Oleh Frans Anggal
Kabupaten Mabar memberlakukan penerbitan akta kelahiran gratis. Namun yang digratiskan hanya penerbitan akta bagi anak yang kelahirannya dilaporkan tepat waktu yakni 60 hari setelah dilahirkan. Yang usianya di atas 60 hari dikenai biaya. Besarannya berbeda-beda pula. Untuk anak pertama dan kedua Rp20 ribu ditambah biaya formulir Rp500. Sedangkan anak ketiga Rp30 ribu plus ongkos formulir Rp500. Demikian yang diatur dalam Perda 15/ 2005.
Kebijakan tersebut belum sungguh-sungguh melaksanakan amanat UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 5 UU ini tegas menyebutkan setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan. Apa yang merupakan hak pada anak ini serentak menjadi kewajiban pada pihak negara. Negara wajib memberikan akta kelahiran, tanpa pungutan. Gratis. Anak menurut UU ini adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Dengan demikian maka semua mereka yang berusia 0-18 berhak mendapat akta kelahiran gratis.
Yang diterapkan di Mabar dan banyak daerah lain di Indonesia jelas menyalahi amanat UU Perlindungan Anak. Ada dua pelanggaran yang dilakukan. Pertama, adanya pungutan. Kedua, adanya diskriminasi, baik pada anak yang usianya di atas 60 hari maupun pada anak ketiga dan seterusnya. Padahal dalam UU Perlindungan Anak sudah disebutkan secara tegas bahwa asas yang dianut adalah non-disriminasi.
Memprihatinkan kita, masih begitu banyak pemkab yang melihat pencatatan kelahiran sebagai sumber pendapatan asli daerah. Pemkab model ini tidak kreatif dan tidak inovatif. Suka cari gampang. Pungut sembarangan, sampai-sampai harus melanggar hak anak.
Selain melanggar hak anak, kebijakan seperti itu merusak citra negara. Di dunia, Indonesia termasuk yang paling buruk dalam hal kepemilikan akta kelahiran. Menurut data Badan Pusat Statistik 2004, anak Indonesia di bawah usia 5 tahun yang belum memiliki akta kelahiran diperkirakan mencapai 60 persen atau 15 juta orang. Belum lagi, setiap tahun 5 juta anak yang baru lahir. Malaysia sudah 98 persen. Lesotho negara di Afrika bahkan sudah 60 persen.
Dalam hal pengurusan akta kelahiran, kabupaten lain di Indonesia perlu belajar dari Sikka. Kabupaten ini menggratiskan pembuatan akta kelahiran bagi anak usia 0-18 tahun (Perda 14/2004). Kebijakan ini diberlakukan sejak 13 Desember 2004 silam. Kebijakan ini jauh lebih maju dibandingkan dengan UU No 23/2006 yang berlangkah mundur karena menggratiskan akta kelahiran hanya bagi anak berusia 60 hari, sebagaimana yang dianut Manggarai Barat dan banyak daerah lain. Di Sikka, selain akta kelahirannya gratis, prosedurnya pun disederhanakan. Targetnya, semua anak memiliki akta kelahiran. Luar biasa. Kenapa yang lain tidak seperti Sikka?
“Bentara” FLORES POS, Selasa 28 Agustus 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar