Kematian Nurdin bin Yusuf di Sikka
Oleh Frans Anggal
Keluarga almarhum Nurdin bin Yusuf menyatakan siap bila jenazah Nurdin diautopsi demi kepentingan proses hukum. Namun kesiapan mereka disertai satu usulan. Autopsi hendaknya dilakukan oleh ahli forensik dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Mun’im Idris. Demikian warta Flores Pos Kamis 26 November 2009.
Nurdin bin Yusuf ditemukan tak bernyawa dekat jembatan Wailiti, Kecamatan Alok Barat, Kabupaten Sikka, 20 Juni 2009. Pada jenazahnya ditemukan banyak kejanggalan. Antara lain, luka memar dan bengkak di sekujur tubuh. Semua kejanggalan ini sudah dilaporkan ke polisi oleh kuasa hukum keluarga korban. Keluarga yakin, Nurdin tewas dibunuh, bukan karena kecelakaan lalu lintas.
Perlukah jenazah Nurdin diautopsi? Pertanyaan ini cocoknya diarahkan ke penyidik Polres Sikka. Merekalah yang mengumpulkan barang bukti, keterangan, dan petunjuk. Kalau semua itu dinilai belum memadai, perlunya autopsi tentu patut mereka pertimbangkan. Pihak keluarga sudah siap untuk itu, meski dengan syarat tadi: harus oleh Mun’im Idris.
Ini yang menarik. Kenapa harus oleh Mun’im Idris? Kenapa tidak oleh yang lain? Kenapa tidak oleh tim forensik polda misalnya? Pertanyaan ini cocoknya diarahkan ke keluarga Nurdin. Apa pun jawaban mereka, satu hal ini sudah cukup jelas. Mun’im Idris pakar forensik terkemuka di Indonesia saat ini.
Masih segar dalam ingatan publik Flores, bagaimana profesor dari Fakultas Kedokteran UI ini menerobos kebuntuan proses hukum kematian Pastor Pembantu Paroki Raja, Romo Faustin Sega Pr. Hasil autopsinya menyimpulkan: Romo Faustin meninggal karena kekerasan tumpul. Identifikasi pada leher dan tengkorak sangat meyakinkan kita. Korban tewas dibunuh. Bukan mati wajar seperti dikoar-koarkan sebelumnya oleh Polres Ngada.
Tentang Mun’im Idris, Valens Daki-Soo, Advisor Bidang Ideologi Satgas Bom/Antiteror Mabes Polri, memberikan kesaksian via SMS 12 September 2009. ”Kompetensi teknis, integritas, dan kredibilitas profesional Mun’im Idris sangat tinggi. Kami (Satgas Bom dan Densus 88/Antiteror Mabes Polri) pun menggunakan dia, dan publik dapat menilai sendiri hasil kerjanya dalam membantu identifikasi mayat teroris dan para korban.”
Jadi, cukup jelas. Kalau keluarga Nurdin menghendaki autopsi oleh Mun’im Idris, itulah dasarnya. Sangat masuk akal. Untuk mendapatkan hasil terbaik, mereka menginginkan pakar terbaik. Hasil terbaik, maksudnya: hasil yang objekif dan lengkap. Sedangkan pakar terbaik, maksudnya: pakar yang punya kompetensi teknis, integritas, dan kredibilitas profesional. Banyak yang punya kompetensi teknis, tapi tak punya integritas dan kredibilitas. Alias, mudah berkonspirasi, mudah disogok. Mun’im Idris tidak begitu.
Kita berharap, Polres Sikka menghargai keinginan keluarga Nurdin. Tidak usah tersinggung-lah. Tidak usah persoalkan, kenapa autopsi harus oleh Mun’im Idris. Kenapa tidak oleh tim forensik polda. Jawaban atas pertanyaan ini sama dengan jawaban atas pertanyaan: kenapa Satgas Bom dan Densus 88/Antiteror Mabes Polri gunakan Mun’im Idris dan bukan tim forensik Mabes Polri. Dasarnya, itu tadi: Mun’im Idris punya kompetensi teknis, integritas, dan kredibilitas profesional.
Polres Sikka malah harus bersyukur kalau nanti Mun’im Idris besedia datang. Kompetensi teknis, integritas, dan kredibilitas profesionalnya akan sangat membantu menciptakan tiga hal penting dari (penegakan) hukum. Yakni, stabilitas (stability), kepastian (predictability), dan keadilan (fairness). Hitung-hitung, perbaiki citra Polri juga, yang sekarang sedang ancor-ancornya.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 28 November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar