Oleh Frans Anggal
Warga suku Paumere yang menghuni Desa Ndeturea dan Sangaroro, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, menolak rencana pembangunan batalyon TNI AD. Mereka tidak akan menyerahkan sejengkal pun tanah.
Ini ketiga kalinya di Ende TNI berhadapan dengan warga dalam urusan tanah bagi kepentingan pengembangan institusinya. Tahun 1999, warga Flores menolak pemindahan korem dari Dili ke Ende. Tahun 2006, petani Desa Kuru, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, menolak pembangunan markas korem atau batalyon di atas lahan garapan mereka. Kini kasus serupa berulang, di desa lain.
Cara memperoleh tanah selalu sama. Dengan alasan tak ada dana, TNI ingin mendapat tanah secara cuma-cuma. Yang terjadi, sebagian orang---biasanya yang mengklaim diri sebagai ‘mosalaki’ pemilik tanah---merelakan penghibahan tanah. Namun saat TNI turun ke lapangan untuk survei, muncul penolakan dari sebagian besar atau seluruh ‘mosalaki asli’ serta masyarakat penggarap. Citra yang terbentuk, TNI selalu salah masuk. Dampaknya, meresahkan warga. Kalau pada awal saja sudah meresahkan, bagaimana masyarakat bisa percaya TNI membawa ‘berkat’ dan bukan ‘kutukan’?
Dalam tiga kali percobaan korem/batalyon masuk Flores, pemahaman masyarakat semakin luas dan mendalam, menukik ke persoalan esensial mendesak atau tidakkah korem/batalyon masuk Flores, tidak lagi sekadar persoalan prosedural bisa atau tidakkah mereka memperoleh tanah. Dari sisi urgensi dan dampaknya, masyarakat pulau ini tidak menemukan alasan yang kuat perlunya korem/batalyon masuk Flores.
Alasan yang dikemukakan Dandim Ende M Shokil saat ini sama dengan yang dikemukakan pendahulunya Henu Basworo ketika menghadapi penolakan petani Desa Kuru tahun lalu. Yaitu strategi pertahanan negara dan peningkatan ekonomi masyarakat. Banyak ulasan di media ini yang menunjukkan alasan itu berlebihan.
Demkian juga dengan pernyataan bahwa kehadiran sebuah institusi resmi pertahanan negara di daerah mana pun harus diterima. Bicara soal pertahanan, tidak ada kompromi dengan masyarakat, katanya. Pertanyaan kita, apakah yang resmi itu selalu identik dengan kebenaran dan kebaikan? Bukankah banyak kesalahan bahkan kejahatan dan lebih daripada itu kejahatan sistemik justru dilakukan secara resmi? Terlalu banyak apa yang disebut dengan kejahatan negara terhadap warga.
Kita menginginkan rencana korem/batalyon masuk Flores perlu diujui secara kritis dan terbuka. Main mutlak-mutlakan tidak masanya lagi di era reformasi yang salah satu spiritnya adalah memberdayakan ‘masyarakat warga’ di hadapan kecongkakan ‘negara’. Tak boleh ada yang ditelan begitu saja, atas nama negara sekalipun.
"Bentara" FLORES POS, Selasa 8 Januari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar