21 Februari 2009

Konsientisasi Belum Optimal

Oleh Frans Anggal

Dalam diskusi “Pemanasan Global, Respon Lokal” yang diselenggarakan Dian/Flores Pos bersama FIRD, mencuat kesadaran akan perlunya upaya konsientisasi (penyadaran). Kalau semua pihak memiliki kesadaran yang sama maka langkah bersama mudah diayunkan untuk menyelamatkan dunia dari ‘kiamat ekologis’.

Pendidikan ekologi sebenarnya sudah masuk dalam kurikulum sekolah kita. Juga sudah dilancaran ke tengah masyarakat dengan rupa-rupa cara antara lain dalam bentuk penyuluhan. Apakah ini yang disebut konsienntisasi?

Istilah konsientisasi dibuat terkenal oleh Paulo Freire, pemikir pendidikan asal Brasilia. Konsientisasi merupakan model pendidikan yang membebaskan yang ditawarkan Freire untuk mengatasi masalah penindasan. Konsientisasi mengacu pada proses di dalamnya manusia bukan sebagai objek atau penerima tetapi sebagai subjek yang mengetahui, menyadari secara mendalam kenyataan sosial-budaya yang membentuk kehidupannya dan sadar akan kemampuannya sendiri untuk mengubah kenyataan itu.

Proyek konsientisasi Freire masuk melalui pemberantasan buta huruf dewasa, bukan dengan pelajaran membaca yang menjejali peserta didik seperti ‘sekolah model bank’ yang dikritiknya. Ia menggunakan metode pendidikan yang berangkat dari pengalaman sehari-hari subjek pembelajar. Jadinya, lebih dari sekadar pemberantasan buta huruf, proyek pendidikan Freire menjadi sebuah gerakan budaya yang menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat.

Kalau kita mau menyelamatkan dunia dari kiamat ekologis, metode konsistisasi Freire dapat diandalkan. Flores-Lembata memiliki Gereja, LSM, kaum intelektual, dan kelas menengah yang terpanggil menyelamatkan keutuhan ciptaan. Yang perlu dilakukan bukanlah sekadar aksi dari atas menara gading yang steril. Freire sendiri menghabiskan beberapa tahun di Guinea-Bissau, Afrika Barat, untuk bersama-sama masyarakatnya belajar dan mencari sistem pendidikan yang sesuai bagi kondisi khas mereka. Contoh lain, para rohaniwan Amerika Latin berani meninggalkan kemapanan gedung paroki untuk tinggal di kampung kumuh berlumpur, di tengah tempat pembuangan sampah berbau busuk, menghayati kemiskinan seraya mengajak masyarakat belajar memperjuangkan hak-hak mereka. Dengan apa? Dengan usaha terus-menerus dalam spiral aksi-refleksi atau konsep praksis Freire yang melibatkan teori dan kerja lapangan, digerakkan oleh energi harapan dan cinta.

Sangat jelas, metode konsientisasi Freire hanya bisa diterapkan kalau orang masuk ke dalam pengalaman tempat ia berinteraksi dengan dunia di mana ia berada. Ini yang belum optimal di Flores-Lembata, sehingga meski dampak buruknya sudah dirasakan berkali-kali dan terus meningkat, toh tetap saja hutan dirusak dan digunduli.

"Bentara" FLORES POS, Sabtu 22 Desember 2007

Tidak ada komentar: