Oleh Frans
Anggal
Terbetik
kabar, beberapa anggota DPRD Ende menerima SPPD dari direktur PDAM. Tujuannya
ke Jakarta, untuk konsultasi dan
asistensi pembuatan perda tentang penyertaan modal ke perusahaan daerah
tersebut. Berapa jumlah anggota DPRD-nya tidak disebutkan. Berapa besar
SPPD-nya tidak diungkapkan. Yang pasti, itu benar, diakui Dirut PDAM Ende
Soedarsono sendiri (Flores Pos,
Jumat, 2 Oktober 2015).
Gratifikasi?
Oh, tidak, kata Dirut Soedarsono, “Ini bukan suap atau gratifikasi. Ini untuk
kepentingan pembuatan perda.” Bantahan dirut diteguhkan Ketua Baleg DPRD Ende
Yohanes Pela. Ini tidak menyalahi aturan
dan tidak menjadi persoalan, karena
“SPPD tersebut digunakan untuk konsultasi ke Jakarta. Ini murni untuk pembuatan
perda inisiatif.”
Publik tidak
mudah terima. Pusat Advokasi Masyarakat (Pusam) dan Forum Kesejahteraan
Masyarakat Kecil (FKMK) mendesak Kejari Ende
lakukan pemeriksaan. Perlu dipastikan, pemberian SPPD ini gratifikasi atau bukan. Kalau itu gratifikasi,
proses hukum harus dilanjutkan sampai tuntas (Flores
Pos, Sabtu, 3 Oktober 2015).
Pemred Flores Pos Pater Steph Tupeng Witin SVD dalam editorial
“Bentara” Flores Pos edisi Senin, 5
Oktober 2015, mendukung Kejari Ende mengusut
“dugaan suap” ini. Selain untuk memastikan ini
suap atau bukan, pengusutan bertujuan “membersihkan institusi DPRD dari orang-orang
yang patut diduga sedang tersesat.”
Desakan
pengusutan juga datang dari Forum Gabungan Elemen Masyarakat (Forgema). Kejari
Ende pun tanggap. Kasi Intel Rochman Marsudi berjanji, dalam waktu dekat pihaknya melakukan
pemeriksaan (Flores Pos, Selasa, 6
Oktober 2015).
***
Makin cepat
pemeriksaan itu makin baik, agar cepat terang-benderang. Sebab, kasihan PDAM
dan DPRD: belum apa-apa, sudah apa-apa. Belum terbukti bersalah, mereka
terlanjur sudah divonis masyarakat melalui apa yang dinamakan “peradilan
sosial”.
Di mana-mana
peradilan sosial itu kejam. Materi gugatannya bisa rumor, gosip, kabar angin.
Penggugatnya bisa siapa saja dan anonim. Sidang gugatannya bisa kapan saja dan
di mana saja. Semua orang bisa jadi jaksa, pembela, dan hakim. Peradilannya
tanpa kehadiran si terdakwa: peradilan in
absentia. Dengan demikian, si terdakwa tidak bisa bela diri. Bagaimana
bisa, dia tidak tahu sedang diadili dan divonis.
Peradilan jenis
inilah yang sedang menimpa Dirut PDAM Ende Soedarsono dan anggota DPRD Ende
penerima SPPD. Di tengah masyarakat, mereka sudah dianggap bersalah. Si dirut
dituding sogok dewan. Para anggota dewan dicap terima suap. Penjelasan Dirut
PDAM Soedarsono dan Ketua Baleg DPRD Yohanes Pela dianggap sebagai pembelaan diri belaka.
Sebagai pihak yang terlibat dalam hal yang dianggap sebagai skandal ini, mereka
sulit dipercaya.
Jadi?
Diperlukan pihak lain yang punya otoritas untuk menjernihkan masalah. Di sini
perlunya intervensi penegak hukum. Makin cepat aparat penegak hukum mengklirkan
masalah, makin cepat pula peradilan sosial berakhir. Di sini, proses hukum
berperan sebagai pengekang kecenderungan masyarakat pada kesewenang-wenangan.
Atas dasar
itu, kita mengapresiasi Kasi Intel Kejari
Rochman Marsudi yang berjanji segera melakukan pemeriksaan. Pastikan segera
kasusnya: apakah itu gratifikasi atau bukan. Dengan pemastian itu, keadilan
dapat ditegakkan. Jika itu gratifikasi, lanjutkan proses hukumnya sampai tuntas.
Jika bukan, hentikan. Dengan penghentian itu, nama baik dirut PDAM dan
anggota DPRD terpulihkan.
***
Bagaimana
ujung akhir kasus ini nanti, belum bisa ditebak. Tapi gelagatnya terlihat. Ketua
Baleg DPRD Ende Yohanes Pela mengatakan, pemberian SPPD itu tidak menyalahi
aturan dan tidak menjadi persoalan. Ada dua frasa penting di situ: (1) tidak
menyalahi aturan, dan (2) tidak menjadi persoalan.
Dalam hal
frasa kedua, John Pela keliru besar. Dia bilang tidak menjadi persoalan.
Sementara publik jelas-jelas menjadikan pemberian SPPD itu sebagai persoalan,
bahkan persoalan sangat serius, sehingga mendesak kejaksaan melakukan
pengusutan. Dan karena juga menganggap yang didesakkan itu adalah persoalan, Kasi
Intel Rochman Marsudi pun berjanji segera melakukan pemeriksaan.
Sedangkan
dalam hal frasa pertama, John Pela boleh jadi benar. Pemberian SPPD dari dirut
PDAM kepada beberapa anggota DPRD bisa
saja tidak menyalahi aturan. Kenapa? Mungkin saja karena memang tidak ada
aturannya. Maksudnya, aturan tertulis seperti UU. Kalau aturannya tidak ada,
apa yang mau dilanggar?
Beberapa
tahun silam, Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan pengujian UU
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan, perbuatan
melawan hukum dalam tindak pidana korupsi harus memenuhi delik formil. Artinya,
hanya menyangkut perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan tertulis, seperti
UU. Ketentuan tidak tertulis seperti asas kepatutan, rasa keadilan di
masyarakat, dan norma kehidupan sosial lainnya (delik materiil) tidak
diperhitungkan lagi.
Pemberian
SPPD oleh dirut PDAM kepada anggota DPRD, apakah itu korupsi? Gratifikasi? Belum tentu. Kalau tak satu pun peraturan
tertulis yang dilanggar (delik formil), apalagi kalau peraturannya sendiri
tidak ada, maka dugaan korupsi/gratifikasi itu tetap tinggal dugaan. Para pihak
luput bulat-bulat.
***
Taruhlah,
secara hukum Dirut PDAM Soedarsono dan anggota DPRD penerima SPPD luput
bulat-bulat. Habiskah persoalannya?
Persoalan hukum mungkin habis, tapi tidak persoalan lain. Persoalan
kepatutan.
Coba
bayangkan: direktur PDAM memberikan SPPD kepada anggota DPRD. SPPD terlanjur
diidentikkan dengan uang. Yang cenderung dilupakan, SPPD itu
singkatan dari surat perintah
perjalanan dinas. Ini surat perintah. Perintah dari atasan kepada bawahan.
Siapa atasan di sini? Dia yang memberikan SPPD: dirut PDAM. Siapa bawahannya? Mereka yang menerima SPPD:
anggota DPRD.
Anggota DPRD
jadi bawahan dirut PDAM! Ini sungguh tidak patut. Ini menghina diri sendiri.
Menistakan rakyat yang memilih. Para wakil rakyat ternyata hanya menghiraukan
apa yang mereka terima: duit. Mereka mengabaikan apa yang mereka campakkan: waka. Muruah. Kehormatan diri. ***
Dimuat pada kolom “Kutak-Kutik” Harian Umum FLORES
POS, Kamis, 8 Oktober 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar