25 Februari 2012

Sejenak dengan Bupati Nani Aoh (2/Habis)


“Segar Lagi, Mungkin Karena Baru Nikah”

Oleh Frans Anggal


DALAM posisi duduk berhadap-hadapan dan hanya dibatasi sebuah meja kerja, jarak antara kami dan Bupati Nani tidak sampai dua meter. Saya perhatikan raut wajahnya. Sangat kentara, dia sudah berumur. Kenapa rakyat Nagekeo memilih orang sesepuh ini jadi bupati perdana?

"Pak Nani ini sebuah fenomena yang menarik," kata saya. "Jadi bupati di dua kabupaten. Di kabupaten induk dan di kabupaten mekaran. Ada juga bupati lain yang ingin seperti ini tapi gagal. Kira-kira apa hikmahnya?"

"Hikmahnya ya saya tetap jadi bupati, ha ha ha ha ….," tawanya berderai.

Ia lalu kemukakan alasan masyarakat Nagakeo memilih dia jadi bupati perdana.

"Rupanya masyarakat terkesan selama saya jadi bupati Ngada. PP 65, ibu kota Ngada adalah Mbay. Lalu Kapet Mbay. Kenangan ini ada di masyarakat Nagekeo."

Kapet adalah singkatan dari kawasan pengembangan ekonomi terpadu. Ini muncul pada saat Nani Aoh jadi bupati Ngada. Lewat PP Nomor 65 Tahun 1998, ibu kota Kabupaten Ngada dipindahkan dari Bajawa ke Mbay. Pada masa itu, tiga hari dalam seminggu Bupati Nani berkantor di Mbay, di gedung yang sekarang kantor DPRD.

Ketika Nagekeo hendak jadi daerah otonom, cari ibu kotanya tidak pusing-pusing lagi. "Karena sudah ada kebijakan dan memori, ibu kota Ngada di Mbay," kata Bupati Nani.

Nagekeo adalah 1 dari 16 kabupaten/kota baru yang dimekarkan pada 2006. Di NTT, kabupaten baru lainnya hasil pemekaran tahun yang sama adalah Sumba Bara Daya dan Sumba Tengah.

Kabupaten Nagekeo lahir berdasarkan UU No. 2 Tahun 2007. DPR menyetujui rancangan UU-nya pada 8 Desember 2006. Peresmian dilakukan pada 22 Mei 2007 oleh Penjabat Mendagri Widodo A.S. Ditunjuk sebagai penjabat bupati, Elias Djo, sejak 22 Mei 2007. Sedangkan bupati, hasil pemilukada perdana, Johanes Samping Aoh, sejak Oktober 2008.

Johanes Samping Aoh berpasangan dengan Paulus Kadju dalam pemilukada yang diikuti lima pasangan calon. Dalam penetapan KPUD Ngada, Sabtu 16 Agustus 2008, pasangan ini dinyatakan menang sebagai calon bupati-wabup terpilih, dengan memperoleh dukungan 21.869 suara sah. Satu putaran, mereka langsung menang secara meyakinkan. Merebut 34 persen suara dari total 66.331 suara.

Ini fenomena menarik. Dari segi usia, Nani Aoh sudah berlalu. Ini bukan tidak ia sadari. Selepas masa baktinya sebagai bupati Ngada, 2000, pikirannya hanya satu. Menjalani dan menikmati pensiun.

"Saya berhenti tahun 2000. Tahun 2001, istri (Ibu Mince Aoh) meninggal. Saya tinggal di Jakarta sampai tahun 2007. Pada tahun yang sama (2007), mama saya meninggal. Saya datang (ke Mauponggo). Orang-orang datang (temui saya), omong-omong (minta kesediaan saya jadi bupati). Saya tolak. Apalagi kami ini orang Orde Baru 100 persen. Tapi desakan mereka begitu tinggi, maka saya bilang oke. Tapi harus uji petik. Sebab, yang datang (minta kesediaan saya) ini (orang dari) partai-partai kecil. Partai-partai besar sudah ada orangnya."

Uji petik pun dilakukan. Para penginisiatif mengundang semua tokoh pemegang kunci dari setiap kecamatan untuk hadiri pertemuan di Mauponggo.

"Saya siapkan rumah. Karena yang hadir ini para tokoh dari 7 kecamatan, target saya 40-50 orang yang datang. Maka saya siapkan kambing. Pada hari-H, yang datang ternyata lebih dari 2.000 orang. Akhirnya saya potong sapi. Ini tanda mereka mau betul, tidak main-main. Saya kumpulkan anak-anak (saya). Saya tanya mereka. Kata mereka, 'Dari fisik, Bapa oke, belum pikun. Kepercayaan rakyat tak boleh disia-siakan.'"


SAYA perhatikan lagi raut wajahnya. Dia sudah sepuh, memang, tapi jelas belum pikun. Kulit wajahnya tetap merah segar. Jalan pikiranya tetap jernih. Bicaranya tetap runtut. Dan, mobilitasnya masih tinggi, ke Jakarta, ke kecamatan, ke desa-desa.

"Saya satu umur dengan Mgr. Cheru, " katanya. Yang dimaksudkannya adalah Mgr. Gerulfus Kherubim Pareira SVD, uskup Maumrere.

"Di Kupang, gubenur dan bupati-bupati panggil saya 'senior'," imbuhnya.

"Empat belas Februari ini saya genap 71 tahun. Usia pensiun. Tapi sekarang saya segar lagi, mungkin karena baru nikah, ha ha ha ha …." Humor ini ia ditujukannya ke Pater John Dami Mukese SVD. Pemimpin umum Flores Pos ini dan kami semua terkekeh-kekeh.

Sepeninggal istrinya, Pak Nani menduda selama 9 tahun. Dia baru berhenti menduda pada Sabtu 9 Oktober 2010.

Hari itu, ia melangsungkan pernikahan dengan Mastiur Magdalena Panggabean, seorang dokter asal Medan. Pemberkatan nikahnya sore hari, di Gereja St. Paskalis, Jalan Letjen Suprapto, Jakarta Pusat. Misa dipimpin Mgr. Gerulfus Kherubim Pareira SVD. Malam, musik dan tarian Ja'i memeriahkan resepsinya di Acacia Hotel Golden Rose Ballroom, Jalan Keramat Raya Nomor 81, Jakarta Pusat. Tiga anak Pak Nani dan dua anak Ibu Mastiur turut hadir (http://kupang.tribunnews.com)

"Pak Nani kenal dengan Ibu Dokter itu di mana dan lewat siapa?" tanya saya.

"Kenalnya lewat face book, ha ha ha ha …"

Lagi-lagi kami terkekeh-kekeh. Ia pasti bercanda.

"Sekarang canggih, Pater," katanya kepada Pater Dami. "Tidak lagi pake surat seperti dulu. Sekarang pake BBM, tinggal ketik, enter, langsung terkirim, ha ha ha ha …."

BBM, singkatan dari BlackBerry Messenger, adalah program pengirim pesan instan yang disediakan untuk para pengguna perangkat BlackBerry. Layanan Messenger ini dibuat khusus bagi pemilik BlackBerry dan dirancang khusus untuk berkomunikasi di antara pengguna (http://id.wikipedia.org).

Suasana makin santai. Bupati Nani keluarkan sebungkus rokok dari laci meja. Sampoerna merah. Ia tarik sebatang.

"Apakah Ibu Dokter tidak larang Pak Nani merokok?" tanya saya.

"Tidak. Hanya, perlu dibatasi. Dulu saya bisa habiskan tiga empat bungkus sehari. Sekarang hanya satu bungkus, itu pun tidak habis."

Ia lalu bercerita tentang kesehatannya. Hasil pemeriksaan terakhir, semuanya sehat. Hanya ada sedikit gangguan di prostat.

"Tapi, kata Ibu Dokter, itu karena faktor usia."


SEUSAI audiensi dengan Bupati Nani, kami mampir minum di ruang kerja Kabag Humas Ande Ndona Corsini.

Sambil menyeruput kopi hangat, kami bincang-bincang tentang pemilukada Nagekeo 2013. Apakah Pak Nani bakal maju lagi?

Saat audiensi, Bupati Nani bilang, dia tidak akan maju lagi.

"Nanti (bupati Negekeo) yang berikut, orang muda. Saya istirahat," katanya.

Benarkah akan seperti itu?

"Kalau dia maju lagi, dia bisa menang," kata Wim de Rosari, wartawan Flores Pos di Nagekeo. "Atau, kalau dia tidak maju lagi, maka siapa pun yang dia dukung pasti itulah yang menang."

Tiba-tiba saya teringat akan kata-katanya. "Empat belas Februari ini saya genap 71 tahun. Usia pensiun. Tapi sekarang saya segar lagi …."

Sekarang segar lagi … lalu rakyat minta lagi … dan aturan masih memungkinkannya lagi …, maka .... ***

Flores Pos, Sabtu 25 Februari 2012

24 Februari 2012

Sejenak dengan Bupati Nani Aoh (1)


“Kalau Flores Punya Satu, Ini Mudah”

Oleh Frans Anggal


MBAY, ibu kota Kabupaten Nagekeo …. Bangunan bertembok putih itu memanjang dari timur ke barat. Halamannya telanjang dengan sedikit rerumputan. Di timur, lurus dengan sudut bangunan, merindang pohon bidara. Di bawahnya, puluhan sepeda motor diparkir. Belasan meter dari pohon itu, ke barat, terpancang tiang bendera.

Tak ada papan nama, ini kantor apa. Kami percaya penuh pada Wim de Rosari. Wartawan Flores Pos di Nagekeo ini tidak mungkin mengantar kami ke alamat yang salah ketika mengarahkan sopir Om Vitalis membelok masuk pekarangan bangunan itu dan berhenti. Ini pasti Kantor Bupati Nagekeo.

Siang itu, Jumat 3 Februari 2012, di kantor itu, Bupati Johanes S. Aoh menerima kami beraudiensi. Kami diantar masuk oleh Kabag Humas Ande Ndona Corsini.

Pemimpin Umum Flores Pos Pater John Dami Mukese SVD memperkenalkan kami satu per satu.

"Ini Pater Alex," katanya. Pater Alexander Ola Pukan SVD berjabat tangan dengan bupati. Ia imam muda yang baru bergabung ke Flores Pos, di bagian redaksi.

Saya mengira, usai jabat tangan itu kami dipersilakan ke sofa, sekitar 3 meter di depan meja kerja bupati . Eh, tidak. Empat sofa cokelat berdaya tampung 10 orang itu tetap kosong. Kami dipersilakan mengitari meja kerja bupati. Maka, di atas kursi biru, berjejerlah kami membentuk setengah lingkaran.

Hari itu Bupati Nani berpakaian agak santai. Bajunya kaus putih berkrah, bergaris horizontal hitam. Celana dan sepatunya tak kelihatan. Tersembunyi di balik meja kayu berlapis kaca.

Yang mencolok di atas meja, paling depan, dua papan nama ukiran jati. Di kiri, "Bupati Nagekeo". Di kanan, "Drs. Johanes S. Aoh". Di belakang papan nama itu, menumpuk map aneka warna. Di balik sebuah bingkai foto yang membelakangi kami, tergeletak sebuah asbak rokok.


SIANG itu, Bupati Nani banyak bicara tentang infrastruktur jalan raya, bandar udara, dan pelabuhan laut.

"Bagaimana dengan jalan Aegela ke bawah?" tanya Pater Dami. Maksudnya, ruas jalan negara Nangaroro-Aegela yang sedang dilebarkan. Ini proyek multiyears, sepanjang 15,6 km, dikerjakan PT Conblock Infra Tekno, dengan total anggaran Rp141 miliar, bantuan pemerintah Australia.

"Menurut kontrak, (proyek ini) harus berakhir Maret 2013. Lalu ada pemulihan 1 tahun," kata Bupati Nani. "Memang ada keterlambatan sedikit," akunya.

"Ini punya pusat, bukan dari APBD. Ini hasil pendekatan kita dengan Jakarta. Kerja sama Australia dengan Indonesia, AusAID. Kami diberi kewajiban membayar ganti rugi kepada warga masyarakat yang tanahnya tergusur. Kita siapkan dalam APBD. Kita bayar baru gusur. Ganti rugi tanaman itu untuk yang ada di kiri dan kanan jalan."

Ada sedikit masalah, katanya. "Ada yang sudah dibayar ganti ruginya tapi tak jadi digusur tanahnya karena penggusuran dipindahkan ke lokasi lain yang belum dianggarkana ganti ruginya. Akhirnya bayar lagi."

"Medannya juga sulit. Berbatu-batu," kata Pater Dami.

"Ya. Tipe tanahnya begitu. Di luar bagus, di dalam penuh batu-batu besar," kata bupati. "Keuntungannya, mereka (PT Conblock Infra Tekno) tidak perlu lagi cari batu dan pasir."

Tentang "ada sedikit malah" itu, Pos Kupang pernah melansirnya Desember 2011. Diberitakan, proyek ini baru menyerap dana 7,2 persen dari total anggaran Rp 141 miliar. "Lambannya kemajuan fisik proyek (ini) … akibat pembebasan lahan yang belum tuntas," kata Kasatker Wilayah Ende, O.H Tambunan (tribunnews.com).

"Untuk tahun 2011 pekerjaannya adalah (peng)galian tanah dan batu. Tetapi ketika pohon sudah ditebang, saat alat berat mau gusur tanah dan batu, ada masyarakat yang menghalangi karena belum ada pembebasan lahan."

Tambunan berharap kendala ini segera diatasi agar proyek ini selesai tepat waktu. Kalau tidak, ia khawatir, negara donor akan menarik kembali dananya karena Indonesia dinilai gagal.


TENTANG bandara, menjawab Pater Dami ....

"Dana awalnya Rp40-an miliar," kata bupati, "sedang ditender. Itu baru dana pengerukan tanah di bandara agar diisi tanah baru. Rencana awal tahun 2012, (sepanjang) 1.200 meter. Landasannya harus padat, takut terbelah, sebab ini bekas rembesan air dari sawah. Nanti gali buang dan diisi tanah dari luar. Kalau ini sukses, Juli atau Agustus 2012 bisa tambah lagi Rp60-an miliar. Sedangkan pengerjaan landasan dan pemagaran belum, masih jauh sekali.”

"Jadinya, setiap kabupaten punya satu bandara," kata saya.

Bupati Nani pun berkisah. Saat ekspo di Jakarta, muncul pertanyaan sepeerti itu. Mengapa harus bangun lagi bandara di Mbay? Kan sudah ada bandara terdekat, di Ngada dan Ende. Saat itu Gubenur NTT Frans Lebu Raya beberkan tiga alasan, kata bupati.

Pertama, NTT provinsi kepulauan. "Saya punya obsesi Flores , Timor, dan Sumba punya pesawat badan lebar," kata gubernur seperti dikutip bupati. Kalau terjadi bencana alam, tantangannya adalah kecepatan bantuan. Selama ini, pesawat badan lebar hanya bisa turun di Kupang. Dari Kupang, barulah bantuan disalurkan ke pulau-pulau bencana. "Kalau Flores punya satu, ini mudah," kata bupati.

Kedua, dari kebutuhan masyarakat yang bepergian di NTT. Enam puluh persennya dari Flores. Flores layak punya sebuah bandara utama yang bisa didarati pesawat badan lebar.

Ketiga, dari aspek pertahanan keamanan. Kita berbatasan dengan Timor Leste dan Australia. Jika Bandara El Tari didu¬duki musuh, Flores masih punya satu pangkalan. Ada reserve.

"Lokasinya di mana?" tanya saya.

"Di lokasi lama, Bandara Surabaya II," jawab bupati.

"Dulu pernah (uji coba) didarati pesawat Nomad, Angkatan Laut," kata saya.

"Ya. Pada masa saya jadi bupati Ngada. Kita mau bikin yang lebih baik."

Untuk bikin yang lebih baik itu, sawah jadi korban, kata bupati.

"Tapi, orang-orangnya jangan dirugikan," tandasnya. "Mereka bisa direlokasi. Biayanya lebih murah. Rp1-2 miliar, bisa. Relokasi bisa di Mbay Kiri. Bisa juga di lahan lama, karena itu tanah pemkab yang diberikan kepada masyarakat untuk digarap (bukan dimiliki). Butuh dana cukup. Untuk pembangunannya, pakai dana pusat. Untuk relokasi masyarakat, pakai dana APBD. Studi AMDAL, sudah."

"Bagaimana dengan Pelabuhan Maropokokt?" tanya Pater Dami.

"Tahun lalu (2011), kita dapat dana perluasan. Kita sudah bangun dermaga, tinggal jalur ASDP."

Kolam labuh Pelabuan Maropokot) cukup dalam, katanya. Saat pasang surut, kedalamannya 18 meter. Tapi untuk dilabuhi kapal besar, kolam labuh ini belum bisa.

"Kita pernah minta kapal roro masuk, coba, ternyata goyang. Perlu ada pelebaran."
Bentuk dermaga yang sekarang, kata bupati, berupa satu garis lurus. Kapal sandar menyampingi arah datangnya ombak. Akibatnya, ombak hantam langsung ke lambung kapal. Tidak aman. Nanti, dengan pelebaran dan perluasan, dermaganya berbentuk el kapital (L). Kapal sandar membelakangi arah datangnya ombak. Aman. ***

Flores Pos, Jumat 24 Februari 2012

21 Februari 2012

Sekilas Lintas dari Ende ke Mbay (3/Habis)


“Itu Pohon yang Dulu Kami Tanam”

Oleh Frans Anggal

MINIBUS Suzuki biru memasuki Sorowea. Ini salah satu desa dalam Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo. Agak oleng-kemoleng. Permukaan jalannya bergelombang. Tapi tidak macet-macet lagi seperti pada lokasi proyek pelebaran jalan di ujung Nangaroro dan Boatue. Pelebaran belum sampai di Sorowea.

"Di sini pertama kali kami lakukan penghijauan," kata Pater Alex Ganggu SVD. Dia duduk di samping kanan saya. Kami berdua pada kursi barisan tiga, paling buntut. Barisan dua ditempati Pater Severinus Binsasi SVD dan Pater Alexander Ola Pukan SVD. Paling depan, Pater John Dami Mukese SVD dan sopir Om Vitalis.

"Itu pohon yang dulu kami tanam," kata Pater Alex Ganggu. Ia menunjuk ke utara jalan.

"Tahun berapa itu?" tanya Pater Dami dari depan.

"Tahun sembilan enam." Maksudnya 1996.

Dari ketinggian, pandangan kami langsung terarah ke batang dan rimbunan pepohonan yang sudah besar-besar. Seluruh bukit yang sebagiannya penuh bebatuan itu sudah ditanami. Dari tanah yang pada titik tertenu mencapai 45 derajat kemiringannya, rimbun menghijau gamal, jambu mete, kakao, dan berbagai pohon buah-buahan.

Di sebuah belokan tak jauh dari tempat pohon-pohon besar itu menjulang, Pater Alex mendekatkan wajah ke jendela pintu mobil. Ia bertegur sapa dengan dua orang lelaki.

"Saya kenal banyak orang di sini," katanya. Mobil terus melaju.

Ini perjalan kedua saya bersama Pater Alex. Sudah lama saya mengenal dia. Dia dosan saya di STFK Ledalero tahun 1980-an. Ia mengampu mata kuliah psikologi. Bicaranya runtut. Penjelasannya jernih. Mudah dipahami. Berkat kuliahnya, saya masih ingat baik pemikiran dari Sigmund Freud, Carl Gustav Jung, dan Paulo Freire.

Pada 30-an tahun lalu itu, ada satu hobinya yang sangat menonjol. Bikin koker bunga dan anakan pohon. Banyak dan bermacam-macam jenisnya. Tampaknya, tanaman apa saja yang indah di matanya pasti ia pelihara. Depan dan samping kamarnya penuh tanaman, dalam pot dan polibag. Setiap pagi dan sore dia ada di situ. Menyiram sambil mengepulkan asap dari Bentoel Biru, rokok kesukaannya.

Apa yang telah dimulainya 30-an tahun lalu ternyata dilanjutkannya secara konsisten. Dari ruang sempit depan dan samping kamarnya di Ledalero, kiprahnya di bidang lingkungan hidup kemudian meluas ke mana-mana. Hingga ke Sorowea dan banyak tempat lain. Jati putih yang kini besar menjulang di kebun depan Biara Bruder Konradus (BBK) Ende adalah bekas tangannya.

Dari ruang kuliah mahasiswa di Ledalero, pemikiran Paulo Freire yang ia ajarkan ia wujudnyatakan kemudian ke dalam ruang kehidupan masyarakat luas.

"Yang dilakukan Pater Alex di Sorowea tahun 1996 itu praktik metode penyadaran," kata Pater Dami di ruang redaksi Flores Pos, Rabu 15 Februari 2012. Pater Dami meneruskan apa yang pernah diceritakan Pater Alex kepadanya.

Benar sudah. Metode penyadaran itu metodenya Paolo Freire. Metode konsientisasi. Ini kata kunci Pater Alex dalam kiprahnya selama ini, termasuk ketika dia masih sebagai Ketua Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Agung Ended dan kemudian Ketua Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (Justice, Peace, and Integration of Creation/JPIC) SVD Ende.


DALAM diskusi bulanan Flores Pos akhir Desember 2007 bertajuk "Pemanasan Global, Respon Lokal", kata kunci konsientisasi itu pulalah yang diucapkan Pater Alex saat tampil sebagai salah satu pembicara.

Dikusi ini mencuatkan kesadaran akan perlunya upaya konsientisasi. Kalau semua pihak memiliki kesadaran yang sama maka langkah bersama mudah diayunkan untuk menyelamatkan dunia dari 'kiamat ekologis'.

"Konsientisasi merupa¬kan model pendidikan yang membebaskan, yang ditawarkan Freire untuk mengatasi masalah penindasan," tulis Frans Anggal dalam "Bentara" Flores Pos Sabtu 22 Desember 2007, mengapresiasi diskusi tersebut. "Konsientisasi mengacu pada proses di dalamnya manusia bukan objek atau penerima, tetapi subjek yang mengetahui, menya¬dari secara mendalam kenyataan sosial-budaya yang membentuk kehidupannya, dan sadar akan kemampuannya sendiri untuk mengubah kenyataan itu.

"Proyek konsientisasi Freire masuk melalui pemberantasan buta huruf dewasa. Bukan dengan pelajaran membaca yang menjejali peserta didik seperti 'sekolah model bank' yang dikritiknya. Ia menggunakan metode pendidikan yang berangkat dari pengalaman sehari-hari subjek pembelajar. Jadinya, lebih dari sekadar pemberantasan buta huruf, proyek pendidikan Freire menjadi sebuah gerakan budaya yang menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat.

"Kalau kita mau menyelamatkan dunia dari kiamat ekologis, metode konsistisasi Freire dapat diandalkan. Flores-Lembata memiliki Gereja, LSM, kaum intelektual, dan kelas menengah yang terpanggil menyelamatkan keutuhan ciptaan. Yang perlu dilakukan bukanlah sekadar aksi dari atas menara gading yang steril. Freire sendiri menghabiskan beberapa tahun di Guinea-Bissau, Afrika Barat, untuk bersama-sama masyarakatnya belajar dan mencari sistem pendidikan yang sesuai bagi kondisi khas mereka. Contoh lain, para rohaniwan Amerika Latin berani meninggalkan kemapanan gedung paroki untuk tinggal di kampung kumuh berlumpur, di tengah tempat pembuangan sampah berbau busuk, menghayati kemiskinan seraya mengajak masyarakat belajar memperjuangkan hak-hak mereka. Dengan apa? Dengan usaha terus-menerus dalam spiral aksi-refleksi atau konsep praksis Freire yang melibatkan teori dan kerja lapangan, digerakkan oleh energi harapan dan cinta.

"Sangat jelas, metode konsientisasi Freire hanya bisa diterapkan kalau orang masuk ke dalam pengalaman tempat ia berinteraksi dengan dunia di mana ia berada. Ini yang belum optimal di Flores-Lembata, sehingga meski dampak buruknya sudah dirasakan berkali-kali dan terus meningkat, toh tetap saja hutan dirusak dan digunduli."

Apa yang belum optimal itulah yang justru selama ini dilakukan Pater Alex. Meski, tidak seradikal rohaniwan Amerika Latin, ia telah mempraktikkan metode konsientisasi dalam segala kertebatasan situasi dan kondisi. Ia mencerahkan kesadaran ekologis masyarakat. Ia merangsang motivasi masyarakat untuk mulai dan giat menanam pohon. Ia telah menjadi tokoh lingkungan hidup. Sebuah keanggunan seorang imam yang tahun ini akan merayakan pancawindu imamatnya (bukan emas imamat seperti diberitakan sebelumnya).


SOROWEA kami tinggalkan. Kantuk saya mulai datang. Selanjutnya lebih banyak diam.

Memasuki Aegela, retina mata kembali melebar.

Jalan Aegela menuju Mbay adalah lintasan eksotik. Jalurnya berkelok turun naik membelah savana. Ilalang hijaunya ditingkahi sembulan sporadis rimbun pepohonan. Hamparan datar padangnya diselingi longokan aneka leku pebukitan.

"Aku gak pernah mengira kalau aku akan menemukan sebuah pemandangan seperti di film-film koboi," tulis G'penk van Piyik dalam blognya. "Perbukitan yang indah, sepertinya aku berkuda mengembalakan ternak" (martyastiadi.wordpress.co).

Ia tampilkan lima foto memukau. Duanya jepretannya sendiri. Tiga lainnya kiriman temannya.

"Ketiga foto itu saat musim kemarau, Agustus 2005, disumbangkan oleh sahabatku, Esti Wahyuni (wartawan Yayasan Pantau, Jakarta)," tulis G'penk. "Wah pingin hidup di sini neh …. Menggembala ternak …."

G'penk tidak berlebihan, saya kira. ***

Kamis, 16 Februari 2012

15 Februari 2012

Sekilas Lintas dari Ende ke Mbay (2)


Peringatan di Ujung Barat Nangaroro

Oleh Frans Anggal


SELEPAS Nangaba, Kabupaten Ende, mobil kami melaju tanpa hambatan hingga Nangaroro. Ini wilayah Kabupaten Nagekeo yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Ende.

Jalan negara di ibu kota kecamatan ini cukup rata dan lurus. Maka, dari ujung timur, Om Vitalis langsung tancap gas. Lancaaaar… sampai di ujung barat.

Jelang tikungan menanjak ke selatan, tampak sebuah papan peringatan. Tegak di bahu selatan jalan. Berbahan tripleks. Berukuran sekitar 1 x 0,75 meter. Bercat kuning. Mencolok. Hurufnya hitam. Kapital.

"Om, berhenti dulu," kata saya kepada sopir.

"Pater, tolong kasih saya kamera," kata saya kepada Pater John Dami Mukese SVD. "Saya mau foto itu papa peringatan."

"Saya juga ada pikiran begitu," sahut pemimpin umum Flores Pos ini.

Om Vitalis menghentikan mobil sekitar 2 meter di belakang papan itu. Saya buka pintu, turun. Cepat-cepat berlangkah. Dari jarak 3 meter, papan itu pas masuk frame kamera. Latar belakangnya mobil kami, minibus Suzuki biru.

Agar suasana hidup, jepretan saya tunggu saat ada kendaraan lewat. Nah, sebuah bus merah muncul dari tikungan: klik! Tak lama berselang, sebuah dump truck kuning meluncur dengan muatan material galaian: klik!

Di dalam mobil, saya amati hasil jepretan. Lumayan. Huruf pada papan peringatan itu sangat terang, jelas, dan mudah dibaca. HATI-HATI ADA PEKERJAAN JALAN.


PAPAN peringatan yang sama pernah kami lihat beberapa minggu sebelumnya, dalam perjalanan Ende-Bajawa. Lihatnya di tempat lain, tapi masih dalam lokasi proyek yang sama. Yakni lokasi proyek pelebaran ruas jalan negara Nangaroro-Aegela di Kabupaten Nagekeo sepanjang 15,6 km. Ini proyek multiyears, dikerjakan PT Conblock Infra Tekno, total anggaran Rp141 miliar, bantuan pemerintah Australia.

Terus terang, kami merasa terganggu dengan kehadiran papan peringatan itu. Bukan tujuan peringatannya yang kami persoalkan. Tapi bahasanya. Dalam hal ini, kata yang digunakannya. HATI-HATI ADA PEKERJAAN JALAN. Hmmm, "pekerjaan jalan". Ini apa?

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelas¬kan kata "pekerjaan" sebagai berikut. (1) Barang apa yang dilakukan (diperbuat, dikerjakan, dsb); tugas kewajiban; hasil bekerja; perbuatan: begitulah pekerjaannya sehari-hari memelihara tanaman dan menata taman. (2) Pencaharian; barang apa yang dijadikan pokok penghidupan; sesuatu yang dilakukan untuk mendapat nafkah: ia sedang berusaha mencari pekerjaan. (3) Hal bekerjanya sesuatu: berkat pekerjaan mesin baru, hasilnya sangat memuaskan.

Merujuk pada makna kata dan contoh kalimat tersebut, bisa dipastikan frasa "pekerjaan jalan" itu janggal.

Memang ada beberapa idiom yang menyerangkaikan "pekerjaan" dengan kata benda yang lain. Misalnya, "pekerjaan tangan" selain "pekerjaan otak". Ini berterima: tangan yang bekerja, selain otak. "Pekerjaan jalan"? Apakah jalan yang bekerja? Kan tidak. Manusialah yang bekerja: melebarkan jalan. Perihal melebarkan disebut pelebaran. Maka, bisa ditulis: "Hati-Hati Ada Pelebaran Jalan".

Ada idiom lain yang lebih dekat: "pekerjaan rumah". Populer dengan singkatan PR. Ini pekerjaan atau tugas yang dilakukan di rumah. Lha, "pekerjaan jalan?" Apakah itu adalah pekerjaan yang dilakukan di jalan? Bisa juga. Tapi, pekerjaan apa saja yang (bisa) dilakaukan di jalan? Pasti banyak. Bisa berjalan, ngobrol, mabuk-mabukan, dsb. Jelas bukan itu yang dimaksudkan dengan frasa pada papan peringatan tadi. Frasa itu tidak memaksudkan jalan sebagai tempat kegiatan (bekerja di jalan), tapi jalan sebagai objek tindakan (mengerjakan jalan). Tindakan mengerjakan disebut pengerjaan. Maka, yang benar adalah "pengerjaan jalan", bukan "pekerjaan jalan".


PIKIRAN saya masih terganggu oleh frasa "pekerjaan jalan" ketika Om Vitalis mulai menjalankan mobil meninggalkan ujung Nangaroro tempat kami berhenti. Mobil perlahan menikung menanjak ke selatan. Wow, pandangan kami tetumbuk pada alat berat yang sedang menderu. Semuanya excavator.

Ada yang bertengger jauh di ketinggian, membongkar tebing bercadas. Bebatuan besar dua kali pelukan orang dewasa bertumpukan.

Batu-batu besar itu dipecahkan oleh excavator khusus, yang ujung lengannya dilengkapi "linggis" besar. Getaran maju mundur "linggis"-nya memecahan batu-batu itu berkeping-keping. Saat pecahan batu bertumpukan, excavator itu maju bertengger di atasnya sambil terus mecahkan bebatuan lain.

Satu exavator lagi bertugas mencedok material tanah dan pasir lalu menumpahkanya ke dalam bak dump truck yang antre 5-6 buah. Kalau sudah begini, kendaraan umum tidak bisa lewat lagi. Tidak ada pilihan lain. Tunggu saja sampai semua dump truck pergi dan petugas proyek memberikan aba-aba boleh lewat. Itu pun tidak bisa dari dua arah berlawanan sekaligus. Sebab, jalan sudah sangat sempit oleh tumpukan material.

Pada titik terluar lokasi seperti inilah papan peringatan dipasang.

Ketika mobil kami sudah melewati ruas jalan sempit di Nangaroro itu, saya sempat melihat satu papan peringatan lagi. Sayang, posisinya membelakangi arah kami datang, sehingga tulisannya tidak bisa dibaca. Tapi saya yakin, kalimatnya tetap yang itu-itu juga. HATI-HATI ADA PEKERJAAN JALAN.

Puluhan menit melewati pendakian panjang, kami sudah sampai di Boatue. Di depan kami, dari kejauhan, tampak dua excavator parkir di sisi kiri jalan. Tak ada kegiatan. Dari arah depan, sebuah bemo warna biru melaju. Belum berpapasan dengan bemo itu, mobil kami sudah mendekati tempat sebuah papan kuning berdiri. Makin dekat, tulisan hitamnya makin jelas. Oh, lagi-lagi papan peringatan. Pater Dami menjepretnya dari jendela pintu kiri mobil. Dua kali klik. Hasilnya terang dan jelas. Peringatannya sama persis dengan peringatan pada papan di ujung barat Nangaroro. HATI-HATI ADA PEKERJAAN JALAN.

Busyet. Lagi-lagi kami merasa sangat terganggu. Bukan peringatannya yang kami persoalkan. Tapi bahasanya itu. Kata yang digunakannya itu. "Perkerjaan jalan". Ini apa? Hhhh. ***

Flores Pos, Rabu 15 Februari 2012

14 Februari 2012

Sekilas Lintas dari Ende ke Mbay (1)


Pantai Nangaba dan Santo Blasius

Oleh Frans Anggal


SUATU siang, di ruang Redaksi Harian Umum Flores Pos, Jalan El Tari, Ende ….

"Nanti hari Jumat kita ke Mbay. Bisa kah?" tanya Pater John Dami Mukese SVD, pemimpin umum.

"Bisa Pater," jawab saya. "Jumat (pekan) depan kah?"

"Tidak. Jumat (pekan) ini."

Dialog itu dua hari sebelum Jumat 3 Februai 2012. Pater Dami sudah dapat kepastian, Bupati Nagekeo Johanes Samping Aoh berada di tempat dan bersedia beraudiensi.

"Berangkatnya jam berapa Pater?"

"Mesti pagi-pagi. Yah ... sekitar setengah tujuh. Soalnya, kita bertemu bupati jam sembilan. Nanti kita sama-sama dengan Pater Alex."

Yang dimaksudkan adalah Pater Alex Ganggu SVD. Imam yang tahun ini akan merayakan pancawindu imamatnya ini dikenal sebagai tokoh di bidang lingkungan hidup. Ia pencerah kesadaran ekologis masyarakat, sekaligus pendorong warga untuk mulai dan giat menanam pohon.

Ke Mbay, Pater Alex mau kasih kuliah mahasiswa program dual modes system (DMS). Ini program percepatan peningkatan mutu akademik para guru agama Katolik yang dibiayai pemerintah. STIPAR Ende ditunjuk sebagai penyelenggara. Tahun ini pesertanya 275 orang. Tersebar pada empat pangkalan belajar: Bajawa, Mbay, Ende, dan Maumere (Flores Pos, Kamis 5 Januari 2012).

Pada hari keberang¬katan, ternyata bukan hanya Pater Alex Ganggu yang ikut. Ada juga Alex lain. Pater Alexander Ola Pukan SVD. Ia imam muda yang baru bergabung ke Flores Pos, di bagian redaksi.

"Saya ajak dia juga. Dia belum lihat Mbay," kata Pater Dami sehari sebelum keberangkatan.

Satu lagi. Imam yang baru saya kenal pada hari keberangkatan.

"Ini Pater Fery," Pater Dami memperkenalkannya ketika saya sudah duduk dalam minibus Suzuki biru. Nama lengkapnya, Pater Frederikus Binsasi SVD. Dia mantan pastor Paroki Boanio. Ke Mbay, kelau via Aegela, pasti melewati wilayah paroki ini. Pater Fery baru dibebastugaskan dari Boanio, dan akan menuju tempat tugas baru.


JARUM jam sudah jauh meninggalkan angka 7 ketika kami star dari kompleks Jalan Melati, tempat saya dijemput. Jam keberangkatan ke Mbay meleset dari target awal setengah tujuh.

"Tadi saya bangun pagi sekali, Pater. Soalnya mau jalan setengah tujuh," kata saya kepada Pater Dami ketika mobil mulai bergerak maju.

"Tadi misa lama sekali," sahutnya memberi alasan. "Ada pemberkatan lilin Santo Blasius."

Misa yang dimaksudkan adalah misa pagi di komunitas SVD, Biara Santo Yosef Ende. Pemberkatan lilin Santo Blasius adalah upacara pemberkatan tenggorokan, yang biasa dilaksanakan pada Pesta Santo Blasius setiap 3 Februari. Dalam upacara itu, imam meletakkan dua lilin bersilang di atas kepala umat atau menyentuh¬kannya ke leher umat sambil memohonkan bantuan doa Santo Blasius dan menyampaikan berkat Tuhan.

Ada sebuah legenda yang sangat dekat dengan pemberkatan ini. Santo Blasius menyembuhkan seorang anak yang tersedak tulang ikan dan nyaris mati. Dalam Ritus Romawi sekarang, imam berdoa, "Semoga berkat doa Santo Blasius, uskup dan martir, Allah membebaskan Saudara dari penyakit tenggorokan dan penyakit-penyakit lain …."

Saya teringat akan sebuah artikel: "St Blasius". Ditulis Pater William P. Saunders. “Sementara kita memohon perlindungan St Blasius terhadap segala penyakit jasmani tenggorokan," tulis guru besar kateketik dan teologi itu, "sepatutnyalah juga kita memohon pelindungannya terhadap segala penyakit rohani tenggorokan: hujat, umpat, makian, fitnah ataupun gosip" (diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas izin The Arlington Catholic Herald).

Mobil terus melaju ke barat, meninggalkan kota Ende. Kian jauh, kian dekatlah kantuk. Ini bagi penumpang yang suka tertidur di atas mobil. Dalam "rombongan" kami, ya, Pater Dami. Dia duduk paling depan. Sebelah kiri sopir Om Vitalis. Selain sebagi ketua "rombongan", dia harus di depan karena pertimbangan praktis. Kalau di belakang, pasti mabuk. Kalau di depan, mabuk tidak, cuma cepat ngatuk dan pulas.

"Pater Dami ini calon pembesar," kata Pater Fery berseloroh. Pembesar yang dimaksukannya adalah pembesar SVD. "Soalnya, beberapa provinsial (SVD Ende) suka tertidur di atas mobil."


LAJU mobil diperlambat ketika kami susuri ruas jalan negara sepanjang tepi muara kali Nangaba. Kami berhenti di tepi selatan jalan, pada posisi pantai Nangaba tampak cukup terbuka.

Di kejauhan, di bibir pantai depan muara, dua alat berat kuning merek Hyundai sedang mengeruk, menumpukkan, dan mengangkut pasir. Ini lokasi yang lagi jadi pro kontra di Kabupaten Ende. Lokasi tambang pasir besi. Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah PT Grand Victory Resources. Aktivitas dua alat berat itu satu dari beberapa kegiatan penyiapan lahan. Baik untuk penampungan pasir besi maupun untuk kantor dan mes.

Untuk penampungan pasir besi, perusahaan menyewa lahan tuan tanah setempat, Siplin Achmad, seluas 1,6 ha. Dikontrak selama 10 tahun, dengan biaya Rp200 juta. "Kontrak sudah dilakukan, dan perusahaan juga memberikan ganti rugi Rp 25 juta untuk tanaman pisang, kakao, dan kelapa milik kami yang ditebas," kata Siplin Achmad (regional.kompas.com).

Di depan tumpukan pasir kerukan alat berat itu, menggenang air payau. Di timurnya menyebul delta, yang sebagian hamparannya berumput. Air payau memiliki keanekaragaman hayati tersendiri. Beberapa jenis ikan yang populer di Indonesia justru hidup di air payau. Di antaranya, ikan bandeng. Ini akan hancur oleh tambang.

Belum lagi bahaya lain. Seperti diingatkan salah seorang anggota DPRD Ende, H. Pua Saleh. Dia bilang, penambangan ini dapat mengakibatkan abrasi besar-besaran di wilayah pantai Nangaba. Pada gilirannya, jalan negara di wilayah itu akan putus dan kebun masyarakat jadi sasaran gelombang. Ia pernah memantau ke lokasi. Tambang itu, kata dia, telah merusak permukaan pantai . Pada sejum¬lah titik, pasir yang digerus meninggalkan kubangan (kupang.tribunnews.com).

Kekhawatiran serupa dikemu¬kakan Kepala Satuan Kerja Pelaksana Jalan Nasional Wilayah IV, OH Tambunan. "… kalau sampai badan jalan ambles atau longsor karena abrasi, kami akan ajukan keberatan kepada perusahaan tambang," katanya. Namun menurut Manajer PT Grand Victory Resources, Zulkifli DM, kekhawatiran itu berlebihan. Jarak bibir pantai hingga badan jalan negara relatif jauh, sekitar 100 meter (Kompas.com Minggu 12 Februari 2012).

Pada beberapa kesempatan, Bupati Ende Don Bosco M. Wangge bilang, yang sedang dilakukan ini bukan eksploitasi, tapi eksplorasi. Ini perlu agar kita tahu pasti kekayaan alam kita.

Begitu juga kata Zulkifli DM. "Ini setingkat eksplorasi, tapi dilakukan bertahap, sesuai dengan izin yang kami pegang. Setelah 6 sampai 8 bulan kami akan melakukan penelitian," katanya (www.nttonlinenews.com)

Luas kawasan eksplorasinya 16 ha. Dari Puu Mbara hingga Nggorea. Yang sekarang sedang digali, kata Zulkifli , bagian permukaan, untuk mengecek kandungan besinya. Dari tumpukan pasir yang ada, hanya 20% yang disuling untuk diambil kandungan besinya. Sedangkan 80% dikembalikan ke tempat semula. "Nanti yang menjadi sampel hanya 20 ribu ton saja," katanya.

Kami meninggalkan perhentian itu setelah mengabadikan beberapa gambar dengan kamera digital. Laju mobil tetap diperlambat. Pagar bambu ratusan meter sepanjang selatan jalan menyulitkan kami menyaksikan kegiatan lain di pinggir pantai Nangaba. Yang terbuka hanyalah sisi utara jalan. Para tukang sedang membangun gedung. Tampaknya untuk kantor dan mes.

Kami terus melintas. Dari arah belakang, seorang satpam memelototi mobil kami penuh awas. Di dalam mobil kami bertanya-tanya: benarkah yang barusan kami saksikan ini hanyalah sebuah ekplorasi? Atau justru sudah eksploitasi? Ekploitasi berkedok eksplorasi?

Hari itu pesta Santo Blasius. Semoga sang santo mendoakan para pemangku kepentingan, agar dibebaskan dari salah satu penyakit rohani tenggorokan. Yakni: pembobohongan. ***

Flores Pos, Selasa 14 Februari 2012

08 Februari 2012

Lebih Jauh dengan Bupati Marianus Sae (5/Habis)


“Menanam Pohon Itu Investasi yang Cerdas”

Oleh Frans Anggal

MELEWATI sedikit pendakian, tibalah kami di punggung bukit. Di sebelah kiri jalan, di kerendahan, ada perumahan warga dan kantor desa. Jelas tertulis pada papan namanya: Desa Sobo 1, Kecamatan Golewa.

"Ini desa baru, hasil pemekaran," kata Bupati Marianus sambil banting setir ke kanan. Mobil mulai merayapi jalan tanah. Agak mendaki.

"Itu di bawah, kompleks sekolah gratis," katanya seraya mengarahkan pandangan ke kiri. Kami melihatnya dari kejauhan. Yang tampak hanya atap sengnya. Mobil terus merayap.

"Yang ini rumah guru," katanya. Lima buah rumah itu terletak persis di pinggir ruas jalan tanah yang sedang kami lalui. Beberapa lelaki sedang berkumpul. Bupati Marianus bertegur sapa dengan mereka. Tiba-tiba seorang wanita muncul dari balik pintu rumah.

"Ae… Ka'e!" sapa Bupati Marianus, pakai teriak. Keduanya berbicara gunakan bahasa daerah. Saya tidak mengerti, kecuali satu kata itu: "ka'e" yang berarti kakak. Sepanjang jalan dari Bajawa hingga Zeu, sapaan kekeluargaan seperti itulah yang Bupati Marianus gunakan setiap kali bertegur sapa dengan siapa saja yang dijumpainya. Saya menduga, wanita itu guru atau istri guru pada sekolah gratis itu.

Seperti pernah diwartakan Flores Pos tiga tahun silam, pendidikan gratis deselenggarakan Flores Village Development Foundation (FVDF) di Zeu. Ketua yayasannya Marianus Sae. Latar belakangnya: keprihatinan terhadap banyaknya anak putus sekolah dasar. Lahannya 10 ha, hibah murni dari suku Langa, tanpa ganti rugi.

FVDF sendiri beranggotakan 7 orang. Lima di antaranya warga negara asing: 4 dari Australia, 1 dari Amerika Serikat. Seluruh kebutuhan sekolah ditanggung yayasan. Pakaian seragam, sepatu, uang sekolah, dll. Tiap hari anak-anak diberi makan siang.

Tahap pertama telah dibangun dua kelas TK dan dua kelas SD. Nanti akan dibangun gedung untuk SMP, SMA, dan SMK. Juga laboratorium, poliklinik, lapangan sepak bola, voli, dan bengkel kayu. Rumah guru 33 unit. Yang sudah dibangun dan ditempati 5 buah.

Yang ditekankan dalam pendidikan gratis ini adalah bahasa asing, paling kurang bahasa Inggris. Guru yang direkrut harus bisa berbahasa Inggris. Sekolahnya mulai beroperasi 2009, setahun sebelum Marinaus Sae jadi bupati.

"Anak sekolah di sini sudah bisa bahas Inggris," kata Bapati Marianus.


MOBIL memasuki hamparan lahan yang agak datar. Kiri kanannya penuh tanaman jagung, setinggi 1-2 meter. Mobil terus melaju, lahan makin datar. Selanjutnya membelok ke kanan. Duhai! Mata tertumbuk pada pepohonan. Tertanam rapi, lebat, hijau, dan tak terhitung jumlahnya.

Sejauh mata memandang, yang tampak adalah jati emas dan mahoni. Maklum, jumlahnya mencapai 54.800 pohon. Tengah subur-suburnya tumbuh di atas lahan 45 ha, dengan jarak tanam 2 x 3 meter.

Memilih jatih emas tentu ada dasarnya. Jati emas (Fast Growth Golden Teak) memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan kayu jati lokal. Daya tumbuhnya cepat. Tingkat kelurusannya tinggi, mudah untuk pengerjaan masinal. Seratnya lurus. Warnanya kuning keemasan. Ini jadi trend setter dalam tradisi warna furnitur di Amerika, Eropa, dan Jepang. Dengan masa panen yang cepat 5 sampai 15 tahun, jati emas dikenal sebagai tanaman jenis keras yang berumur pendek, tidak seperti jati lokal yang masa panennya pada umur 40 tahun.

Adapun mahoni (Swietenia macrophylla), kualitas kayunya berada sedikit di bawah kayu jati, sehingga sering dijuluki sebagai primadona kedua dalam pasar kayu. Kayunya keras dan sangat baik untuk meubel, furnitur, barang-barang ukiran, dan kerajinan tangan. Sering juga dibuat penggaris karena sifatnya yang tidak mudah berubah.

"Kita jalan terus ke sana," kata Bupati Marianus usai kami mendecak-kagumi tanaman jati pada blok pertama. Mobil menerjang belukar ilalang setinggi 1-2 meter. Kami mengira ia berjalan sembarangan. Ternyata tidak.

"Ini semua ada jalannnya, hanya belum dibersihkan," kata Bupati Marianus.

Keluar dari belukar ilalang, mobil menikung ke kanan, masuk ke blok lain. Lalu berhenti. Kami semua turun. Ini hutan mahoni. Terhampar hingga tak terlihat lagi ujungnya. Saya coba ukur diameter pohonnya. Pas satu lingkaran jari dua tangan, sekitar 20 cm.

"Ini umurnya berapa Pak Bupati?"

"Dua tiga tahun."

"Tingginya?"

"Sekitar 8 meter."

Baru 2-3 tahun, tingginya sudah sebegini. Apalagi kalau sudah siap panen.

"Panennya pada umur 16-18 tahun," kata Bupati Marianus. "Tinggi maksimalnya 30 meter. Diameternya 60-80 cm."

Itu mahoni. "Kalau jati emas, usai panennya 20 tahun," katanya. "Kalau kelurusannya dijaga, diameter 60-70 cm dengan tinggi 5 meter bisa hasilkan 1 kubik. Harganya sekarang Rp12,5 juta."

Hitung saja. "Tanam 1.500 pohon, sisa 1.000 pohon, hasilnya Rp12,5 miliar."

Bagaimana dengan biaya perawatan dll? Untuk 54.800 pohon di atas lahan 45 ha hingga panen nanti, Bupati Marianus sudah hitung. Total biaya perawatan tambah gaji karyawan 15 orang bisa tembus Rp2 miliar. Gaji terendah karyawannya Rp1 juta per bulan.

Mahalnya biaya perawatan! "Apa artinya Rp2 miliar dibanding ratusan miliar?" jawabnya. "Sekarang saja dari Bali sudah ada yang tawar (mau beli) Rp400-500 ribu per pohon. Saya tolak."

Menurut Bupati Marianus, kita capek hanya 5 tahun pertama. "Tahun ke-5 tak ada perawatan lagi karena sudah tidak ada rumput."

Sudah bisa dibayangkan, seperti apa kaya rayanya seorang Marianus Sae belasan tahun yang akan datang. Tentang ini, ia ulangi komentar seorang menteri. Kata menteri itu, "Belasan tahun lagi, Pak Marianus ini tidak hanya tidur di atas uang, tapi uang tidur di atas dia!"


REMBANG petang. Kembali dari kebun jati emas dan mahoni, kami mampir di rumah Bupati Marianus. Sebuah rumah beratap joglo. Di depannya ada bak ikan, dua kolam. Para tukang sedang sibuk mengelas kerangka baja untuk rumah panggung di atas dua kolam itu.

"Kalau sudah jadi, nanti kita bisa duduk di tengah kolam sambil mancing," kata Bupati Marianus kepada Pater John Dami Mukese SVD. Pemimpin umum Flores Pos ini angguk-angguk sambil tertawa renyah.

Kami ngobrol lama di pinggir kolam itu sebelum diajak Ibu Maria Moi Keu masuk rumah untuk minum dan santap malam.

"Menanam pohon itu investasi yang cerdas." Itu kata-kata Bupati Marianus di kebun, yang masih terngiang di telinga saya hingga kami duduk minum.

"Setiap tahun Indonesia kehilangan jutaan hektare hutan," lanjutnya. "Sementara program penenaman pohon banyak yang mubazir. Sepuluh tahun lagi Indonesia tak bisa ekspor kayu. Andalan kita Kalimantan, Sumatera, Papua, tapi dieksploitasi besar-besaran."

Dia benar. Laju deforestasi (kerusakan hutan) di Indonesia gila-gilaan. Penebangan mencapai 40 juta meter kubik setahun. Padahal, laju penebangan yang sustainable (lestari berkelanjutan) sebagaimana direkomendasikan Departemen Kehutanan menurut World Bank adalah 22 juta kubik meter setahun.

Di tengah ketersediaan yang pasti langka akibat deforestasi besar-besaran itu, kayu tentu akan semakin mahal. Harga jati saja selalu naik tiap tahun, sekitar 20-27%. Maklum, kayu adalah komoditas terbesar ketiga yang diperdagangkan di dunia setelah minyak mentah dan gas.

Tidak salah. Menanam pohon itu investasi yang cerdas. Dan kecerdasan itu telah kami saksikan di Zeu. Di kebun Bupati Marianus Sae. ***

Flores Pos, Rabu 8 Februari 2012

07 Februari 2012

Lebih Jauh dengan Bupati Marianus Sae (4)


Sopir Kami Pak Bupati

Oleh Frans Anggal

JELANG jam 5 sore audiensi berakhir. Kami pamit dari rumah jabatan bupati, kembali ke penginapan di kevikepan. Namun hanya sebentar, hanya untuk salin pakaian. Kami akan segera ke Zeu. Ini lokasi yang terletak tidak seberapa jauh dari tempat pemandian air panas Mengeruda di Soa, 25 km arah utara kota Bajawa.

Ke Zeu itu di luar agenda audiensi. Awalnya, beberan Bupati Marianus tentang Membangun Ngada dari Desa. Ia menyebut Zeu sebagai tempat pertama program Perak diluncurkan tahun 2007, ketika dia masih sebagai wirausahawan murni. Zeu itu lokasi kebunnya, sekaligus tempat tinggalnya sebelum ia masuk kota Bajawa, 2010, mendiami rumah jabatan bupati. Dari kebun inilah ia merancang masa depan Ngada.

Pater John Dami Mukese SVD tertarik. Pemimpin umum Flores Pos ini menanyakan kemungkinan curi-curi waktu ke Zeu. Bak ketemu ruas dengan buku. Keinginannya disambut gembira oleh Bupati Marianus.

"Baik, Pater. Sebentar kita sama-sama pergi ke sana," katanya beberapa saat sebelum kami pamit.

Dalam bayangan kami, kami akan gunakan dua mobil. Bupati tentu saja dengan mobilnya, sedangkan kami akan tetap gunakan mobil Daihatzu Taft Hi Line yang dikemudi Om Flavi dari Ende. Karena itu, setibanya di penginapan diantar mobil bupati, Pater Dami lanngsung mengingatkan Om Flavi agar segera bersiap-siap menuju Zeu.

Tidak lama berselang usai kami bersiap-siap, sebuah mobil hitam tampak meluncur dari arah rumah jabatan bupati. Di pertigaan depan Gereja Paroki Mater Boni Concilii (MBC), mobil itu tidak membelok ke kiri atau ke kanan, tapi lurus terus masuk pekarangan paroki, lalu mengambil haluan menuju pekarangan kevikepan tempat kami sedang berdiri menunggu.

Makin dekat, mobil hitam itu makin jelas. Toyota Kijang Innova, berpelat hitam, bernomor polisi DK 953 FG. Saya mengira yang datang itu sopirnya bupati, mungkin mau sein kami untuk segera jalan. Meleset! Si sopr itu ternyata Bupati Marianus sendiri. Ia didampingi istrinya. Pasutri ini datang menjemput kami. Maka, ke Zeu, kami hanya pakai satu mobil, Toyota Kijang Innova itu. Sopir kami pun bukan lagi Om Flavi, tapi Pak Bupati.


DI balik setir, Bupati Marianus begitu santai. Ia mengenakan celana Jeans biru muda, dipadu baju kaus berkrah, lengan panjang, bermotif belang-belang putih bergradasi biru. Sepatunya kets, putih, bertali.

Dalam balutan pakaian santai itu, pria kelahiran Mangulewa 8 Mei 1962 ini tampak atletis. Dadanya bidang. Perutnya tidak gendut. Pinggul dan pahanya kukuh. Lengannya padat berotot. Seperti olahragawan saja, pikir saya. Belakangan baru saya tahu, dia memang olahragawan. Seorang pesepak bola.

Ia pernah masuk klub sepak bola Tornado (Divisi III) Denpasar, 1992-1994. Klub Permata Putra (Divisi I) di Tuban, 1992-1994. Klub PSN Ngada (El Tari Cup) di Kupang, 1995. Pernah jadi Kepala Pelatih PS Poker di Kerobokan, Kuta, 2001-2003. Sebagai Wakil Ketua II Bidang Kepemudaan dan Olahraga Ikatan Keluarga Besar Ngada di Bali (2004-2006), ia membentuk Klub Sepak Bola Bintang Timur di Denpasar yang terdiri dari campuran pemain lokal dan asing, untuk mengikuti turnamen sepak bola internasional di Bali.

"Para penggemar sepak bola Ngada, khususnya yang berada di Bali mengenal beliau sebagai sosok yang berkomitmen tinggi untuk mendukung dan memajukan persepakbolaan Ngada dalam event-event daerah maupun nasional," tulis blog spot Membangun Ngada dari Desa (http://muluscenter.blogspot.com).

"Pecinta olahraga ini tak segan-segan turun langsung dalam pertandingan-pertandingan yang dijalankan oleh anak-anak Ngada dan menyokong tumbuh-kembangnya tunas-tunas baru atlet sepak bola Ngada. Di bidang olahraga, Marianus juga mensponsori pengembangan olahraga berkuda di Ngada."

Santainya Bupati Marianus di balik setir, imbang dengan penampilan istrinya, Maria Moi Keu. Wanita asal Soa ini juga berpakaian santai mati punya. Ia bercelana pendek abu-abu bersaku banyak. Atasannya kaus oblong biru muda bergaris-garis merah. Rambut ikalnya dikat ala kadarnya. Kalung dan giwang masnya tidak mencolok.

Seperti pasutri ini, saya dan Pater Dami pun berpakaian santai. Kaus berkrah. Bedanya, kami berdua tetap berjaket, siapa tahu dingin di Zeu.

Duduk di belakang kursi pasutri ini, kami mudah amati gerak-gerik sopir.


KELUAR dari pekarangan kevikepan, mobil membelok ke kanan, ke arah timur, berkelok-kelok untuk selanjutnya menikung ke utara.

"Kita akan lewat jalur pendek," kata Bupati Marianus sambil tetap berkonsentrasi di belakang kemudi.

Jalur pendek yang dimaksudkannya adalah jalur yang baru dibuka. Menuju Bandara Soa, lewat jalur ini orang lebih cepat sampai. Jarak tempuhnya dari Bajawa sekitar 12 km. Lebih pendek dibandingkan dengan jalur lama yang berjarak kurang lebih 25 km.

Tingkat kesulitan jalur pendek ini lumayan juga. Berliku dan penuh kemiringan. Melewati hutan bambu dan kebun-kebun warga.

Sepanjang jalan kami berpapasan dengan warga. Ada yang sedang bekerja. Ada yang sedang ngobrol. Ada yang sedang pulang dari kebun. Pada setiap titik itu, mobil diperlambat. Sesekali berhenti sejenak. Bupati Marianus menyapa siapa saja yang dijumpainya. Sapaanya pakai teriak khas Ngada, "Oeee!" Sebaliknya, warga yang melihatnya pasti menegurnya pula penuh keceriaan, "Oeee!"

Mereka bertegur sapa dalam bahasa daerah. Sayang, saya dan Pater Dami tidak paham. Tapi dari konteksnya bisa ditangkap, mereka saling bertanya apa kabar, sedang buat apa, mau ke mana.

Ini langka. Seorang bupati bertegur sapa dengan rakyatnya hampir tanpa jarak. Begitu los, cair, enak melepaskan humor dan saling menggoda. Tertawa mereka pun renyah dan sesekali meledak-ledak.

Mobil terus melaju dan akhirnya masuk Zeu. Mobil berhenti di tengah jalan, lurus dengan gerbang masuk sebuah rumah. Beratap joglo, berdinding kuning gading bercampur biru.

“Ini rumah kami,” kata Bupati Marianus.

Ibu Maria Moi Keu turun dari mobil. Setelah pamitan, dia langsung masuk pekarangan rumah. Kami bertiga lanjutkan perjalanan. Menuju kebun.
.
Di sebuah ruas jalan sebelum masuk kebun. Di depan, di atas sebuah deker menjelang tanjakan, seorang ibu sedang berusaha memangkas bambu yang patah melengkung memalang badan jalan. Ia tampak kesulitan melepaskan bambu itu dari patahannya. Bupati Marianus hentikan mobil.

"Saya bantu dia dulu," katanya mohon permisi. Ia tinggalkan saya dan Pater Dami dalam mobil. Ia keluar sambil menenteng parang yang panjangnya hampir sepanjang lengannya. Dan pasti juga sangat tajam, dilihat dari kiluannya.

Sesampai di tempat si ibu, ia langsung bertindak. Ia ambil alih perkerjaan. Sang ibu kini berdiri menyaksikan apa yang dilakukan bupatinya. Bambu itu ia lepaskan dari patahannya hanya dengan sekali parang. Lalu bersama ibu itu ia angkat bambunya dan ia bersihkan ranting-rantingnya. Dalam dua tiga menit sudah selesai.

Saya berusaha mengabadikan adegan ini. Kamera sudah siap di tangan. Tapi begitu saya buka pintu mobil hendak keluar, eh, tidak bisa. Pintunya masih dalam keadaan terkunci. Takut kehilangan momentum, saya bidik dan jepret saja dari dalam mobil menembusi kaca depan.

"Tadi kami mau ikut turun, tapi pintunya tidak bisa dibuka," kata saya ketika Bupati Marianus kembali masuk mobil.

"Maaf, tadi pintunya masih terkunci," katanya sambil atur posisi untuk kembali menyetir. Kebun sudah di depan mata. ***

Flores Pos, Selasa 7 Februari 2012

06 Februari 2012

Lebih Jauh dengan Bupati Marianus Sae (3)


“Karena Malu, Saya Ganti Nama Jadi Aris”

Oleh Frans Anggal

KOPI dalam cangkir putih itu tidak lagi kepulkan uap. Sudah tidak panas. Setengah jam lewat, kami belum menyeruputnya. Bupati berapi-api bicara sampai lupa persilakan kami minum. Sejurus kemudian, barulah ajakan itu tiba.

"Mari Pater, kita omong sambil minum."

Ia lanjutkan beberan tentang Membangun Ngada dari Desa. Sangat terasa, ia prihatin dan peduli terhadap orang kecil, orang desa, orang miskin.

"Rupanya perhatian terhadap orang kecil ini ada kaitan dengan pengalaman hidup Pak Bupati," kata saya menyela.

"Benar," jawabnya.

Ia pun mulai kisahkan hidupnya. Kisah seorang anak miskin dan yatim piatu, yang sengsara tapi ulet, dan akhirnya kaya, lalu jadi bupati.

"Saya dari kecil orang tua tidak ada," katanya mengawali cerita. "Saya yatim piatu. Dipiara om dan tanta.

"Tamat SD, saya masuk SMP PGRI di Bajawa, tamat 1982. Sambil sekolah, saya kerja di tempat pembuatan bata merah CV Galeta. Pagi-pagi saya bangun kerja, gali tanah, campur semen, cetak bata. Jam 12 mandi, ke sekolah. Di sekolah saya sering ngantuk. Guru sering pukul. Puji Tuhan, saya tak pilih jadi pencuri, perampok.

"Saya kerja di bata merah sampai tampat SMA Negeri Bajawa, 1985. Di SMA, sekolahnya pagi, sorenya kerja. Maka, tiap setengah empat pagi saya bangun, belajar. Setengah enam saya mandi, makan, ke sekolah. Ini terpola dari dulu. Maka sekarang setengah tujuh saya sudah di kantor. Saya beri tahu staf saya, belajarlah dari ayam. Rezeki itu datang pagi hari.

"Dari SMA, saya ke Kupang, 1986. Di sana jadi buruh gedung SDI Kelapa Lima. Lalu kuliah, sambil kerja. Prinsip: SMA saya bisa, kenapa kuliah tidak. Saya daftar di FKIP Undana jurusan Adminstrasi Pendidikan. Lulus. Sambil kuliah, saya kerja gali sumur.

"Berhenti gali sumur, saya tidak dapat uang. Tanta dari Bajawa kirim saya brenebon. Brenebon abis, saya sengsara. Tidak makan. Pulang kuliah saya hanya minum air lalu tidur. Itu selama 3 hari 3 malam. Akhirnya saya tidak sadarkan diri. Untung ada yang tolong, kasih minum saya gula tinggi dengan cara cungkil gigi, buka paksa mulut saya. Saya bisa hidup.

"Suatu hari ada yang tawari saya kerja di Asuransi Bumi Asih Jaya. Saya ikut pendidikan seminggu, lalu cari nasabah. Dapat. Ada yang masuk 3,4 juta rupiah. Saya dapat komisi 1 juta 320 ribu. Saya rasa macam melayang. Kacab ajak saya beli sepeda motor. Kerja lancar. Tiga bulan kemudian saya jadi pegawai tetap. Gaji 600-700 ribu per bulan tambah komisi. Hidup berkecukupan. Cewek-cewek mendekat. Waktu miskin tidak. Lepas kuliah, saya ke Bali.

"Di Bali, pertama saya kerja cleaning service di perusahaan kargo (Interpec Jasa Tama Semesta di bidang ekspor impor). Satu bulan kemudian, saya jadi kurir antar-antar surat. Lalu tugas di air port sebagai tukang angkut barang. Dua bulan di situ, saya dipindahkan ke bagian reservasi. Dua bulan kemudian jadi manajer di air port. Tiga bulan kemudian ke customer service yang khusus layani orang Barat. Maka saya perdalam bahasa Inggris.

"Tak lama kemudian saya pindah ke document department. Lalu manajer dokumen. Lalu manajer marketing. Satu tahun 3 bulan kemudian jadi kacab. Dikasih rumah, mobil. Dua bulan kemudian, seorang pelanggan asing bilang ke saya, 'You are stupid. Why do you still work here? Kamu sudah tahu semua,’ katanya.

"Saya pun mundur. Buka usaha ekspor impor sendiri. Flobal Express. Singkatan dari Flores Bali. Lalu ubah jadi PT Mansada Dirgantara.

"Tahun 1994 bupati Ngada Yoachim Reo ke Denpasar. Cari anak-anak Ngada yang bisa bangun Ngada. Dia ajak saya pulang. Saya pulang. Juklaknya kelola tempat pemandian air panas Mengeruda, di bawah PT Ngada Paradise yang saya pimpinan. Kontrak 30 tahun. Investasi saya 450 juta dolar AS atau sekitar Rp4 miliar. Saya tata tempat itu, yang masih hutan belukar. Begitu mau finishing, suksesi. Pak Yoachim Reo diganti Pak Nani Aoh (Joahanes Samping Aoh). Saya pendukung Yoachim Reo.

"Pak Nani bilang, kontrak harus dibuat ulang. Sebab, tak ada persetujuan DPRD. Saya gulung tikar. Bangkrut. Saya kerja sawah di Soa. Tahun 1997.

"Tahun 1998 saya putuskan kembali ke Bali. Dengan uang di tangan Rp200 ribu, baju 5 potong, celana Jeans 3 potong. Naik bus. Sampai di terminal Denpasar, uang tinggal Rp10 ribu lebih. Saya beli koran Bali Post, cari iklan lowongan kerja.

"Di iklan ada lowongan di bagian ekspor impor, tapi mesti ada surat pengalaman kerja. Saya tidak punya. Lowongan lain, persyaratannya sederhana: yang penting mau kerja. Saya ke sana, naik ojek. Ternyata itu bengkel las. Mau mundur, uang tinggal Rp3.000 setelah datang naik ojek Rp7.000. Akhirnya saya masuk. Gaji Rp250.000. Tinggal di dalam, makan di dalam. Penuh debu.

"Saya malu. Seorang bekas direktur perusahaan ekspor impor jadi buruh bengkel las. Karena malu, saya ganti nama jadi Aris. Kerja pertama saya di bengkel ini, tukang gerinda. Lalu naik jadi pembantu tukang.

"Suatu waktu bos pemilik bengkel dan pelanggan orang Prancis bertengkar. Keduanya tidak saling mengerti. Bos pake bahasa Indonesia, orang Prancis itu pake bahasa Inggris. Saya bisa bahasa Inggris. Saya selesaikan masalah mereka. Rupanya karena itu bos pekerjakan saya di kantor bengkel.

"Selanjutnya saya undurkan diri, tahun 2000. Buka bengkel las sendiri untuk usaha furniture. Order pertama Rp40 juta lebih. Uang mukanya Rp25 juta. Dari situ usaha berkembang. Omzet ekspor setahun bisa belasan hingga dua puluh miliar rupiah. Di bawah CV Soatri Iron, saya produksi dan ekspor sendiri furniture. Keahlian saya di eskpor. Usaha ini sempat sepi saat Bom Bali, 2002.

"Tahun 2006, besi berkurang. Kebanyakan besi campur kayu untuk pembuatan meja. Sulit cari kayu jati. Pernah cari hingga Kupang, tapi kualitasnya kurang bagus. Saya ke Labuan Bajo. Banyak kayu bagus-bagus, milik Pater Wasser (Pater Ernest Wasser SVD). Dari situ saya mulai pikir, jangan hanya tebang. Perlu tanam. Maka saya beli tanah. Ada 48 sertfikat. Termasuk sebuah pulau, Pulau Tetawa, di perairan Manggarai Barat

"Di Ngada, saya buka kebun di Zeu (Desa Sobo I, Kecamatan Golewa), 45 ha. Saya tanam kayu. Tapi saya tidak mau sendirian. Saya lakukan sosialisasi pribadi dari desa ke desa tentang keuntungan tanam kayu. Masyarakat termotvasi. Lalu saya kirim bibit.

"Tahun 2008 saya masuk politik. Kebetulan PAN di Ngada bermasalah. Saya diminta orang PAN pusat untuk fasilitasi musdalub. Saya bawa 200-an karyawan saya untuk jaga musdalub. Saya di luar ruangan. Malamnya saya dipanggil masuk. Semua peserta musdalub sepakat minta saya jadi ketua PAN. Itu terjadi pada jam 8 malam, tanggal 8, bulan 8, tahun 2008."

Dengan kendaraan politik inilah Marianus Sae bersama pasangannya Paulus Soliwoa (paket MULUS) maju ke pemilukada Ngada 2010. Paket ini menang hanya dalam sekali putaran, mengalahkan 7 paket lain. Rakyat Ngada tahu siapa yang mereka pilih. ***

Flores Pos, Senin 6 Februari 2012

Lebih Jauh dengan Bupati Marianus Sae (2)


“Membangun Ngada dari Desa”

Oleh Frans Anggal

PENGHEMATAN di pos perjalanan dinas dan biaya operasional kendaraan dinas punya tujuan khusus, kata Bupati Marianus Sae. Dana dialirkan ke desa.

"Tag line kami adalah Membangun Ngada dari Desa," katanya.

Dalam bingkai Membangun Ngada dari Desa, meluncurlah beberapa program. Ada Perak: Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Ada JKMN: Jaminan Kesehatan Masyarakat Ngada. Ada Penguatan Koperasi. Ada Pelangi Desa: Percepatan Pelayanan Infrastruktur Desa. Ada Beasiswa Anak Desa.

Program Perak diluncurkan pertama kali pada 2007. Saat itu Marianus masih sebagai wirausahawan murni. Belum masuk politik. Baru pada 2008 ia jadi ketua PAN Kabupaten Ngada dan pada 2010 maju bertarung dan menang dalam pemilukada

Perak diluncurkan di Zeu. Ini lokasi kebun, dekat Soa, sekitar 25 km arah utara kota Bajawa. Di kebun di Desa Sogo I Kecamatan Golewa inilah Marianus bertempat tinggal, sebelum masuk kota Bajawa mendiami rumah jabatan bupati. Dari kebun inilah ia rancang masa depan Ngada. Merancang Ngada dari Zeu. Sebelum Membangun Ngada dari Desa.

Perak di Zeu itu berupa bantuan babi 400 ekor dan sapi 50 ekor bagi kepala keluarga (KK) miskin.

"Sapi anak pertama untuk saya. Anak kedua untuk si KK miskin. Anak ketiga untuk saya. Anak keempat dan seterusnya untuk si KK miskin. Tahun 2008, saya luncurkankan lagi 150 ekor, jadi 800 ekor. Ini menyebar. Diberi cap MS. Dengan demikian mudah diawasi," kisahnya. MS itu singkatan namanya.

"Saat saya jadi bupati (2010), Perak hanya dipertegas. Perak sekarang jadi hibah murni. Dengan syarat, anak 1, 2, 3 tidak boleh dijual. Setelah itu boleh dijual. Bila dijual, saya proses."

Untuk menyukseskan Perak, kades mendapat insentif Rp500 ribu. Namun, "Insentif ini berbasis kinerja. Bila ada yang tak beres, (insentifnya) saya tahan."

Bupati ini merasa punya dasar untuk bersikap dan bertindak tegas. "Perak ini sudah di RPMJ, diperdakan."

Tidak gampang, tentu. Salah satu tantangannya adalah pola hidup masyarakat. Ini terkait dengan adat istiadat. Budaya pesta cenderung korbankan banyak hewan. Mimpi buruk bagi sapi-sapi Perak.

"Saya mau larang sembelih hewan berlebihan saat pesta. Ini sedang dibahas."


ITU soal Perak. Bagaimana dengan Jaminan Kesehatan Masyarakat Ngada (JKMN)?
Bupati Marinus tidak jelaskan program ini secara khusus.

Sejauh diwartakan Flores Pos, JMKN itu---sesuai dengan namanya---diperuntukkan khusus bagi masyarakat Ngada. Ini jaminan kesehatan di luar Askes dan Jamkesmas. Pemkab alokasikan Rp6 miliar. Meski terasa belum cukup, jumlah ini sudah sangat membantu masyarakat (Flores Pos Jumat 15 Juli 2011).

Bagaimana dengan program Penguatan Koperasi? Konkretnya adalah pengucuran dana, kata bupati. Tanpa langkah konkret ini, omong kosong sebuah provinsi akan jadi provinsi koperasi.

Ia mengkritik kepala daerah yang langkahnya seremonial belaka. Menghadiri RAT koperasi ini dan itu tanpa mengucurkan dana bagi koperasi, lalu menyebut provinsinya provinsi koperasi.

Bagaimana pula dengan program Pelangi Desa? "Ini (kurang lebih) sama dengan Perak," kata bupati. "Cuma, kepentingannya di tingkat dusun. Kalau PNPM, kepentingannya di tingkat kecamatan."

Dalam program Percepatan Pelayanan Infrastruktur Desa ini, "Uang (digunakan) hanya untuk beli material. Tenaganya, swadaya. Warga desa sendiri yang kerja. Pasti efisien dan kuat. Jangan cuma Rp50 juta (dananya), pake kontraktor."

Satu lagi: program Beasiswa Anak Desa. Konkretnya, "Anak-anak miskin disaring di kecamatan," kata bupati.

"Untuk studi kedokteran, kita rekrut 1 orang tiap kecamatan. Tiap tahun kita kirim 9 orang. Kalau 5 tahun, kita sudah ada 45 calon dokter."

Menurut bupati, selama ini, untuk anak miskin, masuk perguruan tinggi itu sesuatu yang 'abstrak'. Apalagi untuk jadi dokter.

"Ketika ruang ini kita buka, ternyata mereka mampu. Ada kebanggaan. Anak orang miskin, dari rumah reot, bisa jadi dokter."


DENGAN program-program itu, locus kiprah Bupati Marianus Sae jelas: desa.

"Ketika desa maju maka kecamatan maju, daerah maju, negara maju," katanya.

Sedangkan focus-nya: perbaikan ekonomi. "Ketidakmampuan ekonomi berdampak pada ketidakmampuan pendidikan dan kesehatan."

Perbaikan ekonomi ini harus dari bawah. Dari desa. "Bila tidak, kesenjangan makin dalam."

Karena itu, masuk akal, ketika ia berikan perhatian nyata dan luar biasa bagi para kades selaku ujung tombak di lapangan. Ia berikan dari apa yang menjadi haknya.

Seperti pernah diwartakan beberapa media, Bupati Marianus mengalihkan insentif pajak bumi dan bangunan (PBB) bagi para kades. Mereka mendapat subsidi masing-masing satu unit sepeda motor dinas. Mereka juga terima Penghasilan Tetap, bukan lagi sekadar Tunjangan Kurang Penghasilan. Sekarang, di Ngada, gaji kades Rp1 juta. Sekdes (non PNS) Rp900 ribu. Kaur Rp750 ribu. Pamong Rp500 ribu. Ketua BPD Rp650 ribu. Waket BPD Rp500 ribu. Sekretaris BPD Rp450 ribu

"Insentif PBB itu hak bupati dan wabup," katanya. "Ada regulasinya. Tahun ini (insentif PBB 2011) besarnya Rp2,4 miliar. Saya bisa beli mobil mewah tiap tahun (dengan insentif sebesar ini). Tapi tidak. Saya beli motor untuk kades. Tahun depan (dari insentif PBB 2012) saya beli motor untuk kades yang belum dapat, lalu untuk kepala sekolah."

Dengan pengorbanan seperti ini, ia mengaku makan hati setiap kali menyaksikan ketidakbecusan pengelolaan keuangan di daerah. Sekadar contoh, ia pernah marah besar mendengar laporan keuangan dari PDAM.

"Pemasukannya Rp2,1 miliar. Pengeluarannya Rp2,8 miliar. Ini aneh! Pantas dilempari batu! Air gratis, koq rugi? Pedagang air saja untung, padahal air ia beli lalu jual."


KALAU sudah mulai omong tentang ketidakbecusan pengelolaan keuangan, ekpresinya pasti serius. Gesturnya tegas.

Gambaran yang dilansir Pusat Informasi Data Investasi Indonesia (PIDII) terbukti. Tentang Mr. Mariansu Sae, PIDII menulis, "Orang-orang terdekatnya mengenal bapak ini sebagai sosok yang gigih berjuang untuk kemajuan wilayahnya dan kesejahteraan rakyatnya. Penganut Katolik yang taat ini adalah figur pekerja keras, jujur, rendah hati, dan disiplin" (http://pidii.com).

Gambaran lain terungkap dalam tulisan Dahlan Iskan pada Jawa Pos edisi Senin 2 Januari 2012 di bawah judul "Tempat Bersandar Harus Kukuh". Menteri BUMN ini menyinggung laporananya kepada presiden.

"… Saya sempat menyampaikan terobosan yang dilakukan beberapa bupati dari daerah tertinggal. Misalnya, bupati Lebak yang berambisi menuntaskan ketertinggalannya pada akhir 2013. Juga bupati Ngada di Flores yang sampai mengancam mengundurkan diri kalau DPRD setempat menolak pengalokasian dana APBD untuk program pemberian sapi bagi 18.000 penduduk miskin di kabupaten itu."

"Bupati ini memang istimewa," lanjut Dahlan Iskan. "Mobil dinasnya Kijang tua karena dia memilih APBD untuk mengurangi kemiskinan daripada untuk membeli mobil dinas baru. Dia melihat tidak ada cara lain yang lebih cepat mengentas kemiskinan di Ngada kecuali lewat pembagian sapi dan pembangunan bendungan untuk irigasi di Bajawa." ***

Flores Pos, Jumat 3 Februari 2012

02 Februari 2012

Lebih Jauh dengan Bupati Marianus Sae (1)


“Saya Babat 75% Perjalanan Dinas”

Oleh Frans Anggal

SORE, Jumat 27 Januari 2012, Bajawa terasa sejuk. Ibu kota Kabupaten Ngada itu tidak hujan. Tidak dingin. Kembang aneka warna di pekarangan Kevikepan, tempat kami akan nginap semalam, bermekaran.

Kami sedang nikmati keceriaan itu ketika telepon selular Pater John Dami Mukese SVD berdering. Pemimpin Umum Flores Pos ini mendapat pemastian dari Bagian Humas Pemkab Ngada. Sore itu, katanya, Bupati Marianus Sae siap menerima kami beraudiensi di rumah jabatan.

Tapi, kapan jam persisnya, masih belum jelas juga. Tunggu saja, sampai dubes Polandia tinggalkan rumah jabatan, kata Bagian Humas. Hari itu, Duta Besar Polandia untuk Indonesia Grzegorz Wisniewski singgahi Bajawa dalam perjalanan ke Kabupaten Nagekeo, menghadiri syukur emas imamat Pater Tadeuz Gruca SVD. Sebelumnya, pada hari yang sama, Bupati Marianus Sae disibukkan dengan kunjungan Kapolda NTT. Terbayangkan, betapa padatnya acara sang bupati hari itu.

Kami baru saja selesai bersiap mematut diri, mobil bupati sudah datang menjemput. Petrus Dua, wartawan Flores Pos untuk wilayah Ngada, turun dari mobil itu.

"Pak Bupati sedang tunggu sekarang," kata Piter usai berjabat tangan dengan saya di pekarangan Kevikepan. Segera saya balik masuk penginapan, mengetuk pintu bilik Pater Dami, memberitahukan adanya penjemputan.

Tak lama berselang, Pater Dami muncul dalam setelan batik motif putih hitam ceria.

"Ada bawa kamera Pater?" tanya saya ketika melihat yang dikepitnya hanya sebuah map.

"Aih, benar e, saya lupa." Ia balik lagi ke bilik.


KAMI bertiga meluncur. Jarak tempuh sangat dekat. Hanya melintasi ruas jalan sepanjang sisi lebar Lapangan Kartini. Menikung ke kiri, belok kanan, masuklah kami ke pekarangan rumah jabatan bupati.

"Rumah jabatannya koq masih begini-begini?" saya membatin.

Sungguh, modelnya, ukurannya, masih seperti ketika pertama dan terakhir kali saya datang belasan tahun lalu, pada 1990-an. Saat itu bupatinya Johanes Samping Aoh, kini bupati Nagekeo. Yang sedikit berubah cuma warna dinding dan tata pekarangan.

Terus terang, ini sesuatu yang langka, untuk tidak mengatakannya "janggal", di tengah kegilaan para bupati menyulap rumah jabatan jadi istana megah.

Dan, sore itu, di Bajawa, yang langka bukan hanya rumah jabatan bupatinya. Tapi juga bupatinya, penghuni rumah jabatan itu.

Bupati sudah berdiri menunggu di pintu masuk saat mobil kami berhenti. Lazimnya, menghadapi tamu sederajat, pejabat tunggunya di tempat duduk. Yang ini tidak. Ia tinggalkan tempat duduknya, pergi menjemput dan menyalami tamu di pintu masuk.

"Mari Pater, mari …," katanya ramah, mengarahkan kami ke tempat duduk.


RUANG tamu rumah jabatan itu biasa-biasa saja. Tergolong sederhana jika dibandingkan dengan beberapa rumah jabatan bupati di Flores.

Ruangan berukuran sekitar 5 x 5 meter itu diisi dua set sofa warna cokelat, 6 buah, bisa ditempati 12 orang. Di tengahnya berdiri tiga meja warna kuning gading. Sebuah pohon natal dan bunga plastik tegak pada tiga sudutnya. Dari titik tengah langit-langit, menggelantung lampu kristal tidak seberapa besar. Di dinding sisi kiri pintu masuk, terpajang relief kuningan bergambar enam ekor kuda menarik pedati. Sedangkan pada posisi paling tinggi, di dinding menghadap pintu masuk itu, menggantung patung Garuda Pancasila. Di bawahnya, kiri kanan, gambar presiden dan wapres. Di bawahnya lagi, gambar Bupati Marinaus Sae dan Wabup Paulus Soliwoa.

"Pak Bupati pasti lelah sekali," kata Pater Dami membuka percakapan. Ia sekadar menyentil 'beginilah' kalau jadi orang nomor satu di kabupaten. Bupati membenarkan itu.

"Aduh Pater… tenaga terku¬ras. Kalau salah-salah, bisa drop."

"Ini baru kegiatan di pusat kabupaten. Belum lagi kegiatan di Jakarta," kata Pater Dami. Ia mengkritisi kenyataan begitu seringnya para bupati ke Jakarta. Banyak waktu mereka tersita, tidak hanya oleh kegiatan seremonial di ibu kota kabupaten dan ibu kota provinsi, tapi juga oleh beraneka pertemuan ini itu di ibu kota negara. Akibatnya, berkuranglah waktu dan perhatian untuk masyarakat, khususnya masyarakat di pedesaan.

Bak ketemu ruas dengan buku. Komentar Pater Dami nyambung dengan apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diinginkan Bupati Marianus.

"Betul sekali Pater. Ke Jakarta, saya maunya 4-5 kali saja setahun. Tapi, kita dipanggil, tak boleh diwakili. Ini tak sesuai dengan spirit saya."

Bupati ini paling tidak suka uang negara dihabiskan hanya untuk perjalanan dinas pejabat. Dengan kewenangannya sebagai kepala daerah, kecenderungan pemborosan ini ia lawan.

"Sejak awal (jadi bupati), saya babat 75% perjalanan dinas." Dampaknya? Penghematan luar biasa untuk pos perjalanan dinas.

"Dari Rp28 miliar setahun menjadi hanya Rp5 miliar lebih."

Dalam kaitan dengan gerakan penghematan itu pula, semua mobil dinas wajib diparkir di kantor.


SEJAUH diberitakan Flores Pos, Ngada di bawah Bupati Marianus Sae dan Wabup Paulus Soliwoa merupakan kabupaten kedua di Flores yang punya kebijakan jelas tegas dalam soal penggunaan mobil dinas. Sebelumnya, kebijakan ini jadi anutan Kabupaten Ende di bawah Bupati Don Wangge dan Wabup Achmad Mochdar.

Di Ende, sejak April 2009, semua mobil dinas disimpan di kantor. Bukan di rumah kepala. Maka, tidak terlihat lagi mobil dinas 'berkeliaran' di luar jam dinas untuk urusan bukan dinas.

"Sebelumnya? Alamak! Mobil dinas, sopir dinas, tapi urusannya pribadi," tulis Bentara Flores Pos, Sabtu 24 Oktober 2009. "Anggaran daerah terkuras. Kasihan juga sopirnya. Kerja di luar ketentuan 7 jam sehari. Syukur kalau dikasih gaji ekstra oleh kepala. Kalau tidak? Dia akan 'makan' apa yang bisa 'dimakan' dari mobil. Yang paling mudah dan rutin, 'makan' bahan bakarnya. Sebagian masuk tangki, sebagian masuk saku."

Bentara Flores Pos itu menyebutkan, kebijakan ini menyelamatkan banyak pihak. "Si kepala diselamatkan dari godaan penyalahgunaan sarana/prasarana daerah. Si sopir diselamatkan dari kesempatan memanipulasi dana kebutuhan mobil. Dia juga diselamatkan dari kesempatan dimanipulasi waktu dan tenaganya oleh kepala. Dan, tentu, daerah diselamatkan dari peluang pemborosan anggaran."

Efek penyelamatan seperti ini pulalah yang kini dirasakan Kabupaten Ngada. Dari sisi penghematan, jumlahnya duilah, bisa bikin kita tercengang. Lihat saja, bagaimana biaya operasional kendaraan dinasnya turun drastis.

"Dari sebelumnya Rp24 miliar setahun, sekarang cost operasional kendaraan dinas turun menjadi Rp3 miliar lebih," kata Bupati Marianus. Ini benar-benar gila. Penghematannya mencapai Rp20-an miliar!

Kata bupati, pelaksanaan kebijakan ini diawasi ketat. Itu tugasnya Pol PP. Termasuk, menjemput PNS yang tidak masuk kantor dua hari tanpa pemberitahuan. Jemputnya pakai mobil ambulans. Kenapa?

"Kalau benar sakit, (si PNS) langsung dibawa ke rumah sakit. Saya tidak main-main dengan disiplin. Jam setengah tujuh saya sudah di kantor." ***

Flores Pos, Kamis 2 Februari 2012