17 November 2009

Raskin dan Kesepakatan Itu

Kasus Raskin di Kabupaten Sikka

Oleh Frans Anggal

Ada dimensi baru dalam kasus raskin di Desa Wolonwalu, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka. Diwartakan sebelumnya, Kades Minsia bikin persyaratan. KK penerima raskin wajib bayar Rp75.000 dana pembangunan gedung Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Bayar dulu itu baru boleh beli raskin Rp1.600 per kg. Warga Dusun Ili pun mengadu ke kejaksaan.

Tanggapan kades? Yang tolak itu segelintir. Yang setuju jauh lebih banyak. Kebijakan ini didasari kesepakatan dengan warga. Malah bukan hanya Rp75.000, tapi Rp91.000. Rinciannya: iuran PAUD Rp75.000, iuran desa Rp12.000, dana solidaritas desa siaga Rp6.000. “Semua biaya telah disepakati bersama. Warga membayar ini secara cicil,” kata kades, diwartakan Flores Pos Senin 2 November 2009.

Modus ‘kesepakatan’ tampaknya lagi tren. Seperti di Desa Hangalande, Kecamatan Kota Baru, Kabupaten Ende. Kades bikin kesepakatan dengan masyarakat dan badan perwakilan desa. Raskin dijual ke pengusaha. Hasil penjualan dipakai untuk bayar pajak warga dan bangun kantor desa. Kasus ini sedang ditangani polisi.

Baik di Ende maupun di Sikka, modusnya sama: kesepakatan. Di Ende, kesepakatannya menyangkut peruntukan raskin. Bayar pajak warga dan bangun kantor desa. Di Sikka, kesepakatannya menyangkut persyaratan. Bayar dulu cicilan Rp91.000 baru boleh beli raksin.

Taruhlah, kesepakatan itu benar ada. Masuk akalkah? Pada kasus di Ende, cukup masuk akal. Dengan menyepakati raskin dijual ke pengusaha, warga tidak perlu lagi rogoh kocek bayar pajak dan bangun kantor desa. Tidak demikian di Sikka. Warga harus keluarkan uang, dobel pula. Pertama, untuk penuhi syarat beli raksin. Kedua, untuk beli raskin itu sendiri. Berat, tentu.

Masuk akalkah persyaratan seberat itu disepakati warga? Kalau benar disepakati, kesepakatan modal apakah itu? Kita patut dapat menduga, kesepakatan itu tidak ikhlas. Terpaksa. Warga ikut saja maunya kades. Yang terjadi di sini bukanlah “musyawarah untuk mufakat”, tapi “memusyawarahkan mufakat”. Artinya, sudah ada putusan terlebih dahulu dari kades, tinggal dipalu saja saat pertemuan bersama warga. Hasilnya, ‘kesepakatan’.

Dalam teori ilmu politik, ini salah satu bentuk partisipasi. Samuel P. Huntington membedakannya atas dua macam. Pertama, partispasi yang bersifat otonom (autonomous participation). Kedua, partisipasi yang dimobilisasi atau dikerahkan oleh pihak lain (mobilized participation). Untuk jenis kedua ini, pada pemilu Orde Baru, Golkar-lah jagonya. Mem-partispasi-kan masyarakat lewat pengerahan massa, ke tempat kampanye, ke TPS, dst.

Bukan tidak mungkin, cara seperti ini pula yang terjadi di Kabupaten Sikka, Kecamatan Bola, Desa Wolonwalu. Warga di-partispasi-kan oleh kades dalam memutuskan syarat tambahan bagi penerimaan raskin. Syarat itu sangat bebankan warga. Apa masuk akal, warga terima itu dengan ikhlas? Tidak! Partispasi warga dalam memutuskan itu patut dapat diduga sebagai mobilized participation. Partisipasi yang dikerahkan oleh kades.

Buktinya ada. Sebanyak 46 warga penerima raskin asal Dusun Ili mengadu ke Kejari Maumere, sebagaimana diwartakan Flores Pos Kamis 29 Oktober 2009. Mereka mengaku tidak mampu bayar tambahan Rp91.000 di luar tebusan raskin Rp1.600 per kg. Nah! Kalau benar ini kesepakatan, kesepakatan ini tidak dapat dibenarkan. Membebankan warga. Juga, terutama, melanggar aturan. Harus segera dihentikan!

“Bentara” FLORES POS, Selasa 3 November 2009

Tidak ada komentar: