30 Juni 2011

Tidur di DPRD Sikka?

Kasus Dana Bansos Sikka 2009

Oleh Frans Anggal

Menurut rencana, ribuan anggota keluarga Forum SP 2000 akan tidur di halaman kantor DPRD Sikka, Mau¬mere, selama sepekan. Aksi dimulai 1 Juli sampai dengan 6 Juli 2011, yang merupakan tenggat pengemba¬lian utang. Forum menuntut Pemkab Sikka melunasi utang pada UD Surya Putra 2000 milik Suitbertus Amandus Rp4,4 miliar dari total pinjaman Rp7,4 miliar.

"Pemkab sudah mengembalikan Rp3 miliar. Sisanya yang belum dikembalikan Rp4,4 miliar. Forum SP 2000 tetap memberi batas waktu kepada pemerintah untuk melunasi pinjaman hingga 6 Juli 2011," kata ketua Marianus Moa (Flores Pos Selasa 28 Juni 2011).

Kalau jadi, tidur di DPRD ini merupakan demo kedua Forum SP 2000. Sebelumnya, Rabu 22 Juni 2011, ribuan massa forum ini berdemo di kantor bupati dan kejari. Mereka menuntut pemkab melunasi pinjaman Rp4,4 miliar dalam batas waktu dua minggu hingga tanggal 6 Juli 2011.

Dengan aksi massa tidur di DPRD, apakah pemkab akan melunasi utang pada tanggal yang ditentukan? Boleh jadi iya. Tapi itu hanya bisa terjadi kalau pemkab, dalam hal ini bupati, mengakui utang itu utang pemkab. Ini yang justru menjadi persoalan.

Pada 2009, staf Bagian Kesra meminjam Rp7,4 miliar dari SP 2000. Dana itu digunakan sebagai dana bansos. Menurut Bupati Sosimus Mitang, pemin¬jaman itu tidak atas perintah bupati. Tidak atas persetujuan bupati. Tidak atas pengetahuan bupati.

Dengan demikian, pemkab tidak bertanggung jawab. Peminjaman itu tanggung jawab pribadi oknum pejabat Bagian Kesra. Mereka mencatut nama pemkab. Atas dasar inilah bupati melaporkan kasusnya ke kejaksaan.

Dengan posisi seperti ini, apakah pemkab akan melunasi utang SP 2000 pada 6 Juli 2011? Pasti tidak. Kalau pemkab lunasi, itu berarti pemkab mengakui utang itu sebagai utang pemkab. Dan kalau itu utang pemkab, maka melapor ke jaksaan langkah gegabah. Laporan itu harus ditarik.

Tarik kembali laporan? Itu tidak mungkin dilakukan bupati. Dasar laporannya kuat. Hasil audit BPKP Perwakilan NTT. Jaksa pun sudah mulai bekerja. Teridentifikasi, pengelolaan dana bansos Rp10,7 miliar bermasalah. Termasuk di dalamnya, dana pinjaman dari SP 2000 itu. Ada 29 kuitansi palsu. Kerugian negara Rp9 miliar. Para calon tersangka sudah ada di kantong jaksa.

Dengan ini, kita bisa pastikan apa yang akan terjadi. Meski ribuan massa Forum SP 2000 akan tidur di halaman kantor DPRD Sikka selama sepekan, pemkab tetap bergeming. Tidak akan melunasi utang yang bukan tanggung jawabnya. Lalu?

"Jika Pemkab Sikka tidak penuhi kewajiban sesuai batas waktu, maka keluarga SP 2000 akan ambil langkah selanjutnya." Begitu kata jubir Ima di hadapan pimpinan dan anggota DPRD saat membacakan tuntutan dalam demo pertama. Tampaknya, tidur di DPRD merupakan tekanan agar utang segera dilunasi. Dengan demikian, "langkah selanjutnya" tidak perlu diambil.

Apakah "langkah selanjutnya"? Entahlah. Apa pun itu, kita berharap, kiranya bukan langkah yang melanggar hukum. Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) mendorong SP 2000 membawa kasus ini ke jalur perdata di PN Maumere. Biarlah pengadilan yang memutuskan peminjaman itu tanggung jawab pemkab ataukah tanggung jawab pribadi oknum Bagian Kesra. Mudah-mudahan, itulah "langkah selanjutnya". Bukan yang lain. Apalagi yang anarkis.

”Bentara” FLORES POS, Kamis 30 Juni 2011

28 Juni 2011

Dalih Polres Manggarai

Kasus Tambang Mangan di Serise

Oleh Frans Anggal

Demonstrasi depan Polres Manggarai di Ruteng, Jumat 24 Juni 2011, berakhir ricuh. Kericuhan dipicu umpatan pendemo untuk kapolres yang tidak bersedia berdialog. Dalam aksi ini, warga pertanyakan penanganan beberapa kasus, di mana orang kecil selalu menjadi korban (Flores Pos Senin 27 Juni 2011).

Salah satu contohnya, kasus saling lapor antara perusahaan tambang mangan PT Arumbai Mangabekti dan masyarakat adat Serise, Desa Satarpunda, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur. Arumbai laporkan warga Serise menghalang-halangi aktivitas perusahaan. Serise laporkan Arumbai menyerobot lingko (tanah persekutuan) Rengge Komba.

Dalam penanganannya oleh polisi, laporan Arumbai ditanggapi segera. Sedangkan laporan Serise tidak. Atas laporan Arumbai, 4 warga Serise ditetapkan jadi tersangka dan ditahan Minggu 5 Juni 2011. Sedangkan atas laporan Serise, Arumbai belum tersentuh.

Polisi punya alasan. Lebih tepat, dalih. "Sesuai dengan dokumen dan data yang ada, aktivitas perusahaan (Arumbai) resmi dan legal. Karena, perusahaan ini mengantongi izin dari pemerintah," kata humas polres Simon Jeo. Dengan memagari lokasi tambang, keempat warga Serise menghalang-halangi kegiatan sah perusahaan.

Kegiatan sah di mana? Di lokasi lain, boleh jadi iya. Di Rengge Komba jelas tidak. Dari data yang ada. Rengge Komba milik Serise. Kepemilikannya diakui tetua persekutuan adat yang lain: tetua adat Weleng dan Satar Teu. Sebagai pemilik, Serise tidak pernah serahkan lingko itu untuk ditambang Arumbai. Maka, penambangan Arumbai di Rengge Komba tidak sah.

Karena itulah, Serise lakukan pemagaran. Oleh Arumbai, pemagaran ini dilaporkan ke polisi. Serise dinilai telah menghalang-halangai kegiatan perusahaan. Serise tidak tinggal diam. Penambangan di Rengge Komba pun dilaporkan ke polisi. Arumbai dinilai telah melakukan penyerobotan.

Di tangan polisi, hasil saling lapor ini berbeda. Laporan Arumbai ditanggapi segera. Laporan Serise tidak. Alasan polisi, Arumbai punya bukti-bukti kuat. Alasan ini menyiratkan, seolah-olah Serise tidak punya bukti-bukti kuat. Bahkan, mungkin, tidak punya bukti sama sekali. Benarkah itu?

Bisa benar, kalau yang dimaksudkan dengan bukti hanyalah dokumen. Rengge Komba itu tanah ulayat. Kebanyakan tanah ulayat tidak didaftarkan. Tidak terdokumentasi. Dengan demikian, sebagian besarnya tidak memiliki "dokumen" kepemilikan. Tapi bukan berarti tidak punya "bukti" kepemilikan. Sebab, bukti bisa berupa apa saja. Dokumen bukan satu-satunya (barang) bukti.

Pada tanah ulayat, benda yang ada di atasnya bisa menjadi tanda bukti kepemilikan. Mungkin berupa (bekas) pekuburan, (bekas) perkampungan, tanaman berumur panjang, dll. Dan ini biasanya diperkuat oleh testimoni para tetua adat, baik dari persekutuan adat bersangkutan maupun dari persekutuan adat yang lain.

Tentang kepemilikan Serise atas Rengge Komba, tetua adat Weleng dan Satar Teu telah bersaksi. Dalam pertemuan yang difasilitasi kapolres di mapolres di Ruteng beberapa waktu lalu, testimoni mereka menegaskan: Rengge Komba milik Serise. Kesaksian mereka memperkuat bukti kepemilikan.

Anehnya, di mata polisi, semua bukti dari Serise dianggap seakan bukan bukti. Dari argumentasi yang dibangun polisi selama ini, terkesan hanya dokumenlah yang dianggap sebagai bukti. Lainnya tidak. Ini pembatas¬an yang picik. Tampaknya, sengaja dilakukan. Bukan karena bodoh. Tapi karena "pintar". Agar Serise mati langkah. Sedangkan Arumbai jalan terus.

”Bentara” FLORES POS, Selasa 28 Juni 2011

27 Juni 2011

Duh, Perempuan!

Konstruksi Sosial yang Tidak Adil

Oleh Frans Anggal

Perempuan di NTT tidak hanya memiliki peran inti reproduktif: mengandung dan melahiran anak; tapi juga peran inti produktif: mencari nafkah bagi keluarga. Tidak hanya dalam jumlah, tapi juga dalam peran sebagai tulang punggung keluarga, wanita di NTT lebih daripada laki-laki.

Demikian kata Profesor Mien Ratu Uju, Ketua Lemlit Universitas Nusa Cendan (Undana) Kupang, di hadapan peserta Bimtek Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Manggarai Timur, di Kisol, Kamis 23 Juni 2011. "Perempuan di NTT berperan jauh lebih besar daripada kaum laki-laki dalam usaha ekonomis produktif," katanya (Flores Pos Sabtu 25 Juni 2011).

Hasil penelitian Undana tiga tahu lalu di Bena, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), meneguhkan kebenaran itu. Hampir seluruh kegiatan ekonomi rumah tangga didominasi oleh perempuan. Karenanya, tepatlah, perempuan di NTT adalah pencari nafkah. Bukan hanya laki-laki.

Penelitian itu menyingkapkan, semua urusan kerja kebun, bersih rumput, timba air, menanam, memetik hasil, memikul hasil, menumbuk, memasak sampai menyajikan makanan dan minuman merupakan urusan perempuan. Kerja pagar juga ada keterlibatan perempuan. Hanya jaga babi hutan saja yang murni dilakukan oleh kaum laki-laki.

Dalam hal jumlah jam kerja. Jam kerja perempuan lebih banyak daripada jam kerja laki-laki. "Perem¬puan kerja 12 sampai 14 jam sehari, sedangkan laki-laki sekitar 7 sampai 8 jam. Dari penggunaan jam kerja ini saja dapat dilihat betapa perempuan di NTT memikul beban yang amat berat dalam urusan kerja dan ekonomi rumah tangga," kata Ratu Uju.

Berbeban berat dalam ketidakadilan, tapi tak mudah berputus asa. Ini hal lain dari perempuan di NTT. Sejauh diwartakan Flores Pos, kebanyakan korban bunuh diri di Flores adalah laki-laki. Mereka mengakhiri hidup karena tidak tahan menanggung derita. Perempuan lebih ulet dan lebih tabah.

Ini, tentu, tidak bisa dijadikan pembenaran bagi boleh tetap berlangsungnya ketidakadilan dalam rumah tangga itu tadi. Ketidakadilan tsb bukanlah akibat dari keberadaan perempuan sebagai perempuan. Jenis dan jumlah pekerjaan, lamamya jam bekerja, beratnya beban kerja antara perempuan dan laki-laki, tidaklah kodrati. Itu buatan manusia. Konstruksi sosial budaya.

Karena tidak kodrati alias bersifat gender belaka, semua itu bisa diubah. Dan, karena tidak adil, semua itu perlu diubah. Sayangnya, di tengah upaya itu, negara justru mengukuhkan konstruksi sosial yang tidak adil di ranah yang lain. Contoh, UU Pornografi.

Secara retoris UU ini tampil sebagai "pahlawan pembela perempuan". Tapi sesungguhnya, ideologi di belakangnya adalah misoginisme religis. Yaitu kebencian terhadap tubuh perempuan atas dasar politik moral agama. Inilah patriarkisme religis yang memanfaatkan negara untuk mencapai dominasi politik dan totalitarianisme nilai. Kebencian pada tubuh adalah paranoid kebudayaan yang berasal dari rezim patriarkis pada awal peradaban manusia, yang terus bertahan melalui institusi agama, mitos, dan hukum (Konstelasi, Edisi 21, Desember 2008).

Oleh UU ini, tubuh perempuan dijadikan wilayah politik negara. Dijadikan lokasi operasi moralitas agama. Dijadikan objek kriminal negara. Dari penjara moral, tubuh perempuan dikirim ke penjara kriminal. Dari ketidakadilan yang satu, mereka dijebloskan ke ketidakadilan yang lain. Duh, perempuan!

”Bentara” FLORES POS, Senin 27 Juni 2011

25 Juni 2011

Demo Para “Debt Collector”

Kasus Dana Bansos Sikka 2009

Oleh Frans Anggal

Anggota Pansus DPRD Sikka Ambros Dan berada di tengah massa Forum Keluarga SP 2000 yang sedang berdemo di kantor bupati dan kejari di Maumere, Rabu 22 Juni 2011. Massa menuntut pemkab kembalikan pinjaman dari SP 2000 milik Amandus Suitbertus senilai Rp4,4 miliar. Kehadiran Ambros Dan dinilai negatif oleh Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestianus.

Menurut Petrus Selestianus, tindakan anggota pansus ini merendahkan martabat anggota dan lembaga DPRD. "Bagaimana seorang anggota dewan secara demonstratif bisa berperilaku sebagai debt collector, tukang tagih utang, memimpin massa untuk menagih utang, di mana utangnya berbau korupsi, dan perkaranya sedang dalam penyelidikan di Kejari Maumere" (Flores Pos Jumat 24 Juni 2011).

Pada 2009, staf Bagian Kesra meminjam Rp7,4 miliar dari SP 2000. Dana itu digunakan sebagai dana bansos. Yang sudah dikembalikan, Rp3 miliar. Sisa, Rp4,4 miliar. Belakangan teridentifikasi, pengelolaan dana bansos Rp10,7 miliar bermasalah. Ada 29 kuitansi palsu. Kerugian negara mencapai Rp9 miliar.

Selain diproses secara hukum oleh kejari, kasus ini ditangani secara politik oleh DPRD. DPRD membentuk pansus. Ambros Dan salah satu anggotanya. Kini kedua lembaga itu sedang bekerja. Pansus belum menghasilkan rekomendasi akhir. Kejari pun belum menetapkan tersangka. Di tengah ke-belum-an ini, muncul demo tagih utang.

Utang itu utang satu orang. Tapi yang datang demo ribuan orang. Mereka ramai-ramai tagih utang dari satu orang itu. Dan, ramai-ramai tagih utang demi satu orang itu. Jelas sekali, mereka memerankan diri sebagai penagih utang. Debt collector. Maka, demo mereka adalah demo para debt collector.

Di antara ribuan debt collector itu, terseliplah Ambros Dan. Untuk apa anggota pansus ini hadir di sana? Menurut keterangannya sendiri, dia hadir untuk memantau perkembangan aksi dan merekam aspirasi. Ini ia lakukan demi kepentingan pansus yang sedang berjalan. Keterangannya diteguhan oleh Ketua Pansus Lando Mekeng dan Wakil Ketua Badan Kehormatan DPRD Paulus Nong Susar.

Kalau demikian ceritanya maka tidak ada soal, bukan? Ambros Dan tidak sedang merendahkan martabat anggota dan lembaga DPRD. Sebaliknya, tindakannya terpuji. Ia memantau dan manjaring aspirasi demi kepentingan kerja pansus.

Itu kalau benar begitu. Sesuatu yang sangat berbeda dengan pernyataan Petrus Selestianus. Pengacara ini jelas tegas menyatakan, Ambros Dan memimpin massa menagih utang. Jadi, bukan memantau. Dan itu dilakukannya secara demonstratif.

Hmmm. Kita mau percaya yang mana? Dalam laporannya, wartawan Flores Pos Wall Abulat hanya menyebutkan, "Ambros Dan terlihat di tengah kerumunan massa." Tidak diinformasikan lebih lanjut, apa yang dilakukannya di tengah kerumunan itu. Apakah dia hanya memantau dan mendengarkan? Ataukah justru menggerakkan?

Kalau benar hanya memantau dan mendengarkan, kenapa dia harus berada di tengah kerumunan? Tidak di pinggir atau di luarnya? Bukankah lebih tampan berada di luar, mengambil jarak tertentu, sehingga lebih mudah memantau situasi?

"Tolong, jangan sibuk soal kehadiran saya," katanya. "Mari kita sibuk pikirkan jalan keluar untuk atasi Sikka yang sedang sekarat ini." Sibuk boleh sibuk. Asalkan sibuk yang proporsional. Sibuk yang tepat tempat, tepat waktu, tepat tindakan.

”Bentara” FLORES POS, Sabtu 25 Juni 2011

24 Juni 2011

Kenapa Romo Menangis?

Penggelembungan Dana Bansos Sikka 2009

Oleh Frans Anggal

Uji petik lapangan Pansus DPRD Sikka terhadap penyaluran dana bansos 2009 yang dikelola Bagian Kesra menemukan banyak kejanggalan. Di antaranya, penandatanganan kuitansi kosong oleh penerima bantuan dan penggelembungan harga barang oleh pengelola. Demikian ungkap anggota pansus Ambros Dan pada tatap muka dengan Tim Penyelamat Uang Rakyat Sikka, di Maumere, Minggu 19 Juni 2011 (Flores Pos Kamis 23 Juni 2011).

Tentang tanda tangan kuitansi kosong. "Ada bantuan pembangunan gereja untuk salah satu paroki, yang diterima salah seorang romo, bernilai Rp100 juta. Namun dalam kuitansi, yang dibuat oleh salah seorang pejabat di Bagian Kesra, tercantum angka uang Rp300 juta," tutur Ambros Dan.

Bagaimana itu bisa terjadi? "Romo dipaksa menandatangani kuitansi kosong. Kemudian pada kuitansi itu dicantumkan nilai uangnya oleh pejabat Bagian Kesra, Rp300 juta. Setelah mendengar hal itu, romo menangis. Karena, perbedaan sangat besar antara nilai uang yang diterima dan yang tertera dalam kuitansi."

Tentang penggelembungan harga barang, Ambros Dan sebut sebuah contoh. "Bantuan genzet di Watu¬blapi. Harga barang itu seharusnya sekitar Rp3-5 juta, tapi dalam kuitansi tertulis Rp25 juta."

Modus pada kedua kasus itu sama. Mark up. Penggelembungan dana. Modus ini lekat dengan corak korupsi. Jamak dilakukan aparatur negara yang korup. Sedemikian lazimnya praktik ini membuat orang-orang jujur pun terpaksa, mau tidak mau, ikut terlibat. Sebab, dengan mark up, urusan jadi lancar. Karena, si pengelola dana pun turut mendapat bagian. Malah dalam jumlah yang berlipat-lipat.

Pada bantuan pembangunan gereja, si pengelola dana bansos mendapat bagian dua kali lipat. Sedangkan pada pengadaan genzet, si pengelola dana mendapat bagian empat hingga tujuh kali lipat. Ini gila. Pebedaannya langit dan bumi. Menurut Ambros Dan, inilah yang membuat romo menangis.

Yang benar saja, ah! Mudah-mudahan Ambros Dan keliru menangkap atau menyimpulkan pernyataan si romo. Kata dia, "Romo menangis, karena perbedaan sangat besar antara nilai uang yang diterima dan yang tertera dalam kuitansi." Pertanyaan kita: kalau perbedaannya kecil, bagaimana? Apakah si romo tidak menangis? Apakah si romo tersenyum menerima uang negara melalui cara yang lekat dengan corak korupsi?

Mudah-mudahan Ambros Dan keliru. Kita berharap, si romo menangis hanya karena merasa telah ditipu oleh si pengelola dana bansos. Artinya, ia tidak tahu adanya modus mark up dalam pemaksaan penandatanganan kuitansi kosong itu. Ia lugu dan beranggapan baik saja pada si pengelola dana. Ketika Rp100 juta dicairkan, ia tersenyum. Namun, setelah tahu bahwa yang kemudian dicantumkan pada kuitansi kosong itu ternyata Rp300 juta, bukan Rp100 juta, ia pun menangis.

Mudah-mudahan seperti itulah yang terjadi. Si romo menangis hanya karena merasa telah ditipu oleh si pengelola dana bansos, melalui sebuah pemaksaan penandatanganan kuitansi kosong, yang ternyata hanya merupakan cara si pengelola dana bansos melakukan mark up.

Kalau benar seperti itu, sudah barang tentu si romo bisa melaporkan si pengelola dana ke polisi. Selanjutnya, bagi yang lain, khususnya kalangan gereja, ini pelajaran sangat berharga. Berhati-hati dan cermatlah dalam menerima dan menggunakan setiap bantuan yang bersumber dari keuangan negara.

”Bentara” FLORES POS, Jumat 24 Juni 2011

23 Juni 2011

Ada Apa Bupati Lembata?

Penahanan Pencairan Dana Pemilukada 2011

Oleh Frans Anggal

DPRD Lembata akan memanggil Bupati Andreas Duli Manuk guna menghadiri rapat kerja. Bupati Manuk menahan pencairan dana tahap II pemilukada putaran pertama dan dana pemilukada putaran kedua. Pemilukada putaran kedua pun tarancam gagal dilaksanakan sesuai dengan jadwal, 4 Juli 2011 (Flores Pos Rabu 22 Juni 2011).

Sejauh diberitakan media massa, ada dua alasan pokok sikap Bupati Manuk. Pada kasus dana tahap II pemilukada putaran pertama, pencairannya ia tahan dengan alasan: KPU Lembata belum melaporkan penggunaan dana tahap I. Aturan mempersyaratkan adanya laporan itu.

KPU Lembata sudah membuat laporan dimaksud, meski terlambat. Dengan demikian, persyaratan pencairan dana tahap II pemilukada putaran pertama sudah dipenuhi. Maka, sudah semestinya, dana dimaksud segera dicairkan. Namun, itu tidak dilakukan bupati.

Pada kasus dana pemilukada putaran kedua, pencairannya ditahan bupati dengan alasan: ada gugatan hukum dari pasangan bakal calon tertentu. Gugataan itu berkenaan dengan keputusan KPU Lembata yang menggugurkan tiga pasangan bakal calon. Putusan dari Mahkamah Konstitusi sedang ditunggu.

Alasan gugatan dan proses hukum ini dikritik Ketua DPRD NTT Ibrahim Agustinus Medah. Proses hukum dan pencairan dana itu dua hal berbeda. Proses hukum urusan judikatif. Pencairan dana urusan eksekutif. Jangan persyaratkan tuntasnya proses hukum bagi pencairan dana. Sebab, jika proses hukum bertele-tele, penundaan pemilukada pun bertele-tele. Ini merugikan masyarakat yang sudah nantikan pemimpn baru.

Cukup jelas, pada kasus ini, alasan penahanan pencairan dana yang dikemukakan bupati sangatlah rapuh. Pada kasus pertama, yakni kasus dana tahap II pemilukada putaran pertama, bupati bahkan telah kehilangan alasan itu sendiri. Sebab, apa yang merupakan alasannya, yakni laporan penggunaan dana tahap I yang dipersyatatkan oleh aturan, telah dipenuhi oleh KPUD Lembata.

Pada kasus kedua, yakni kasus dana pemilukada putaran kedua, alasannya tidak relevan. Ia mengait-ngaitkan pencairan dana pemilukada putaran kedua dengan gugatan dan proses hukum pasangan bakal calon. Artinya apa? Ia menyangkut-pautkan urusannya dengan apa yang bukan urusannya.

Yang berpekara dalam kasus yang bukan urusannya ini pun bukan dirinya. Tapi pasangan bakal calon dan KPU. Ini bedanya dengan kasus pertama. Pada kasus pertama, bupati dan KPU berada dalam hubungan transaksional. Karenanya, alasan bupati tidak cairkan dana tahap II pemilukada putaran pertama lantaran KPU belum laporkan penggunaan dana tahap I sangat rasional. Walaupun kemudian menjadi tidak rasional lagi ketika pencairan dana tetap ditahannya meski laporan telah dibuat KPU.

Tampaknya, rapuhnya alasan bupati ini turut mendorong Gubernur NTT Frans Lebu Raya melayangkan surat. Gubenur mendesak bupati segera mencairkan dana pemilukada. Namun bupati tetap begeming dengan sikapnya. Dana pemilukada tetap tidak ia cairkan.

Kita bertanya-tanya, ada apa dengan bupati? Apakah karena pasangan bakal calon jagoannya, yang notabene akan melindungi kepentingannya nanti, ikut digugurkan oleh KPU? Ini dugaan paling rasional di tengah irasionalitasnya. Kalau dugaan ini dinilai salah, lalu apa alasan rasionalnya menyangkut-pautkan gugatan dan proses hukum para pasangan bakal calon dengan pencairan dana pemilukada putaran kedua? Penyangkutpautan itu sendiri tidak relevan. Selain, tentu, merugikan masyarakat. Bukankah begitu?

”Bentara” FLORES POS, Kamis 23 Juni 2011

22 Juni 2011

UN: Mujur & Pintar-Pintar

Kejahatan Institusional Dunia Pendidikan

Oleh Frans Anggal

Hasil ujian nasional (UN) SD 2011 sungguh luar biasa. Sama luar biasanya dengan hasil UN SMP dan SMA. Banyak sekolah lulus 100 persen. Di DKI Jakarta, misalnya, semua murid SD negeri dan swasta dinyatakan lulus. Di Provinsi NTT, tidak kalah hebat. Di Kabupaten Ende, kelulusan SD-nya 99,87 persen. Jauh di atas pencapaian tahun sebelumnya.

Apakah ini menunjukkan mutu sekolah membaik? Iya, kalau kriteria kelulusannya tidak berubah dan penyelenggaraan UN-nya jujur. De facto, kriteria kelulusan tahun ini lebih lunak. Nilai ujian sekolah ikut menentukan: 40 persen. Sedangan nilai ujian nasionalnya "hanya" 60% persen. Yang 40 persen itu peluang sekolah. Termasuk, peluang untuk tidak jujur.

Pada kabupaten tertentu di NTT, peluang 40 persen itu benar-benar dimanfaatkan. Ada sekolah yang sampai mengganti rapor dan buku induk. Nilai-nilai siswa dinaikkan. Sedemikian rupa, sehingga siswa yang mendapat nilai satu bahkan nol koma sekian saat UN tetap bisa lulus. Sedemikian rupa pula, sehingga sekolah yang tahun lalu nol persen kini bisa meraih kelulusan seratus persen.

Manipulasi data. Itulah salah satu kejahatan UN tahun ini. Dan kejahatan ini kejahatan institusional. Dilakukan oleh institusi, dalam hal ini sekolah. Mungkin juga atas sepengetahuan atau restu bahkan arahan kadis pendidikan. Tentu setelah mendapat petunjuk seperlunya dari bupati atau walikota. Sebab, UN tidak semata soal pendidikan. Ini soal politik juga. Politik pencitraan si bupati.

Tidak semua petinggi daerah seperti ini, tentu. Salah satunya, Don Bosco M Wangge, bupati Ende. "Dibayar berapa miliar pun, saya tidak akan mau," tandasnya ketika menyampaikan sambutan pada pengumuman kelulusan SDK Santa Ursula Ende, Senin 21 Juni 2011. Ia berbicara dalam kapasitas sebagai ketua komite dan wakil orangtua/wali murid.

Bupati Ende ini menekankan pentingnya kejujuran, selain kerja keras. Berapa pun hasil UN, ia tetap bangga, kalau hasil itu buah dari usaha yang serius dan jujur. Buah dari usaha seperti ini pastilah bermutu. Non multa, sed multum, kata pepatah Latin. Bukan jumlah, tapi mutu. Buah seperti inilah yang dihasilkan beberapa sekolah di Kabupaten Ende. Satu di antaranya, SDK Santa Ursula. Sekolah ini meraih kelulusan 100 persen. Hasil kerja keras dan kerja jujur.

Kita mendukung sikap bupati seperti ini. Yang menjadi tantangan, apakah barisan di bawahnya juga seperti dia? Kadisnya boleh jadi taati bupatinya. Tapi para kepala sekolah? Ketua yayasan? Bukankah masih banyak yang berorientasi sebaliknya? Non multum, sed multa. Bukan mutu, tapi jumlah. Mau diapakan?

Kita menyarankan tindakan praktis. Pertama-tama untuk mengukur kadar kejujuran sekolah, sebelum memikirkan langkah selanjutnya. Salah satunya melalui perbandingan antara nilai UN dan nilai sekolah. Perbedaan yang sangat jauh cukup jelas mengindikasikan adanya kecurangan. Bila banyak sekolah memiliki data seperti ini, patut dapat diduga mereka telah melakukan kejahatan.

Itu berarti, jauh panggang dari api. Jauh sikap sekolah dari sikap bupati. Bupati menekankan pentingnya "jujur". Sekolah masih menekanakan pentingnya "mujur". Bupati menekankan pentingnya "pintar". Sekolah masih menekankan pentingnya "pintar-pintar". Di mata bupati, penentuan kelulusan itu persoalan etis dan akademis: jujur dan pintar. Di mata sekolah, penentuan kelulusan itu persolaan teknis semata-mata: mujur dan pintar-pintar.

Terhadap sekolah seperti ini, apa langkah pemerintah? Perlu tindakan tegas. Dan itu hanya mungkin kalau pemerintah juga (mau) jujur. Hanya sapu bersih yang bisa membersihkan lantai kotor.

”Bentara” FLORES POS, Rabu 22 Juni 2011

09 Juni 2011

Lembata Pilih Kepala Suku?

Isu SARA Putaran Kedua Pemilukada

Oleh Frans Anggal

Jelang pencoblosan putaran kedua pemilukada Lembata, beredar selebaran berbau SARA. Persoalkan etnis Cina pada diri paket Lem¬bata Baru: Eliaser Yentji Sunur dan Viktor Mado Watun. Selebaran itu dari dua forum: Aliansi Masyarakat Pribumi Menggu-gat (Sikat) dan Gerakan Pemuda Selamatkan Lem¬bata (Germa). Penanggung jawab dan alamatnya tidak dicantumkan (Flores Pos Senin 6 Juni 2011).

"Jangan berikan pendidikan politik yang keliru kepada masyarakat. Jangan provokasi masyarakat dengan isu SARA. Kita minta aparat kepolisian dan TNI melacak selebaran tersebut," kata Pius Namang, ketua tim keluarga Lembata Baru.

Selebaran ini semakin menjauhkan pemilukada Lembata dari harapan menjadi pemilukada teladan. Apanya yang mau diteladani? Sejak awal, pemilukadanya sudah kisruh. Para kandidat baku sikat baku sikut. Masyarakat bawah lebih menjadi supporter (pendukung) ketimbang voter (pemilih). Maka, ketika berdemo ke KPU, mereka jadi bonek. Serbu dan hancurkan. Ketua KPU pun undurkan diri.

Semua kekisruhan itu terlewati ketika hari-H putaran pertama tiba. Dari 6 paket putaran pertama, tersisa 2 paket putaran kedua. Paket Titen (Herman Loli Wutun-Viktus Murin) dan Lembata Baru (Eliaser Yentji Sunur-Viktor Mado Watun). Mereka harus bertarung hingga pencoblosan 4 Juli 2011. Menyongsong hari-H itu, kekisruhan lain pun datang. Selebaran berbau SARA.

Siapa yang adakan dan edarkan selebaran itu? Kalau mau diusut, gampang. Lembata itu kabupaten pulau, kecil pula, dan relatif homogen masyarakatnya. Pada masyarakat seperti ini, tembok-tembok bertelinga juga. Batuk di sini cepat terdengar di sana. Rahasia sekelompk orang terbatas mudah menjadi rahasia umum masyarakat luas.

Forum Sikat dan Germa, ada atau tidak, orang-orangnya pastilah orang-orang tersesat. Mereka salah masuk arena. Gelanggang pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) dikiranya gelanggang pemilihan umum kepala suku (pemilukaku).

Boleh jadi juga, mereka tidak sedang salah ki¬ra. Tapi sengaja memperlakukan calon kepala daerah sebagai calon kepala suku. Dengan pertimbangan, si calon kepala daerah adalah juga calon kepala saku. Sehingga nanti, kalau dia sudah jadi bupati, orang-orang ini tinggal suka-suka mainkan suku, demi terpenuhinya kebutuhan saku.

Dengan kata lain, ketergantungan pada uanglah yang menerangkan ada dan beredarnya selebaran SARA itu. Tampaknya, isu SARA diyakini efektif untuk mengegolkan tujun. Yakni, mengalahkan kandidat tertentu, demi memenangkan kandidat lain.

Karena isu SARA-lah mainannya, maka cara wawas masyarakat terhadap para kandidat pun perlu diubahsesuaikan dengannya. Agar klop. Maka, yang dilihat pada diri kandidat adalah keturunannya, bukan kewargaannya; kepri¬bumiannya, bukan kepribadiannya; kulitnya (kuning atau hitam), bukan hatinya (bening atau keruh); rambutnya (lurus atau keriting), bukan otaknya (cerdas atau tolol).

Akankah masyarakat Lembata mudah terpengaruh oleh cara seperti ini? Mudah-mudahan tidak. Namun, berharap saja tidaklah cukup. Perlu ada usaha. Pelbagai elemen civil society di Lembata perlu lakukan perlawanan. Dengan cara memberikan pencerahan kepada masyarakat. Intinya, pemilukada itu pilih kepala daerah, bukan pilih kepala suku. Maka, lihatlah kewargaannya, bukan keturunannya; kepribadiannya, bukan kepribumiannya; hatinya, bukan kulitnya; otaknya, bukan rambutnya.

”Bentara” FLORES POS, Rabu 8 Juni 2011

07 Juni 2011

Skandal Plester RSUD Maumere

Tindakan Konyol Penanganan Persalinan

Oleh Frans Anggal

Bidan di RSUD Maumere memplester mulut ibu yang sedang melahirkan. Ini ia lakukan, karena ibu itu berteriak, sehingga mengganggu pasien lain. Pemlesteran ternyata menyulitkan pernapasan sang ibu. Ia tidak leluasa memperlancar persalinan. Anaknya kemudian lahir, tapi sudah tidak bernyawa (Flores Pos Senin 6 Juni 2011).

Natalia Nonce masuk RSUD Maumere pada Minggu 29 Mei 2011. Kondisinya sudah menunjukkan tanda-tanda melahirkan. Selama di RSUD, ia merasa sangat kesakitan. Sehingga, terkadang ia berteriak agak keras. "Karena saya berteriak, maka salah seorang petugas mengambil isolasi lalu ditempelkan ke mulut saya. Mulut saya diisolasi dua kali sehingga saya tidak bisa bicara dan teriak."

Sebelum mulutnya diplester petugas, Natalia Nonce sudah merasakan ada gerakan bayi dalam rahimnya. "Namun, saya tidak bisa berdaya saat berjuang untuk menyelamatkan anak saya itu, karena mulut saya diisolasi oleh petugas."

Ada dua pertanyaan penting di sini. Pertama, apakah pemlesteran mulut ibu melahirkan, dengan tujuan agar si ibu tidak berteriak, sehingga tidak menggangu pasien lain, dapat dibenarkan? Kedua, apakah pemlesteran mulut ibu itulah yang menyebabkan bayi yang dilahirkannya tidak selamat?

Jawaban atas pertanyan pertama tidak sulit. Ilmu kebidanan mana pun tidak membenarkan cara itu. Memplester mulut berarti menutup salah satu saluran pernapasan. Dengannya, keleluasaan berna¬pas dihalangi. Dan ini menyulitkan persalinan. Persalinan yang baik mengharuskan pernapasan yang baik pula.

Persalinan normal tanpa teriak-teriak, itu ideal. Sebab, teriak bisa membuyarkan konsentrasi sang ibu. Juga menguras energinya. Selain, tentu, mengganggu kenyamanan pasien lain. Namun, ibu tipe ideal seperti itu tidak banyak. Maka, sikap realistis diperlukan. Kalau tidak bisa tidak teriak, terimalah teriak itu sebagai bagian dari persalinan.

Bagi kebanyakan ibu, persalin itu pertarungan hidup dan mati. Tidak hanya karena bersalin itu rawan kefatalan. Tapi juga karena sakitnya tidak terperikan. Menjelaskannya, sulit. Merasakannya, apalagi. Tidak sedikit ibu yang, tidak mampu mena¬han sakit bersalin, menyatakan maunya mati saja.

Dalam keadaan seperti ini, mangaduh, menjerit, berteriak harus dipandang sebagai reaksi yang wajar. Kalau ini dirasa menganggu pasien lain, dan si ibu tetap tidak bisa didiamkan meski telah diminta berkali-kali, bukankah tidak ada yang lebih realistis dan manusiawi daripada menerima saja teriak itu sebagai bagian dari persalinan?

Yang terjadi di RSUD Maumere, tidak begitu. Diminta diam tidak bisa, si ibu pun dikerasi. Untuk tidak mengatakan disiksa secara fisik. Mulutnya diplester pakai plakban. Hasilnya memang efektif. Si ibu tidak bisa berteriak lagi. Dengan demikian, telinga bidan dan pasien lain tidak terganggu lagi. Mereka merasa nyaman. Namun, si ibu semakin menderita. Ia sulit bernapas.

Apakah karena masalah itu si bayi akhirnya dilahirkan tidak selamat? Menjawab pertanyaan ini tidaklah mudah. Perlu pengecekan cermat. Guna memastikan, apakah ada hubungan sebab akibat, langsung atau tidak langsung, antara pemlesteran mulut si ibu dan kematian si bayi. Ada atau tidaknya hubungan itu akan menentukan bobot kesalahan si bidan. Daripadanya akan ditetapkan sanksi yang layak dan patut baginya.

Apa pun hasil pengecekan itu nantinya, RSUD Maumere perlu tetap berbenah. Skandal plester itu tidak perlu terjadi. Menghina akal sehat. Konyol.

”Bentara” FLORES POS, Selasa 7 Juni 2011

06 Juni 2011

NTT Tanpa Gubernur?

Masalah Tapal Batas Matim dan Ngada

Oleh Frans Anggal

Gubernur NTT didesak agar tidak menunda-nunda penyelesaian batas wilayah Kabupaten Manggarai Timur dan Ngada. Panasnya situasi di perbatasan, dengan pelbagai tindak provokasi oleh sekelompok warga, harus segera disikapi agar tidak menjadi bom waktu. Desakan ini disampaikan tokoh masyarakat perbatasan Her Tojong (Flores Pos Sabtu 4 Juni 2011).

Ini bukan desakan pertama. Desakan serupa telah disampaikan banyak pihak. Berkali-kali. Baik langsung maupun tidak langsung. Terbaru, desakan oleh 3 bupati, ketua DPRD, dan tokoh masyarakat Manggarai Raya, mencakup Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat (Mabar), dan Manggarai Timur (Matim). Desakan itu hasil rapat koordinasi di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, Sabtu 28 Mei 2011 (Flores Pos Selasa 31 Mei dan Jumat 3 Juni 2011).

Mereka mendesak mendagri dan gubernur NTT segera selesaikan penegasan batas wilayah antara Kabupaten Matim dan Ngada di Wae Bakit, Desa Sangan Kalo, Kecamatan Elar, Kabupaten Matim. Selesaikan sesuai dengan tahapan yang diatur dalam Permendagri Nomor 1 Tahun 2006 tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah.

Dalam surat pernyataan sikapnya, ketiga bupati menegaskan, batas wilayah antara Kabupaten Manggarai sebelum pemekaran atau Manggarai Timur setelah pemekaran dengan Kabupateh Ngada sudah final. Mereka sebut tiga dokumen. Historis, berupa peta tahun 1916 dan 1918. Yuridis, berupa SK Gubernur NTT Nomor 22 Tahun 1973. Politis, berupa kesepakatan tahun 1973 di Aimere.

Akankah Gubernur Frans Lebu Raya segera tergerak oleh pernyataan sikap ini? Kemungkinan besar tidak. Tidak ada preseden yang menunjukkan ia cekatan. Situasi di wilayah perbatasan sudah mengerikan. Dan itu sudah berlangsung setahun lebih. Wilayah itu diblokir sekelompok warga. Diblokir pada titik semau gue para pemblokir. Jalan raya dipagari, juga dilubangi jadi parit. Bersamaan dengan pematokan tapal batas baru sesuka hati, pilar tapal batas lama dihancurkan. Jembatan dirusakkan.

Apa yang dilakukan Gubernur Lebu Raya? Tidak jelas! Untuk tidak mengatakan tidak ada. Katanya, dalam menyelesaikan masalah ini, ia gunakan pende¬katan kesehatian. Okelah, pendekatan kesehatian. Tapi koq sepertinya tidak punya hati. Selama setahun lebih kekacauan di tapal batas, ia tidak pernah ke sana. Padahal, ini kewenangan dan tanggung jawabnya.

Akhir Mei 2011, situasi di perbatasan makin mema¬nas. Beredar rumor, sekelompok warga mau tancapkan pilar induk, lalu bangun gapura di Wae Bakit. Maka, Sabtu 21 Mei 2011, tim Pemkab Matim ke sana. Bupati Matim Yoseph Tote dan Bupati Ngada Marianus Sae lakukan pertemuan. Sayang, tak ada titik temu. Kelanjut-annya, tiga bupati Manggarai Raya bertemu di Ruteng.

Dalam situasi ini, di mana Gubernur Lebu Raya? Dia tidak muncul. Dia malah muncul di tempat lain, yang urgensitas kehadirannya lebih rendah. Ia ke Bajawa, untuk resmikan gedung koperasi kredit. Lalu ke Ende, juga untuk resmikan gedung koperasi kredit. Kemudian ke Ruteng, untuk tinjau proyek PLTP Ulumbu.

Kalau benar dia punya hati dan serius dengan pendekatan kesehatian, kenapa dia absen pada saat kehadirannya sangat dibutuhkan? Kenapa dia tidak mampir di perbatasan, yang penyelesaian masalahnya merupakan kewenangan dan tanggung jawabnya?

Apa pun alasannya, kesannya sama. NTT sepertinya tidak punya gubernur. Kalaupun punya, sepertinya bupatilah gubernurnya. Sebab, bupatilah yang sibuk urus kasus tapal batas kabupaten. Apakah ini menunjukkan NTT tidak butuhkan gubernur? Ataukah butuh, tapi orangnya harus diganti?

”Bentara” FLORES POS, Senin 6 Juni 2011

05 Juni 2011

Temu 3 Bupati di Ruteng

Masalah Tapal Batas Matim dan Ngada

Oleh Frans Anggal

Tiga bupati di Manggarai Raya bertemu di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, Sabtu 28 Mei 2011. Mereka: Bupati Manggarai Chris Rotok, Bupati Manggarai Barat (Mabar) Agus Ch Dula, dan Bupati Manggarai Timur (Matim) Yoseph Tote. Mereka bahas masalah perbatasan Kabupaten Matim dan Ngada di Wae Bakit, Desa Sangan Kalo, Kecamatan Elar, Kabupaten Matim (Flores Pos Selasa 31 Mei 2011).

"Kita perlu duduk bersama untuk menyelesaikan persoalan perbatasan antara wilayah Manggarai Timur dan Ngada yang belakangan terus memanas. Apa yang ada dalam dokumen dan sejarah batas wilayah Manggarai sebelum dimekarkan tidak bisa diubah dalam sekejap," kata Bupati Chris Rotok.

Tapal batas memanas. Beredar rumor, sekelompok masyarakat mau tancapkan pilar induk, lalu siapkan batu pasir untuk bangun gapura di Wae Bakit. Maka, Sabtu 21 Mei 2011, tim Pemkab Matim ke sana. Bupati Matim Yoseph Tote dan Bupati Ngada Marianus Sae lakukan pertemuan. Sayang, tak ada titik temu (Flores Pos Senin 23 Mei 2011).

Kelanjutannya, tiga bupati Manggarai Raya bertemu di Ruteng. Bukan untuk kumpulkan kekuatan fisik, kata Bupati Mabar Agus Ch Dula. Tapi untuk satukan pikiran ke dalam dokumen yang telah ada.

Ketiganya pasti mudah capai titik temu. Maklum, sebelum mekar, tiga Manggarai itu satu kabupaten. Dan kasus perbatasan sudah ada jauh sebelum itu. Ketiganya juga mudah capai titik temu karena merasa tetap satu secara budaya. Tidak dapat dipisahkan, kata para bupati. Karena itu, "Kalau sekarang ada masalah perbatasan di Manggarai Timur maka kita duduk bersama. Begitu pun jika suatu saat Selat Sape (perbatasan Mabar-Bima) ada masalah, maka kita duduk bersama lagi," kata Bupati Agus Dula.

Ini argumentasi kultural. Berhati-hatilah. Tapal batas Matim-Ngada itu tapal batas wilayah administratif kepemerintahan. Bukan tapal batas wilayah etnik kultural. Karena itu, menggunakan dasar etnik kultural tidak saja tidak relevan secara logis, tapi juga berbahaya secara sosiologis.

Dengan dasar etnik kultural, banyak tapal batas kabupaten di NTT bisa dipersoalkan kembali. Dapat dibayangkan kekacauan yang akan terjadi. Kecamatan Paga yang selama ini masuk Kabupaten Sikka, misalnya, bisa saja diklaim sebagai wilayah Kabupa¬ten Ende, dengan alasan: orang Paga itu beretnik Lio.

Jalan pikiran seperti inilah yang mengakari masalah tapal batas Matim-Ngada. Titik batas dua kabupaten sudah lama dipatok oleh negara. Tapi kemudian dipersoalkan kembali oleh sekelompok masyarakat atas dasar etnik kultural. Dan sekarang, menyikapi situasi perbatasan yang semakin memanas itu, tiga bupati Manggarai Raya bertemu di Ruteng, menggunakan lagi dasar yang sama. Dasar etnik kultural. Bahwa secara budaya, tiga Manggarai tetap satu, tidak biasa dipisahkan.

Bukankah dasar etnik kulturallah akar kasus tapal batas Matim-Ngada? Bukankah dasar itulah yang hendak dilawan oleh ketiga bupati Manggarai Raya, dengan menggunakan dasar administratif kepeme¬rintahan berupa dokumen yang sudah ada? Kenapa mereka gunakan lagi sesuatu yang justru mereka lawan?

Bertemu dan berembuk, oke. Tujuannya: untuk himpun dan satukan pikiran ke dalam dokumen yang telah ada. Bagus. Dasarnya: karena tiga Manggarai pernah satu sebagai cakupan wilayah administratif kepemerintahan. Tepat. Itu sudah cukup. Jangan lagi gunakan dasar etnik kultural: karena tiga Manggarai satu secara budaya. Ini tidak relevan. Dan, berbahaya.

”Bentara” FLORES POS, Rabu 1 Juni 2011