Tindakan Konyol Penanganan Persalinan
Oleh Frans Anggal
Bidan di RSUD Maumere memplester mulut ibu yang sedang melahirkan. Ini ia lakukan, karena ibu itu berteriak, sehingga mengganggu pasien lain. Pemlesteran ternyata menyulitkan pernapasan sang ibu. Ia tidak leluasa memperlancar persalinan. Anaknya kemudian lahir, tapi sudah tidak bernyawa (Flores Pos Senin 6 Juni 2011).
Natalia Nonce masuk RSUD Maumere pada Minggu 29 Mei 2011. Kondisinya sudah menunjukkan tanda-tanda melahirkan. Selama di RSUD, ia merasa sangat kesakitan. Sehingga, terkadang ia berteriak agak keras. "Karena saya berteriak, maka salah seorang petugas mengambil isolasi lalu ditempelkan ke mulut saya. Mulut saya diisolasi dua kali sehingga saya tidak bisa bicara dan teriak."
Sebelum mulutnya diplester petugas, Natalia Nonce sudah merasakan ada gerakan bayi dalam rahimnya. "Namun, saya tidak bisa berdaya saat berjuang untuk menyelamatkan anak saya itu, karena mulut saya diisolasi oleh petugas."
Ada dua pertanyaan penting di sini. Pertama, apakah pemlesteran mulut ibu melahirkan, dengan tujuan agar si ibu tidak berteriak, sehingga tidak menggangu pasien lain, dapat dibenarkan? Kedua, apakah pemlesteran mulut ibu itulah yang menyebabkan bayi yang dilahirkannya tidak selamat?
Jawaban atas pertanyan pertama tidak sulit. Ilmu kebidanan mana pun tidak membenarkan cara itu. Memplester mulut berarti menutup salah satu saluran pernapasan. Dengannya, keleluasaan berna¬pas dihalangi. Dan ini menyulitkan persalinan. Persalinan yang baik mengharuskan pernapasan yang baik pula.
Persalinan normal tanpa teriak-teriak, itu ideal. Sebab, teriak bisa membuyarkan konsentrasi sang ibu. Juga menguras energinya. Selain, tentu, mengganggu kenyamanan pasien lain. Namun, ibu tipe ideal seperti itu tidak banyak. Maka, sikap realistis diperlukan. Kalau tidak bisa tidak teriak, terimalah teriak itu sebagai bagian dari persalinan.
Bagi kebanyakan ibu, persalin itu pertarungan hidup dan mati. Tidak hanya karena bersalin itu rawan kefatalan. Tapi juga karena sakitnya tidak terperikan. Menjelaskannya, sulit. Merasakannya, apalagi. Tidak sedikit ibu yang, tidak mampu mena¬han sakit bersalin, menyatakan maunya mati saja.
Dalam keadaan seperti ini, mangaduh, menjerit, berteriak harus dipandang sebagai reaksi yang wajar. Kalau ini dirasa menganggu pasien lain, dan si ibu tetap tidak bisa didiamkan meski telah diminta berkali-kali, bukankah tidak ada yang lebih realistis dan manusiawi daripada menerima saja teriak itu sebagai bagian dari persalinan?
Yang terjadi di RSUD Maumere, tidak begitu. Diminta diam tidak bisa, si ibu pun dikerasi. Untuk tidak mengatakan disiksa secara fisik. Mulutnya diplester pakai plakban. Hasilnya memang efektif. Si ibu tidak bisa berteriak lagi. Dengan demikian, telinga bidan dan pasien lain tidak terganggu lagi. Mereka merasa nyaman. Namun, si ibu semakin menderita. Ia sulit bernapas.
Apakah karena masalah itu si bayi akhirnya dilahirkan tidak selamat? Menjawab pertanyaan ini tidaklah mudah. Perlu pengecekan cermat. Guna memastikan, apakah ada hubungan sebab akibat, langsung atau tidak langsung, antara pemlesteran mulut si ibu dan kematian si bayi. Ada atau tidaknya hubungan itu akan menentukan bobot kesalahan si bidan. Daripadanya akan ditetapkan sanksi yang layak dan patut baginya.
Apa pun hasil pengecekan itu nantinya, RSUD Maumere perlu tetap berbenah. Skandal plester itu tidak perlu terjadi. Menghina akal sehat. Konyol.
”Bentara” FLORES POS, Selasa 7 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar