Mobil Dinas Mewah Pejabat RI
Oleh Frans Anggal
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI Laode Ida kembalikan mobil dinas dengan alasan terlalu mewah. Ia rasa tak pantas gunakan mobil Rp1,3 miliar itu di tengah banyaknya persoalan dalam masyarakat. Menurutnya, sepantasnya pejabat cukup diberi mobil dinas Rp200 juta hingga Rp300 juta.
”Pejabat di pemerintahan Malaysia hanya menggunakan kendaraan dinas yang harganya sekitar Rp190 juta. Bahkan untuk Perdana Menteri Malaysia, kendaraan dinasnya seharga Rp200 juta,” katanya, diwartakan Flores Pos Selasa 5 Januari 2009.
Dalam era reformasi, Laode Ida orang kedua. Sebelum dia , ada Hidayat Nur Wahid, Ketua MPR 2004-2009. Ia tolak mobil dinas mewah, dengan alasan yang sama. Pertontonkan kemewahan di tengah kemiskinan masyarakat. Pamerkan pemborosan di tengah utang luar negeri yang menumpuk. Ini melanggar etika kepatutan. Paus Paulus VI dalam ensiklik Populorum Progressio menyebut fenomena seperti ini sebagai skandal.
”Ketika begitu banyak orang lapar, ketika begitu banyak keluarga menderita kemiskinan, ketika begitu banyak orang tetap tinggal dalam kebodohan, ketika begitu banyak sekolah, rumah sakit, dan rumah hunian yang layak mesti dibangun, penghamburan kekayaan baik umum maupun pribadi, seluruh perbelanjaan yang didorong oleh motif-motif kemewahan nasional atau pribadi ... merupakan satu skandal yang tidak dapat ditolerir.” (No. 53)
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan ”skandal” sebagai (1) ”perbuatan yang memalukan”, (2) ”perbuatan yang menurunkan martabat seseorang”. Urutan pengartian kamus ini kurang tepat. Kamus dahulukan arti psikologis ketimbang arti moral. Kamus dahulukan ”perbuatan yang memalukan” ketimbang ”perbuatan yang menurunkan martabat”. Padahal, sifat moral lebih penting. Sifat moral itu tetap, mutlak, umum. Sifat psikolgis berubah-ubah, nisbi, individual.
Pada pengadaan dan penggunaan mobil dinas mewah di Indonesia, skandal dalam arti pertama itu tidak pas. Salah-salah dianggap bukan skandal. Mengapa? Kalau skandal diartikan sebagai perbuatan memalukan, pertanyaan kita: memalukan siapa? Siapa yang malu? Pejabat? Justru tidak. Mereka tidak malu koq. Saraf malunya sudah putus. Yang malu cuma Hidayat Nur Wahid dan Laode Ida.
Yang tepat bagi pejabat kita adalah skandal dalam arti kedua: perbuatan yang menurunkan martabat. Pejabat yang adakan dan gunakan mobil dinas mewah di tengah kemiskinan masyarakat, di tengah utang luar negeri yang menumpuk, adalah pejabat yang tidak peka, tidak solider. Tingkatan harkat kemanusiaannya rendah. Dengan kata lain, kurang bermartabat. Ditambah dengan tidak adanya perasaan malu, mereka semakin tidak bermartabat.
Anehnya, tidak bermartabat, tapi percaya diri. Kepekaan psikologis dan kepekaan moralnya lenyap. Mungkin ini yang disebut ’penyakit kekuasaan’. Semakin berkuasa, semakin tidak sensitif. Penyair Dylan Thomas pernah ingatkan lewat puisinya yang dikagumi Presiden AS Jimmy Carter. Hands have no tears to flow. Tangan tak punya airmata yang akan mengalir.
”Bagi saya, itu berarti bahwa seorang kuat dapat bersifat tak sensitif. Terpisahnya kekuasaan dari rakyat kadang tak diketahui oleh para pemimpin yang kuat. Dan sifat tidak peka, yang memang sudah terkandung dalam tiap kekuasaan, seharusnya merupakan peringatan bagi kita,” kata Carter, dikutip Goenawan Mohamad dalam ”Catatan Pinggir” TEMPO 11 Februari 1978.
Paus Paulus VI lewat ensikliknya, Dylan Thomas lewat puisinya, telah berikan peringatan. Sayang, hanya sedikit yang punya hati untuk ’mendengarkan’. Di antaranya, Hidayat Nur Wahid dan Laode Ida. Lainnya: masuk telinga kiri, keluar telinga kanan.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 7 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar