Kumpulan Puisi Seorang Mahasiswi
Oleh Frans Anggal
Maria Santisima Gama, mahasiwi Unipa Maumere, persembahkan kumpulan puisi. Virgin, Di Manakah Perawanmu? Diterbitkan Percetakan Ledalero 10 Januai 2010, kumpulan ini berisi 19 puisi. Semuanya hasil permenungan atas berbagai ketidakadilan yang menimpa masyarakat kecil di Kabupaten Sikka. Khususnya anak-anak dan perempuan korban kekerasan seksual.
”Kumpulan puisi ini saya persembahkan untuk semua kaum muda, anak-anak, kaum perempuan, petani, masyarakat miskin, dan semua mereka yang menjadi korban ketidakadilan dalam masyarakat kita,” katanya (Flores Pos Jumat 22 Januari 2010).
Kenapa dalam menanggapi ketidakadilan, ia memilih puisi, dan bukan yang lain? Ia sendirilah yang paling pas menjawab. Meski begitu, kita berhak berpendapat. Sebab, untuk itulah puisinya diterbitkan. Dalam rabaan kita, puisi ia pilih, selain karena ia berbakat, juga karena puisi ia andalkan sebagai medium ekspresi.
”Virgin, Di manakah Perawanmu?” Ini salah satunya, sekaligus judul kumpulan puisinya. Puisi ini hasil permenungan atas berbagai kasus pemerkosaan di Sikka. Termasuk, yang menimpa seorang mahasiswi. Sebagai wanita, sang penulis lebih mudah berempati pada korban. Sebagai seniman, ia lebin intens menghayati derita korban. Juga, lebih intens melibatkan seluruh kemampuan mentalnya, lebih daripada sekadar olahpikir atau olahrasa.
Virgin ... Itulah mahkota para gadis / Tapi, Virgin sahabatku berduka / Kini meratapi aib karena ternoda / Oleh lelaki biadab bersosok drakula / Maafkan aku Virgin / Tak menemanimu kala itu / Aku tau kau merasa terpuruk / Tapi tegarlah, tatap masa depan / Bersama kita merenda asa dan cinta
Uraian psikologi korban pemerkosaan tak bisa mengalahkan kekuatan, apalagi keindahan penyampaian oleh sebuah puisi. ... meratapi aib karena ternoda, ... merasa terpuruk ..... Itulah derita korban. Puisi punya penyampaian yang unik, yang hampir tak mungkin diubah ke dalam bentuk lain atas cara yang sama indah dan sama kuatnya. Sangat boleh jadi, Maria Santisima Gama memilih puisi justru karena apa yang dipunyai puisi ini.
Semua itu bisa dianggap sebagai alasan internal. Ada pula alasan eksternal. Secara tersirat, penulis mengakuinya. Puisinya hasil permenungan terhadap berbagai ketidakadilan yang menimpa masyarakat kecil di Sikka, khususnya anak-anak dan perempuan korban kekerasan seksual. Frasa ”berbagai ketidakadilan” menunjukkan banyak dan bermacam-macamnya.
Menurut Koordinator Divisi Perempuan TRUK-F, Suster Eustochia SSpS, selama lima tahun terakhir, terjadi 822 kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak dan perempuan. Lima di antaranya libatkan pejabat publik Kabupaten Sikka. ”Saat ini, TRUK-F sementara tangani kasus pemerkosaan yang melibatkan salah satu anggota DPRD Sikka.”
Dengan 822 kasus selama lima tahun maka, dirata-ratakan, tiap tahun 164 kasus, tiap bulan 13 kasus. Hampir tiada hari tanpa kekerasan dan pelecehan seksual. Ini kengerian, menikam sukma. Mungkin inilah yang dorong Maria Santisima Gama andalkan puisi sebagai medium ekspresi. Intensitasnya menguat ketika banyak kasus mentok di tangan aparat penegak hukum. Kasus anggota DPRD, misalnya, tidak maju-maju.
Karena itu, semestinya kumpulan puisi Maria Santisima Gama tidak hanya dipersembahkan bagi korban ketidakadilan. Perlu juga bagi aparat penegak hukum. Biar mereka baca puisi. Agar halus nurani. Agar jadi peka. Bahwa, korban yang sedang mereka tangani kasusnya adalah manusia yang merasa terpuruk, yang meratapi aib karena ternoda.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 23 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar