Usul Penggantian Nama Bandara Waioti
Oleh Frans Anggal
Ketua Forum Peduli atas Situasi Negara (Petasan) Maumere Siflan Angi dan anggota DPRD Sikka Simon Subandi punya usul ke Pemkab Sikka. Nama Bandara Waioti perlu diganti jadi Bandara Frans Seda. Demikian warta Flores Pos Selasa 5 Januari 2010.
Frans Seda, kelahiran Lekebai, Kabupaten Sikka, 4 Oktober 1926. Berpulang 31 Desember 2009, dalam usia 83 tahun. Ia dikenal sebagai politikus, menteri, tokoh gereja, pengamat politik, dan pengusaha nasional. Pada masa pemerintahan Soekarno, ia Menteri Perkebunan (1963-1964). Pada masa Soeharto, ia Menteri Keuangan (1966-1968) serta Menteri Perhubungan dan Pariwisata (1968-1973). Pada masa BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri, ia penasihat ekonomi.
Di bidang perhubungan, ia berjasa membuka isolasi. ”Frans berperan menyatukan Indonesia Barat dan Indonesia Timur dengan penerbangan dan pelayaran perintis,” kata Prof Emil Salim, mantan Meneg Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup 1983-1993 (Flores Pos, Senin 4 Januari 2010). Untuk NTT dan Sikka? ”Jasa Almarhum sangat besar dalam upaya peningkatan bandar udara dan pelabuhan di NTT, khususnya Bandara Waioti,” kata Simon Subandi.
Nama Frans Seda memang pantas diabadikan. Di tingkat nasioanl dia pantas, apalagi di daerah kelahirannya sendiri. Dia sangat berjasa bagi peningkatan Bandara Waoti. Maka, namanya layak diabadikan di sana. Mengabadikan nama tokoh dengan menjadikannya nama bandara bukan hal baru di dunia.
Di luar negeri, ada banyak contoh. Di Tel Aviv, Israel, ada Bandara Ben Gurion: bapak bangsa. Di Paris, Prancis, ada Bandara Charles De Gaulle: presiden ketiga. Di Taipe, Taiwan, ada Bandara Chiang Kai Shek: bapak bangsa. Di New York, Amerika Serikat, ada Bandara John F. Kennedy: presiden ke-35. Di Roma, Italia, ada Bandara Leonardo da Vinci: seniman besar.
Di dalam negeri juga begitu. Beberapa di antaranya malah merupakan nama ’babtisan’ baru, menggantikan nama awal, sebagai tanda penghormatan bagi sang tokoh. Di Jakarta, nama awal bandara internasonal itu Cengkareng, lalu diubah jadi Bandara Soekarno-Hatta: bapak bangsa. Di Kupang, nama awalnya Penfui, lalu diubah jadi El Tari: gubernur kedua NTT. Di Ruteng, nama awalnya Satar Tacik, lalu diubah jadi Frans Sales Lega: bupati kedua Manggarai.
Pengubahan nama itu ada dasarnya, tentu. Di Manggarai, misalnya, Frans Sales Lega dikenal sebagai bupati visioner, tegas, dan mampu gerakkan masyarakat. Modalnya swadaya masyarakat. Ia bukan ’bupati DAU’ atau ’bupati DAK’ seperti bupati-bupati sekarang. Ia buka isolasi wilayah. Di bidang perhubungan udara, ia gagas dan bangun Bandara Satar Tacik. Untuk mengenang dan menghormati jasanya, namanya diabdikan. Bandara Satar Tacik pun beganti nama jadi Bandara Frans Sales Lega.
Kalau seorang bupati saja bisa diabadikan namanya, kenapa tidak bagi salah seorang putra terbaik Indonesia, putra terbaik NTT, putra terbaik Flores, putra terbaik Sikka, bernama Frans Seda? ”Frans berperan menyatukan Indonesia Barat dan Indonesia Timur dengan penerbangan dan pelayaran perintis,” kata Prof Emil Salim. ”Jasa Almarhum sangat besar dalam upaya peningkatan bandar udara dan pelabuhan di NTT, khususnya Bandara Waoti,” kata Simon Subandi.
Nah. Tak ada alasan untuk tidak mengabadikan namanya. Pemkab Sikka perlu tanggapi positif usul Siflan Angi dan Simon Subandi. Mudah-mudahan dalam waktu yang tidak terlalu lama ’impian’ itu terwujud. Bandara Waioti bersalin nama menjadi Bandara Frans Seda.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 6 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar