Membongkar Borok Dishubkominfo Sikka
Oleh Frans Anggal
Kadis Hubkominfo Kabupaten Sikka, Robertus Lameng, membongkar gaji fiktif di instansinya. Pelakunya, juru bayar gaji, Kamilus Gore. Selama 2001-2009, Kamilus Gore tetap menganggarkan gaji bagi Damianus Jata. Padahal, sejak 2001 Damianus Jata dimutasi ke Dishub Provinsi NTT di Kupang. Dan sejak itu pula gajinya dibayar oleh Dishub Provinsi NTT, tidak lagi oleh Hubkominfo Kabupaten Sikka.
Menurut Kadis Roby Lameng, kerugian negara akibat perbuatan Kamilus Gore mencapai Rp100 juta lebih. Pelaku mengakui perbuatannya. Dengan sadar, tahu dan mau, tanpa tekanan dari pihak mana pun, dia mengambil, menerima, dan memakai uang itu. Dia siap bertanggung jawab. Pengakuannya tertuang di atas kertas bermeterai. Demikian warta Flores Pos Rabu 18 November 2009.
Memproses hukum kasus ini tidak sulit. Ada bukti. Ada saksi. Ada kerugian negara. Ada pengakuan. Apanya lagi? Tinggal disidik, didakwa, disidangkan, divonis. Pelaku masuk penjara. Uang negara harus dikembalikan. Titik. Kalau semua pelaku begini, polisi, jaksa, dan hakim tidak pusing. Yang bikin pusing kalau: sudah jelas-jelas korup, masih juga bela diri, putar balik, berbelit-belit, sogok sana gogok sini. Yang ini, lain. Kalau koruptor, dia koruptor jujur. Memang, kejujuran tidak menghapus kesalahan. Namun, berguna, meringankan hukuman.
Yang tak boleh dilupakan, si pelaku tidak tiba-tiba jujur. Ada prakondisi dan proses. Ini preseden yang diciptakan sang atasan, Kadis Roby Lameng. Peran sang kadis sangat penting dan menentukan. Ia periksa pembukuan. Ia lakukan kroscek ke Kupang. Melalui berbagai proses ke dalam dan ke luar itu, ia memperoleh petunjuk bahkan bukti telah terjadi pembayaran gaji fiktif. Temuan ini mengkondisikan pelaku tidak bisa membantah. Ia akhirnya mengaku.
Langkah Roby Lameng tidak terhenti di situ. Ia beberkan kasus ini kepada publik melalui media massa. Dengan demikian, dua langkah telah dia ayunkan. Pertama, melacak dan menemukan kasus gaji fiktif dalam instansinya. Kedua, mengumumkan kepada publik kebobrokan dalam instansinya itu. Langkah pertama sudah sering dilakukan banyak pemimpin. Langkah kedua jarang. Kebanyakan, kasus hanya dikonsumsi orang dalam dan diselesaikan ke dalam.
Langkah kedua itu wujud transparansi. Dan transparansi merupakan salah satu prinsip hakiki penegakan good governance. Tanpa tranparansi maka korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menyubur. Tanpa transparansi maka pemberantasan KKN dan peningkatan profesionalisme aparat pemerintah hanya tinggal mimpi.
Buku Media dan Tranparansi (2004) melukiskannya begini. Ibarat bangunan, tanpa transparansi maka ruangan itu gelap gulita. Pemerintahan dalam ruangan seperti ini dikelola oleh para “drakula” yang menyukai ruangan gelap dan gemar mengisap darah rakyat. Di dalam Indonesia yang gelap gulita, tikus-tikus leluasa berkeliaran dan merajalela mencuri apa saja. Koruptor adalah tikus-tikus yang menikmati ketertutupan dan kegelapan itu.
Roby Lameng ibarat pemilik bangunan. Ia menerangi ruangan gelap. Ia temukan dan menangkap tikus. Lalu ia buka pintu dan jendela. Orang pun jadi tahu, ternyata dalam bangunan itu ada tikusnya. Seekor sudah ditangkap. Lainnya? Mungkin masih ada dan banyak. Mungkin masih ngumpet di sudut-sudut sempit. Untuk menemukannya, dibutuhkan senter. Media massa memainkan peran itu. Menyorotkan cahaya agar semua tikus terlihat, ditangkap, dan dimusnahkan.
Itulah yang sedang dilakukan Roby Lameng. Membangun transparansi. Kita patut memberinya apresiasi dan dorongan. Maju terus, Roby! Siapa takut!
“Bentara” FLORES POS, Kamis 19 November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar