Oleh Frans Anggal
Pada 28 Agustus 2006, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan bahwa Freeport bersalah telah melanggar UU Lingkungan Hidup No 23 Tahun 1997. Perusahaan raksasa yang mengeksplotasi emas dan tembaga puluhan tahun di Papua ini diperintahkan memperbaiki sistem pembuangan limbahnya.
Menurut putusan pengadilan yang dalam hal ini memenangkan gugatan Walhi, Freeport telah dengan sengaja menyembunyikan informasi dan memberikan penjelasan palsu dan tidak akurat sehingga menyesatkan masyarakat.
Walhi menggugat Freeport setelah terjadi batu longsor di waduk Wanagon. Freeport membuang sampah batu yang berlebihan dari daerah pertambangan ke danau buatan ini. Longsoran tersebut menyebabkan gelombang air, endapan lumpur dan batu yang berlebihan melimpah ke lembah Wanagon dan menyebabkan banjir di kampung Waa dan Banti, beberapa kilometer dari waduk. Empat buruh bangunan terbawa arus.
Dalam siaran pers Freeport menjelaskan seolah-olah insiden ini dikarenakan tingginya curah hujan. Manajemen perusahaan mengklaim, kecelakaan tersebut tidak membahayakan kesehatan dan lingkungan. Namun Bapedal melaporkan perusahaan menggunakan danau untuk pembuangan ampas asam, dan ketika insiden terjadi, endapan di dalam danau mengandung bahan yang beracun dan berbahaya.
Kasus serupa juga terjadi sebelumnya. Tahun 1999 terjadi tranah longsor. Tapi Freeport tetap menganggap itu dikarenakan tingginya curah hujan. Padahal, menurut penyelidikan Bapedal, salah satu penyebabnya adalah pembuangan limbah secara berlebihan yang dilakukan perusahaan sehari sebelum terjadinya insiden. Perusahaan melakukan pembuangan dua kali lipat jumlah yang diizinkan.
Bukan rahasia lagi, Freeport tidak pernah mau mengakui bahwa ekses dari usaha mereka telah mengakibatkan terpolusinya sungai. Ironisnya, Freeport tetap menolak anggapan bahwa buangan batu atau limbah ke aliran sungai setempat itu beracun.
Di mana-mana, tambang emas selalu berdampak buruk bagi lingkungan. Di mana-mana, perusahaan tambang emas selalu berkelit. Di mana-mana, masyarakat di sekitar lokasi tambanglah yang selalu menjadi korban.
Pertanyaan kita: apakah tambang emas dan tembaga di Lembata nantinya merupakan kekecualian? Jelas tidak. Di mana-mana selalu begitu. Di Lembata pun pasti akan begitu. Lembata perlu belajar. Belajar dari pengalaman Papua dan negeri-negeri yang tercabik oleh kemilau emas. Belajar untuk segera mengambil sikap: menolak. Cegah dini jauh lebih bijak, sebelum semuanya terlambat.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 21 Juni 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar