Masalah Tapal Batas Matim dan Ngada
Oleh Frans Anggal
Tiga bupati di Manggarai Raya bertemu di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, Sabtu 28 Mei 2011. Mereka: Bupati Manggarai Chris Rotok, Bupati Manggarai Barat (Mabar) Agus Ch Dula, dan Bupati Manggarai Timur (Matim) Yoseph Tote. Mereka bahas masalah perbatasan Kabupaten Matim dan Ngada di Wae Bakit, Desa Sangan Kalo, Kecamatan Elar, Kabupaten Matim (Flores Pos Selasa 31 Mei 2011).
"Kita perlu duduk bersama untuk menyelesaikan persoalan perbatasan antara wilayah Manggarai Timur dan Ngada yang belakangan terus memanas. Apa yang ada dalam dokumen dan sejarah batas wilayah Manggarai sebelum dimekarkan tidak bisa diubah dalam sekejap," kata Bupati Chris Rotok.
Tapal batas memanas. Beredar rumor, sekelompok masyarakat mau tancapkan pilar induk, lalu siapkan batu pasir untuk bangun gapura di Wae Bakit. Maka, Sabtu 21 Mei 2011, tim Pemkab Matim ke sana. Bupati Matim Yoseph Tote dan Bupati Ngada Marianus Sae lakukan pertemuan. Sayang, tak ada titik temu (Flores Pos Senin 23 Mei 2011).
Kelanjutannya, tiga bupati Manggarai Raya bertemu di Ruteng. Bukan untuk kumpulkan kekuatan fisik, kata Bupati Mabar Agus Ch Dula. Tapi untuk satukan pikiran ke dalam dokumen yang telah ada.
Ketiganya pasti mudah capai titik temu. Maklum, sebelum mekar, tiga Manggarai itu satu kabupaten. Dan kasus perbatasan sudah ada jauh sebelum itu. Ketiganya juga mudah capai titik temu karena merasa tetap satu secara budaya. Tidak dapat dipisahkan, kata para bupati. Karena itu, "Kalau sekarang ada masalah perbatasan di Manggarai Timur maka kita duduk bersama. Begitu pun jika suatu saat Selat Sape (perbatasan Mabar-Bima) ada masalah, maka kita duduk bersama lagi," kata Bupati Agus Dula.
Ini argumentasi kultural. Berhati-hatilah. Tapal batas Matim-Ngada itu tapal batas wilayah administratif kepemerintahan. Bukan tapal batas wilayah etnik kultural. Karena itu, menggunakan dasar etnik kultural tidak saja tidak relevan secara logis, tapi juga berbahaya secara sosiologis.
Dengan dasar etnik kultural, banyak tapal batas kabupaten di NTT bisa dipersoalkan kembali. Dapat dibayangkan kekacauan yang akan terjadi. Kecamatan Paga yang selama ini masuk Kabupaten Sikka, misalnya, bisa saja diklaim sebagai wilayah Kabupa¬ten Ende, dengan alasan: orang Paga itu beretnik Lio.
Jalan pikiran seperti inilah yang mengakari masalah tapal batas Matim-Ngada. Titik batas dua kabupaten sudah lama dipatok oleh negara. Tapi kemudian dipersoalkan kembali oleh sekelompok masyarakat atas dasar etnik kultural. Dan sekarang, menyikapi situasi perbatasan yang semakin memanas itu, tiga bupati Manggarai Raya bertemu di Ruteng, menggunakan lagi dasar yang sama. Dasar etnik kultural. Bahwa secara budaya, tiga Manggarai tetap satu, tidak biasa dipisahkan.
Bukankah dasar etnik kulturallah akar kasus tapal batas Matim-Ngada? Bukankah dasar itulah yang hendak dilawan oleh ketiga bupati Manggarai Raya, dengan menggunakan dasar administratif kepeme¬rintahan berupa dokumen yang sudah ada? Kenapa mereka gunakan lagi sesuatu yang justru mereka lawan?
Bertemu dan berembuk, oke. Tujuannya: untuk himpun dan satukan pikiran ke dalam dokumen yang telah ada. Bagus. Dasarnya: karena tiga Manggarai pernah satu sebagai cakupan wilayah administratif kepemerintahan. Tepat. Itu sudah cukup. Jangan lagi gunakan dasar etnik kultural: karena tiga Manggarai satu secara budaya. Ini tidak relevan. Dan, berbahaya.
”Bentara” FLORES POS, Rabu 1 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar