Oleh Frans Anggal
“Kami hidup damai di tanah kami turun-temurun. Setiap generasi mewariskan kedamaian, ketenangan, persaudaraan, dan kekeluargaan. Tidak pernah ada cerita kekerasan, perpecahan, dan perselisihan yang besar. Kalau ada soal di antara kami, kami selesaikan dengan cara damai dalam suasana kekeluargaan. Tanah yang kami diami telah menghasilkan nafkah bagi kami. Generasi kami hidup dari tanah. Tanah adalah nyawa kami. Bau tanah adalah napas hidup. Kami tidak pernah menerima warisan untuk memperjualbelikan tanah kami. Saya minta kepada pihak-pihak luar agar berhenti mengganggu ketenteraman hidup kami. Biarkan kami hidup damai di atas kami sendiri.”
Kata-kata itu diucapkan Kepala Suku Paumere, Andreas Bajo, yang bersama warga sukunya menolak menyerahkan tanah untuk batalyon TNI AD di Kecamatan Nagapanda, Kabupaten Ende.
Kata-kata itu mengungkapkan filosofi dan pengalaman hakiki masyarakat adat setempat dalam hubungan dengan tanah kepunyaannya. Tanah adalah ibu yang memberikan kehidupan. Karena itu, sikap masyarakat menyerahkan tanah bukanlah sebentuk ketidakpahaman atau cerminan kebodohan sebagaimana dilihat sebagian elite politik di Ende selama ini. Sebaliknya, sikap menolak mereka adalah ekspresi kearifan lokal yang mereka pertahankan demi menjaga keberlangsungan hidupnya sendri kini dan generasi yang akan datang.
Masyarakat adat memiliki kearifan lokal menghormati tanah sebagai ibu mereka dan karenanya mereka tidak akan memperjualbelikannya. Mereka tidak menghendaki kesejahteraan sesaat, yang hanya diukur dengan janji jalan raya, air minum, dan listrik kalau batalyon atau korem masuk. Kesejahteraan jangka panjang dengan mengandalkan hidup di atas tanah garapan adalah pilihan mereka. Karenanya, mereka sudah merasa cukup dengan apa yang diberikan alam kepada mereka.
Lagi pula, mengapa masuknya batalyon atau korem menjadi prasyarat hadirnya jalan raya, air minum, dan listrik? Bukankah pembangunan itu tugas pemerintah daerah? Jalan raya, listrik, air minum, dan sebagainya harus ada karena dibutuhan masyarakat. Pemerintah berkewajiban memenuhi kebutuhan itu. Jadi, tentara tak perlu menyibukkan diri dengan mengurus pembangunan bagi rakyat. Pembangunan itu tugas pemerintah daerah. Maka, beralasan kalau Rm Sipri Sadipun Pr menyatakan, “Omong kosong kalau kehadiran tentara akan berdampak pada peningkatan pembangunan.”
Sudah saatnya kita tidak terus-terusan membodohi masyarakat dengan dalih-dalih basi yang tidak bernilai lagi. Kita harus mendidik rakyat agar berpikir terbuka dan kritis dalam membaca setiap kenyataan sosial yang terus berkembang.
"Bentara" FLORES POS, Rabu 30 Januari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar