27 Juni 2011

Duh, Perempuan!

Konstruksi Sosial yang Tidak Adil

Oleh Frans Anggal

Perempuan di NTT tidak hanya memiliki peran inti reproduktif: mengandung dan melahiran anak; tapi juga peran inti produktif: mencari nafkah bagi keluarga. Tidak hanya dalam jumlah, tapi juga dalam peran sebagai tulang punggung keluarga, wanita di NTT lebih daripada laki-laki.

Demikian kata Profesor Mien Ratu Uju, Ketua Lemlit Universitas Nusa Cendan (Undana) Kupang, di hadapan peserta Bimtek Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Manggarai Timur, di Kisol, Kamis 23 Juni 2011. "Perempuan di NTT berperan jauh lebih besar daripada kaum laki-laki dalam usaha ekonomis produktif," katanya (Flores Pos Sabtu 25 Juni 2011).

Hasil penelitian Undana tiga tahu lalu di Bena, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), meneguhkan kebenaran itu. Hampir seluruh kegiatan ekonomi rumah tangga didominasi oleh perempuan. Karenanya, tepatlah, perempuan di NTT adalah pencari nafkah. Bukan hanya laki-laki.

Penelitian itu menyingkapkan, semua urusan kerja kebun, bersih rumput, timba air, menanam, memetik hasil, memikul hasil, menumbuk, memasak sampai menyajikan makanan dan minuman merupakan urusan perempuan. Kerja pagar juga ada keterlibatan perempuan. Hanya jaga babi hutan saja yang murni dilakukan oleh kaum laki-laki.

Dalam hal jumlah jam kerja. Jam kerja perempuan lebih banyak daripada jam kerja laki-laki. "Perem¬puan kerja 12 sampai 14 jam sehari, sedangkan laki-laki sekitar 7 sampai 8 jam. Dari penggunaan jam kerja ini saja dapat dilihat betapa perempuan di NTT memikul beban yang amat berat dalam urusan kerja dan ekonomi rumah tangga," kata Ratu Uju.

Berbeban berat dalam ketidakadilan, tapi tak mudah berputus asa. Ini hal lain dari perempuan di NTT. Sejauh diwartakan Flores Pos, kebanyakan korban bunuh diri di Flores adalah laki-laki. Mereka mengakhiri hidup karena tidak tahan menanggung derita. Perempuan lebih ulet dan lebih tabah.

Ini, tentu, tidak bisa dijadikan pembenaran bagi boleh tetap berlangsungnya ketidakadilan dalam rumah tangga itu tadi. Ketidakadilan tsb bukanlah akibat dari keberadaan perempuan sebagai perempuan. Jenis dan jumlah pekerjaan, lamamya jam bekerja, beratnya beban kerja antara perempuan dan laki-laki, tidaklah kodrati. Itu buatan manusia. Konstruksi sosial budaya.

Karena tidak kodrati alias bersifat gender belaka, semua itu bisa diubah. Dan, karena tidak adil, semua itu perlu diubah. Sayangnya, di tengah upaya itu, negara justru mengukuhkan konstruksi sosial yang tidak adil di ranah yang lain. Contoh, UU Pornografi.

Secara retoris UU ini tampil sebagai "pahlawan pembela perempuan". Tapi sesungguhnya, ideologi di belakangnya adalah misoginisme religis. Yaitu kebencian terhadap tubuh perempuan atas dasar politik moral agama. Inilah patriarkisme religis yang memanfaatkan negara untuk mencapai dominasi politik dan totalitarianisme nilai. Kebencian pada tubuh adalah paranoid kebudayaan yang berasal dari rezim patriarkis pada awal peradaban manusia, yang terus bertahan melalui institusi agama, mitos, dan hukum (Konstelasi, Edisi 21, Desember 2008).

Oleh UU ini, tubuh perempuan dijadikan wilayah politik negara. Dijadikan lokasi operasi moralitas agama. Dijadikan objek kriminal negara. Dari penjara moral, tubuh perempuan dikirim ke penjara kriminal. Dari ketidakadilan yang satu, mereka dijebloskan ke ketidakadilan yang lain. Duh, perempuan!

”Bentara” FLORES POS, Senin 27 Juni 2011

Tidak ada komentar: