Oleh Frans Anggal
Mantan presiden Soeharto telah dimakamkan di Astana Giribangun, Solo, berdampingan dengan istrinya. Presiden kedua RI yang berkuasa 32 tahun dan meninggal dalam usia 86 tahun ini telah menjadi sosok konroversial pula.
Soeharto dipuja tapi juga dihujat. Ia dianggap pahlawan tapi juga penjahat HAM berat. Dia digelari Bapak Pembangunan tapi juga salah satu koruptor terbesar di dunia. Dia dianggap sukses hingga meraih penghargaan internasional Medali Emas FAO (21 Juli 1986) dan Penghargaan Kependudukan PBB (8 Juni 1989), tapi juga diuding gagal dalam membangun sistem yang tahan krisis.
Penilain positif umumnya datang dari kalangan akar rumput. Kalau ditanyai, kebanyakan masyarakat kecil menilai Soeharto jauh lebih baik daripada para penggantinya. Mereka umumnya bilang, tidak ada orang kecil yang susah pada saat Soeharto berkuasa. Harga tidak naik seenaknya seperti yang terjadi akhir-akhir ini.
Bisa dimengerti. Ketika berkuasa, Soeharto memang mampu mewujudkan sesuatu yang hilang pada masa Soekarno, sekaligus juga hilang menjelang akhir kekuasaannya, yaitu kejayaan ekonomi. Pembangunan yang meski tidak merata, swasembada pangan, pengendalian laju penduduk, stabilitas nasional, dan keutuhan NKRI merupakan keberhasilan Soeharto saat memimpin. Bagi orang-orang kecil, itu mungkin lebih penting ketimbang urusan lain yang hanya dimengerti sebagian orang.
Masyarakat sederhana mungkin tidak peduli meski tangan Soeharto bersimbah darah. Operasi militer di Timor Leste, Aceh, Papua, dan penembakan misterius adalah tanggung jawab Soeharto. Media luar negeri selalu menyoroti, Soeharto bertanggung jawab terhadap pembunuhan massal yang merupakan salah satu yang terbesar pada abad 20. Hitung saja, saat dia berkuasa, 500 ribu hingga satu juta orang Indonesia dibantai tahun 1965, sebanyak 100 ribu dibunuh di Papua Barat, 100 hingga 200 ribu di Timor Timur, dan puluhan ribu di Aceh dan berbagai tempat lain. Begitu pula dengan pembungkaman media dan orang-orang kritis, serta kasus korupsinya yang hingga kini tak ada penyelesaiannya.
Itulah Soeharto, sosok penuh kontroversi. Di tengah kontroversi itu, antara yang memuja dan yang memfitnah, kita harus bisa menilainya secara objektif dan proporsional. Yang tidak bisa dimungkiri, Soeharto telah berjasa sekaligus penuh dosa. Kita tidak boleh melupakan dua hal ini sekalipun nanti kita mengampuni dia. Kita pantas selalu mengenang jasanya sambil tetap mengingat dosa-dosanya. Jasanya dikenang agar diikuti. Dosanya diingat agar dihindari. Baik jasa maupun dosanya mesti dijadikan pembelajaran bagi kita, bagi bangsa ini, terutama bagi siapa saja yang dipilih rakyat untuk menakhodai negeri ini.
"Bentara" FLORES POS, Selasa 29 Januari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar