21 Februari 2009

Sehijau Pohon Natal

Oleh Frans Anggal

Ada suatu kebiasaan yang sudah mendunia menjelang Natal. Memasang pohon Natal sebagai dekorasi. Pohon Natal umumnya dari cemara atau mengadaptasi bentuk cemara. Kebiasaan ini berawal di Jerman abad ke-16.

Saat penduduk Jerman menyebar ke berbagai wilayah termasuk Amerika, mereka kerap memasang cemara yang tergolong pohon evergreen untuk dekorasi Natal di dalam rumah. Orang Jerman di Pennsylvania Amerika Serikat memajang pohon Natal untuk pertama kalinya pada 1830-an.

Pohon (cemara) Natal bukanlah keharusan dari Gereja. Ini hanya simbol agar kehidupan rohani selalu bertumbuh dan menjadi saksi indah bagi orang lain. Sebagai pohon evergreen, cemara melambangkan hidup kekal, sebab pada umumnya di musim salju hampir semua pohon rontok, kecuali cemara yang tetap hijau.

Kini pemasangan cemara, baik asli maupun tiruan, di gereja, rumah, tengah kota, dan tempat-tempat umum sudah menjadi pemandangan biasa menjelang Natal. Bisakah yang biasa ini menjadi luar biasa? Mengapa tidak! Di tengah keprihatinan dunia akan perubahan iklim yang dipicu pemanasan global, pohon Natal diharapkan menjadi simbol kebangkitan untuk segera menyelamatkan dunia dan kehidupan dari kiamat ekologis.

Kiamat ekologis bukan isapan jempol. Perubahan iklim global sudah dan sedang kita alami. Perubahannya beragam, cepat, dan merusak. Pada berbagai belahan bumi telah meningkat drastis banjir, kekeringan, gelombang panas, badai tropis, dan berbagai macam penyakit. Bencana datang silih berganti. Hasil pertanian menurun. Berbagai jenis hewan sudah, sedang, dan akan punah.

Semua akibat buruk ini bisa dikurangi dengan mengurangi emisi gas pada atmosfer bumi kita. Emisi gas inilah penyebab utama pemanasan global. Indonesia sebagai negara dengan hutan terluas ketiga di dunia termasuk negara yang menghasilkan emisi gas relatif tinggi. Sebagian besar berasal dari deforestasi (kehilangan hutan) serta kebakaran hutan dan lahan. Untuk Flores-Lembata, tantangannya sama: deforestasi dan degradasi (kerusakan) hutan. Dampak buruknya sudah dirasakan: kemarau panjang, gagal tanam dan gagal panen, hama dan penyakit, serta banjir dan longsor.

Natal kiranya menjadi kesempatan kita berbalik, bertobat paripurna, termasuk bertobat secara ekologis. Kita bangun keadaban baru, dari gemar menebang ke gemar menanam pohon, dari gemar membakar ke gemar membersihkan lahan.

Mudah-mudahan kelahiran sang Juru Selamat melahirkan damai sempurna dalam diri kita. Damai dengan Tuhan, damai dengan sesama, dan damai dangan alam ciptaan. Mari kita menjadikan bumi kita evergreen, bumi yang senantiasa hijau, sehijau pohon Natal.

"Bentara" FLORES POS, Senin 24 Desember 2007

Tidak ada komentar: