Penggelembungan Dana Bansos Sikka 2009
Oleh Frans Anggal
Uji petik lapangan Pansus DPRD Sikka terhadap penyaluran dana bansos 2009 yang dikelola Bagian Kesra menemukan banyak kejanggalan. Di antaranya, penandatanganan kuitansi kosong oleh penerima bantuan dan penggelembungan harga barang oleh pengelola. Demikian ungkap anggota pansus Ambros Dan pada tatap muka dengan Tim Penyelamat Uang Rakyat Sikka, di Maumere, Minggu 19 Juni 2011 (Flores Pos Kamis 23 Juni 2011).
Tentang tanda tangan kuitansi kosong. "Ada bantuan pembangunan gereja untuk salah satu paroki, yang diterima salah seorang romo, bernilai Rp100 juta. Namun dalam kuitansi, yang dibuat oleh salah seorang pejabat di Bagian Kesra, tercantum angka uang Rp300 juta," tutur Ambros Dan.
Bagaimana itu bisa terjadi? "Romo dipaksa menandatangani kuitansi kosong. Kemudian pada kuitansi itu dicantumkan nilai uangnya oleh pejabat Bagian Kesra, Rp300 juta. Setelah mendengar hal itu, romo menangis. Karena, perbedaan sangat besar antara nilai uang yang diterima dan yang tertera dalam kuitansi."
Tentang penggelembungan harga barang, Ambros Dan sebut sebuah contoh. "Bantuan genzet di Watu¬blapi. Harga barang itu seharusnya sekitar Rp3-5 juta, tapi dalam kuitansi tertulis Rp25 juta."
Modus pada kedua kasus itu sama. Mark up. Penggelembungan dana. Modus ini lekat dengan corak korupsi. Jamak dilakukan aparatur negara yang korup. Sedemikian lazimnya praktik ini membuat orang-orang jujur pun terpaksa, mau tidak mau, ikut terlibat. Sebab, dengan mark up, urusan jadi lancar. Karena, si pengelola dana pun turut mendapat bagian. Malah dalam jumlah yang berlipat-lipat.
Pada bantuan pembangunan gereja, si pengelola dana bansos mendapat bagian dua kali lipat. Sedangkan pada pengadaan genzet, si pengelola dana mendapat bagian empat hingga tujuh kali lipat. Ini gila. Pebedaannya langit dan bumi. Menurut Ambros Dan, inilah yang membuat romo menangis.
Yang benar saja, ah! Mudah-mudahan Ambros Dan keliru menangkap atau menyimpulkan pernyataan si romo. Kata dia, "Romo menangis, karena perbedaan sangat besar antara nilai uang yang diterima dan yang tertera dalam kuitansi." Pertanyaan kita: kalau perbedaannya kecil, bagaimana? Apakah si romo tidak menangis? Apakah si romo tersenyum menerima uang negara melalui cara yang lekat dengan corak korupsi?
Mudah-mudahan Ambros Dan keliru. Kita berharap, si romo menangis hanya karena merasa telah ditipu oleh si pengelola dana bansos. Artinya, ia tidak tahu adanya modus mark up dalam pemaksaan penandatanganan kuitansi kosong itu. Ia lugu dan beranggapan baik saja pada si pengelola dana. Ketika Rp100 juta dicairkan, ia tersenyum. Namun, setelah tahu bahwa yang kemudian dicantumkan pada kuitansi kosong itu ternyata Rp300 juta, bukan Rp100 juta, ia pun menangis.
Mudah-mudahan seperti itulah yang terjadi. Si romo menangis hanya karena merasa telah ditipu oleh si pengelola dana bansos, melalui sebuah pemaksaan penandatanganan kuitansi kosong, yang ternyata hanya merupakan cara si pengelola dana bansos melakukan mark up.
Kalau benar seperti itu, sudah barang tentu si romo bisa melaporkan si pengelola dana ke polisi. Selanjutnya, bagi yang lain, khususnya kalangan gereja, ini pelajaran sangat berharga. Berhati-hati dan cermatlah dalam menerima dan menggunakan setiap bantuan yang bersumber dari keuangan negara.
”Bentara” FLORES POS, Jumat 24 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar