Krisis Panti Santa Dymphma
Oleh Frans Anggal
Pengelola Panti Rehabilitasi Penyandang Cacat Santa Dymphma Warklau, Maumere, mengumumkan akan menjual rumah mereka di Jalan Gang Ujung Pandang, Kelurahan Carep, Kecamatan Lengke Rembong, Kabupaten Manggarai. Ini terpaksa dilakukan karena panti mulai kewalahan memenuhi kebutuhan anak-anak cacat yang jumlahnya makin bertambah. Kini sudah 153 orang plus 36 pengasuh.
”Selama ini, seluruh pembiayaan panti diusahakan sendiri oleh pengelola panti. Kami hampir tidak mendapat bantuan lagi dari pemerintah,” kata Kepala Panti Sr Lucia CIJ. ”Untuk memenuhi kebutuhan panti, saya terpaksa mengumumkan secara resmi kepada masyarakat Flores dan Lembata sudi kiranya membeli rumah milik panti yang berlokasi di Ruteng. Uangnya kami perlukan untuk pembiayaan makan minum anak-anak panti” (Flores Pos Senin 18 Januari 2010).
Jual rumah untuk kebutuhan makan minum. Ini tidak biasa, bahkan janggal. Kenapa tidak dikontrakkan saja? Para ’penonton’ mudah menilai seperti ini. Tapi coba bayangkan kalau situasinya begini: biaya makan minum sudah tidak ada lagi. Segala jalan sudah dicoba tapi gagal. Tegakah pengelola panti biarkan 153 anak mati kelaparan? Tidak. Maka, cara apa pun mereka tempuh. Mulai dari apa yang mereka miliki. Satu-satunya yang bisa datangkan cukup uang hanya satu: rumah di Ruteng. Rumah itu mau dijual. Terpaksa.
Ini menyedihkan. Keadaan ini seharusnya menjadi tamparan keras, terutama bagi pemerintah. UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1 mengamanatkan, fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Siapa negara di sini? Pemerintah! Ini sesuai dengan bunyi Pembukaan UUD 1945 yang secara jelas dan tegas menyuratkan tugas itu: “…Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ….”
Penyuratan tugas tersebut tidak menafikan peran komponen lain dari negara, yakni masyarakat. Namun peran masyarakat tetap berlandaskan asas subsidiaritas. Maksudnya: apa yang bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat, tidak usah ditangani oleh pemerintah. Tapi, tidak berhenti di situ. Ketika masyarakat tidak bisa melakukannya sendiri, pemerintah berkewajiban turun tangan.
Kalau asas ini sungguh-sungguh diterapkan, kasus Panti Santa Dymphma tidak perlu terjadi. Panti tidak perlu menjual rumah di Ruteng ’hanya’ untuk membiayai makan minum 153 anak cacat. Pemkab Sikka berkewajiban turun tangan. Pemkab harus merasa malu. Harus merasa tertampar. Untuk apa Pemkab Sikka ada kalau bukan untuk menjalankan amanat konstitusi tadi: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Kita jadi sedih ketika dari penuturan Suster Lucia kita tahu bahwa perhatian Pemkb Sikka ternyata sangat minim. ”Selama ini, seluruh pembiayaan panti diusahakan sendiri oleh pengelola panti. Kami hampir tidak mendapat bantuan lagi dari pemerintah.” Sungguh, ini sebuah skandal bagi Kabupaten Sikka!
Skandal ini terjadi karena Pemkab Sikka tidak melakukan apa yang merupakan kewajibannya. Yaitu: kewajiban menghormati, kewajiban melindungi, kewajiban memenuhi, dan kewajiban memajukan karya kemanusiaan yang sedang dijalankan oleh sebuah lembaga non-pemerintah.
Semestinya pemerintah bersyukur atas partisipasi masyarakat ini. Jumlah panti asuhan di seluruh Indonesia 5-8 ribu. Mengasuh sekitar setengah juta anak. Mungkin terbesar di dunia. Pemerintah sendiri hanya selenggarakan sedikit. Lebih dari 99% diselenggarakan oleh masyarakat, terutama organisasi keagamaan. Harapan kita: pemerintah harus tahu bersyukurlah!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 20 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar