17 Februari 2009

Menjaga Jejak Allah

Oleh Frans Anggal

Pada Desember 2007 akan diselenggarakan Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim. Konferensi berlangsung di Bali. Menyongsong peristiwa ini, Indonesia mencanangkan aksi menanam 79 juta pohon yang dilakukan serentak di seluruh Tanah Air. Di Manggarai, 6 ribu pohon ditanam di Golo Lusang. Di Ngada, 13 ribu pohon ditanam di kompleks SMA Negeri 1 Golewa. Di Sikka, 252.500 anakan nimba ditanam pada sejumlah lahan kering dan sumber mata air.

Perubahan iklim (climate change) yang dipicu oleh pemanasan global kini menjadi isu penting. Perubahan iklim membawa dampak pada gangguan di sektor pertanian dan timbulnya wabah penyakit. Poin pokok yang ditekankan dalam mengantisipasi perubahan iklim global adalah bagaimana agar sistem iklim bumi tidak terganggu dan terus memburuk. Salah satu cara adalah dengan menanam pohon.

Di negeri ini, aksi menanam pohon dilakukan setiap tahun pada Hari Lingkungan Hidup. Tampaknya sekadar ritus dan menjadi proyek. Menanam pohon belum menjadi gerakan masyarakat. Belum menjadi gerakan, karena belum adanya kesadaran ekologis. Belum sadar karena lemahnya penanaman nilai. Di Flores yang mayoritas penduduknya Katolik, peran Gereja, khususnya kaum religius, sangat dibutuhkan dalam menanamkan kesadaran dan penghormatan akan keutuhan ciptaan.

Bonaventura, mengikuti pengalaman St. Fransiskus Asisi, mengembangkan teologi Sakramentalitas Ciptaan, yakni jejak-jejak Kristus dalam dunia ciptaan. Dunia dihuni oleh Yang Kudus. Semua makhluk ciptaan adalah tanda dan pewahyuan Pencipta yang meninggalkan jejak-Nya di mana-mana. Merusak dengan sengaja ciptaan berarti merusak gambar Kristus yang hadir dalam segenap ciptaan. Kristus menderita tidak saja ketika manusia mengabaikan hak-haknya dan dieksploitasi, tetapi juga ketika laut, sungai, dan hutan dirusakkan. Ketika ciptaan diakui sebagai sakramen, yang menyatakan dan membawa kita kepada Allah, maka relasi kita dengan orang lain juga ditantang untuk beralih dari dominasi dan kuasa ke rasa hormat dan takzim.

Dokumen Kepausan yang secara khusus berbicara tentang lingkungan dan masalah-masalah pembangunan diberi judul “Berdamai dengan Allah Pencipta, Berdamai dengan Segenap Ciptaan” (1 Januari 1990). Dokumen ini menegaskan setiap orang Kristen mesti menyadari bahwa tugas mereka terhadap alam dan ciptaan merupakan bagian esensial dari iman mereka (no.15).

Keutuhan lingkungan yang nyata hanya akan dicapai dengan upaya terpadu dari semua pihak. Krisis lingkungan pada dasarnya adalah krisis nilai. Kita membutuhkan suatu model sikap untuk melihat dunia secara berbeda. Kita dapat mulai dari gaya hidup kita sebagai landasan. Kita berharap kaum religius berperan lebih agresif.

"Bentara" FLORES POS, Jumat 30 November 2007

Tidak ada komentar: