat lewat pengerahan massa, ke tempat kampanye, ke TPS, dst.

Bukan tidak mungkin, cara seperti ini pula yang terjadi di Kabupaten Sikka, Kecamatan Bola, Desa Wolonwalu. Warga di-partispasi-kan oleh kades dalam memutuskan syarat tambahan bagi penerimaan raskin. Syarat itu sangat bebankan warga. Apa masuk akal, warga terima itu dengan ikhlas? Tidak! Partispasi warga dalam memutuskan itu patut dapat diduga sebagai mobilized participation. Partisipasi yang dikerahkan oleh kades.

Buktinya ada. Sebanyak 46 warga penerima raskin asal Dusun Ili mengadu ke Kejari Maumere, sebagaimana diwartakan Flores Pos Kamis 29 Oktober 2009. Mereka mengaku tidak mampu bayar tambahan Rp91.000 di luar tebusan raskin Rp1.600 per kg. Nah! Kalau benar ini kesepakatan, kesepakatan ini tidak dapat dibenarkan. Membebankan warga. Juga, terutama, melanggar aturan. Harus segera dihentikan!

“Bentara” FLORES POS, Selasa 3 November 2009

Asti vs “Patriot”

Delik Pers di Flores Timur

Oleh Frans Anggal

Pemred Mingguan Patriot dilaporkan ke polisi oleh Maria Fransiska Sri Haryati alias Asti, pegawai lepas Sekretariat Bupati Flotim. Asti merasa dirugikan oleh pemberitaan Patriot. Yang diberitakan, tidak benar. Asti tidak bekerja di ruang bupati, tapi di ruang sekretariat bupati bersama staf lain.

Reaksi Patriot? Tidak ada Asti dalam berita. Juga tidak ada bantahan alias hak koreksi atau hak jawab dari Asti, sebagaimana amanat UU 40/1999 tentang Pers. Tanggapan Asti? Meski namanya tidak disebutkan, yang dideskripsikan berita adalah dirinya. Soal hak jawab, ia memilih tidak digunakan. Ia langsung proses hukum. Demikian warta Flores Pos Sabtu 31 Oktober 2009.

Asti mewakili pandangan, hak jawab boleh digunakan, boleh tidak. Kalaupun digunakan, itu tidak batalkan gugatan. Dasarnya, UU tentang Pers bukanlah ‘hukum khusus’ (lex specialis). UU ini hanya atur tiga delik: norma agama, rasa kesusilaan, dan asas praduga tak bersalah. Delik lain tidak, seperti pencemaran nama baik, penghinaan ringan, fitnah, kabar bohong. Ini diatur KUHP. Maka untuk delik-delik ini, orang pakai KUHP, bukan UU tentang Pers.

Patriot mewakili pandangan, UU tentang Pers itu lex specialis. Segala perkara menyangkut pemberitaan pers harus gunakan UU ini. Dasarnya pasal 63 KUHP ayat 2: jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula dalam aturan pidana yang khsus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan. Asasnya: ‘hukum khusus menangguhkan hukum umum’ (lex specialis derogat legi generali).

Pasal 5 ayat 2 UU tentang Pers: pers wajib layani hak jawab. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk berikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Pasal 18 ayat 2: jika hak jawab sudah digunakan masyarakat namun tidak dilayani pers maka pers diancam pidana denda Rp500 juta.

Hingga kini, dua pandangan di atas masih bersaing. Pakai UU tentang Pers ataukah KUHP? Jangankan akademisi, hakim pun berbeda pandangan.

Contoh, kasus Tomy Winata vs Majalah Tempo, 2003. Di pengadilan negeri, gugatan Tomy dikabulkan. Alasan: Tempo tidak mampu buktikan kebenaran berita. Fisik buku proposal renovasi Pasar Tanah Abang yang disebut Tempo diajukan Tomy tiga bulan sebelum kebakaran Pasar Tanah Abang (yang mengesankan pasar sengaja dibakar agar proposal itu lolos) tidak mampu diperlihatkan di persidangan. Tempo dinyatakan bersalah mencemarkan nama baik penggugat.

Di tingkat banding, putusan pengadilan negeri ini dibatalkan. Alasan: penggugat tidak gunakan hak jawab dan hak koreksi seperti diatur dalam UU tentang Pers. Karena penggugat tidak gunakan itu maka belum terdapat adanya kesalahan pada pers. Kesalahan pers baru ada manakala pers tidak melayani hak jawab pihak yang diberitakan.

Nasib Asti vs Patriot bisa seperti ini. Tidak pasti. Juga: kuras waktu, tenaga, pikiran, dan biaya. Kata pepatah: kalah jadi abu, menang jadi arang. Yang kalah, yang menang, sama-sama rugi. Padahal, ada cara lain! UU tentang Pers tawarkan ini. Penyelesaian oleh Dewan Pers. Kalau belum puas, barulah proses hukum. Kenapa solusi ini tidak dicoba?

“Bentara” FLORES POS, Senin 2 November 2009