Kasus Perambahan Hutan Lindung
Oleh Frans Anggal
Sekitar 30 warga Nggorang bermalam di kantor Dushut Mabar di Labuan Bajo, Rabu 18 November 2009. Sampai kapan, entahlah. Mereka menuntut, sembilan warga yang ditahan polisi dibebaskan. Kesembilan warga itu ditahan berdasarkan laporan dishut. Mereka rambah hutan lindung RTK108 Nggorang Bowo Si’e. Namun menurut warga, kawasan itu tanah ulayat mereka. Lingko Lokang Tete, namanya. Demikian warta Flores Pos Jumat 20 November 2009.
Kesembilan warga ditahan sejak Oktober 2009. Saat itu baru dua hari mereka garap Lingko Lokang Tete. Mereka kerjakan bagian mereka berdasarkan pembagian dari kuasa ulayat setempat. Yang mereka persoalkan: kenapa menggarap di lahan sendiri dianggap merambah hutan? Kenapa para penggarap ditahan? Dan kenapa hanya mereka?
Ada dua persoalan di sini. Hukum dan keadilan. Hukum, berkenaan dengan konflik tanah. Antara hukum agraria nasional dan hukum adat. Antara tanah negara dan tanah ulayat. Persisnya apa dan bagaimana, belum jelas. Kadishut Edward belum mau beberkan duduk perkaranya. Dengan alasan jaringan buruk sehingga suara tidak jelas, ia tidak bersedia menjawab lewat telepon.
Meski demikian, satu hal perlu dipahami. Orang Manggarai menganut sistem ladang berpindah (field rotation system). Dengan demikian, selalu ada lahan yang diistirahatkan. Bahkan ada yang belum digarap karena belum dikapling. Diistirahatkan, belum digarap, itu tidak sama dengan ditinggalkan atau diterlantarkan. Apalagi kalau sampai dianggap tidak bertuan. Karena itu, pemerintah jangan enak-enak mengklaimnya sebagai tanah negara. Jangan gampangan menjadikannya hutan lindung, dll.
Di Manggarai, nama lahan menunjukkan status tanah. Kalau disebut ”lingko”, itu jelas ada pemiliknya. “Lingko” masuk dalam kategori tanah yang dikuasai atau menjadi hak sekelompk orang bagi usaha pertanian dengan sistem ladang berpindah tadi. Dalam konteks kasus warga Nggorang, lahan yang mereka garap itu ada namanya. Lingko Lokang Tete. Ini tanah ulayat. Ada kuasa ulayatnya.
De facto, pemerintah jadikan Lingko Lokang Tete kawasan hutan lindung. Dasarnya apa, waktunya kapan, prosesnya bagaimana, tidak jelas. Mungkin karena itulah kadishut mengelak memberi penjelasan. Kalau tidak jelas, lalu atas dasar apa kesembilan warga ditahan? Proses hukum tidak boleh berjalan di atas sesuatu yang tidak jelas. Oleh karena itu, bukan hanya harus ditangguhkan penahanannya, kesembilan warga harus dibebaskan!
Itu dari segi hukum. Sekarang dari segi keadilan. Kenapa hanya sembilan warga itu yang ditahan? Perambah lainnya, termasuk yang kelas wahid? Dishut hanya laporkan orang-orang kecil. Polisi juga hanya tahan orang-orang kecil. Penegakan hukumnya diskriminatif. Pandang bulu. Tebang pilih.
Kalau mau adil, semestinya dishut laporkan juga Bupati Fidelis Pranda dan investor tambang emas. Bupati kasih izin eksplorasi ke investor. Si investor lakukan ekplorasi dalam kawasan hutan lindung yang sama. Pohon-pohon bertumbangan. Tanpa izin dari Menhut! Berarti, ilegal. Berarti, perambahan hutan juga. Dishut tidak laporkan ini. Forum Geram-lah yang melapor. Hasilnya? Polisi tidak lakukan penahanan.
Dalam penegakan hukum, dishut memang berani. Polres memang berani. Tapi, beraninya cuma sama orang kecil, orang kampung, petani miskin. Sama bupati, sama investor, mana berani. Kalau model begini, semua orang bisa jadi kadishut. Semua orang bisa jadi kapolres. Apa susahnya. Injak yang kecil, sembah yang besar.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 21 November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar