Oleh Frans Anggal
Ada yang menarik dari Natal. Hanya sehari setelah perayaan kelahiran Yesus (25 Desember), Gereja memperingati kematian Santo Stefanus martir pertama (26 Desember).
Stefanus berarti mahkota. Ia adalah pengikut Yesus yang pertama menerima mahkota kemartiran. Ia satu dari tujuh diakon pada masa Gereja perdana yang bertugas menolong para janda serta kaum miskin. Stefanus sangat menonjol karena kemampuanya berbicara dengan khidmat. Para musuh Gereja geram melihat berhasilnya Stefanus memikat banyak orang menjadi pengikut Yesus. Akhirnya, mereka bersekongkol mendakwa dia. Mereka memerintahkan beberapa orang untuk bersaksi dusta di pengadilan Sanhedrin. Mereka mendakwa Stefanus telah menghujat Nabi Musa dan Allah serta menentang Bait Allah dan Hukum Taurat. Namun Stefanus tidak gentar, ia tetap bersaksi tentang Yesus. Akhirnya Stefanus dijatuhi hukuman mati. Para musuh menyeret dia ke luar kota Yerusalem dan melemparinya dengan batu hingga tewas. Karena kemartirannya itulah, Stefanus digelar kudus.
Menemukan ‘Stefanus’ di masa kini pasti sulit. Tapi menemukan kemartiran, pasti bisa. Bahkan kemartiran itu suatu keharusan bila pemahaman kita diubah dari pemahaman tradisional. Gereja Katolik menggunakan sebutan martir untuk laki-laki dan perempuan yang mengalami penganiayaan dan kematian prematur demi membela iman. Pemahaman kemartiran tradisional ini mengesampingkan mereka yang mengalami penganiayaan dan kematian prematur bukan pertama-tama karena membela iman. Mereka itu pribadi-pribadi sederhana, kebanyakan di luar hierarki Gereja, yang mengalami kematian prematur karena solider dengan yang miskin dan mengalami ketidakadilan. Jon Sobrino, teolog pembebasan terkemuka dari El Salvador, menamakan mereka martir politik.
Martir politik adalah sebutan kontemporer yang sejatinya meneruskan tradisi kemartiran Yesus dalam Kitab Suci. Hierarki politik dan religius yang memeluk “illah kematian” membunuh Yesus karena Ia memeluk “Allah kehidupan” dan rakyat tersalib. Yesus menampilkan pribadi Allah yang mengutuk kedosaan dunia yang menyebabkan kematian prematur putra-putri terkasih-Nya. Martir kontemporer berpartisipasi dalam realitas Allah secara aktif atau pasif. Mereka mengalami penderitaan bahkan kematian prematur di dunia kriminal. Penderitaan dan kematian prematur mereka mengekspresikan penderitaan dunia kita saat ini.
Sobrino mengundang masyarakat, terutama hierarki agama, untuk membuka mata dan hati terhadap panggilan tak pernah kunjung henti dari rakyat tersalib. Beriman kepada Allah zaman ini berarti berkolaborasi dengan ”Allah kehidupan” melawan kriminalitas negara yang memuja “illah kematian”. Negeri ini membutuhkan martir politik.
"Bentara" FLORES POS, Kamis 27 Desember 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar