Kasus Perambahan Hutan Lindung
Oleh Frans Anggal
Kadishut Mabar Edward menolak penilaian bahwa pihaknya diskriminatif dalam penegakan hukum kasus perambahan hutan lindung TRK 108 Nggorang Bowo Si’e. Alasan dia, sudah banyak pelaku yang masuk bui. Demikian warta Flores Pos Sabtu 21 November 2009.
Khusus tentang penahanan sembilan warga Nggorang, kadishut benarkan: penahanan dilakukan oleh polisi atas dasar laporan dishut. Laporan dibuat karena tiga dari sembilan pelaku itu tertangkap tangan. Sedangkan investor tambang emas tidak dilaporkan, dengan alasan sebaliknya: tidak tertangkap tangan.
Tertangkap tangan. Inilah dasar yang digunakan kadishut untuk melaporkan kasus perambahan hutan lindung ke polres. Dasar seperti ini sangat kuat dan masuk akal. Kita akui itu. Yang tidak bisa dicerna akal kita adalah pembatasan yang digariskan kadishut untuk menentukan berdasar atau tidaknya laporan ke polisi. Ia tersesat ketika menjadikan “tertangkap tangan” satu-satunya dasar bagi laporan.
Sebuah analogi: kasus korupsi. Kalau tunggu tertangkap tangan, tidak seorang koruptor pun yang bisa diproses hukum di republik ini. Sebab, korupsi dilakukan secara rahasia. Sifat kerahasiaannya memperkecil bahkan memustahilkan pelakunya tertangkap tangan. Dengan karakteristik delik seperti ini, menunggu pelakunya tertangkap tangan sama dengan menunggu kucing bertanduk. Nonsens. Tidak masuk akal. Tidak realistis.
Yang kita sayangkan, koq bisa-bisanya kadishut (rela) tenggelam dalam irasionalitas seperti ini. Ia menunggu tertangkap tangan dulu, barulah investor ia laporkan ke polisi. Kalau tidak tertangkap tangan, ya, tidak dilaporkan. Pertanyaan kita: mungkinkan seorang investor tertangkap tangan sedang merambah hutan? Memangnya investor itu buruh? Memangnya investor itu masuk hutan lindung, menggali sendiri parit uji, dan menumbangkan pohon?
Tidak hanya irasional, cara berpikir kadishut sangat berbahaya bagi kelestarian hutan yang justru harus dilindunginya. Bisa-bisa, seluruh hutan lindung TRK 108 Nggorang Bowo Si’e hancur oleh ekplorasi tambang emas. Dan si investor aman tenteram. Dia tidak bakal dilaporkan ke polisi. Sebab, dia tidak tertangkap tangan merambah hutan.
Tidak hanya investor, bupati pun aman tenteram. Sebab, dia juga tidak masuk hutan. Mana mungkin dia bisa tertangkap tangan. Meski, dialah yang kasih izin ke investor. Atas dasar itu, investor lakukan ekplorasi di hutan lindung. Padahal belum ada izin dari Menhut. Maka, jelas-jelas ini ilegal, perambahan hutan, dan justru karena itu kini ekplorasinya dihentikan (sementara).
Dalam logika kadishut, investor dan bupati baru akan dipandang layak dilaporkan ke polisi kalau tertangkap tangan sedang merambah hutan. Dengan kata lain, investor dan bupati harus jadi buruh dulu, lalu masuk hutan lindung, menggali parit uji ekplorasi, dan ini dia: tertangkap tangan saat itu juga! Pertanyaan kita: mungkinkah itu? Pasti tidak! Tapi justru yang tidak mungkin inilah yang dijadikan dasar oleh kadishut untuk tidak melaporkan investor dan bupati.
Dengan cara berpikir seperti ini, tidak heran, hanya orang-orang kecil yang ditahan, diadili, masuk bui. Menurut kadishut, mereka yang masuk bui itu sudah banyak. Dan menurut dia, ini bukti penegakan hukum di Mabar tidak diskriminatif. Tidak pandang bulu, Tidak tebang pilih.
Simpulannya jelas irasional. Tapi kita bisa mengerti. Simpulan irasional lahir dari cara berpikir irasional. Demikian juga, sikap dan tindakan diskriminatif lahir dari cara berpikir diskriminatif.
“Bentara” FLORES POS, Senin 23 November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar