10 Februari 2009

Kedua Pemkab Perlu Bergegas

Oleh Frans Anggal

Andaikan Ngada dan Manggarai merupakan dua negara berdaulat, maka perang pasti sudah pecah di kampung Rio Minsi, wilayah perbatasan Ngada-Manggarai. Warga Rio Minsi adalah warga yang ‘terbelah’. Secara kultural-historis, mereka merasa diri sebagai orang Ngada, namun secara administratif kepemerintahan mereka danggap sebagai warga Kabupaten Manggarai.

Dari gejolak di perbatasan yang sudah berlangsung cukup lama dan belum terselesaikan secara baik oleh kedua pemkab dan Pemprov NTT, terkesan kuat bahwa definisi diri orang-orang Rio Minsi sebagai orang Ngada secara kultural-historis mendapat lampu hijau dari para elite eksekutif dan legislatif Ngada. Hal ini semakin memperkuat kecenderungan mereka untuk secara adiministratif kepemerintahan bergabung dengan masyarakat Ngada dan menjadi bagian dari kabupaten itu. Pilar pembatas wilayah adminstratif yang mengenai langsung tanah milik mereka, dipersoalkan dan dihancurkan. Warga Rio Minsi hanya mau mengakui pilar yang dulu sudah ditetapkan Raja Riung.

Diwawas secara kultural-historis, sikap warga Rio Minsi sangat bisa dimengerti. Namun di seberang yang lain, sikap Pemkab Manggarai yang bersikukuh mempertahankan sejengkal tanah administratifnya harus dapat dipahami juga. Ketika dua kabupaten ini dibentuk, batas wilayahnya ditentukan: di sini, di sana, dan di situ. Penetapan tersebut diterima sebagai sesuatu yang final, kecuali bila ada penetapan baru oleh lembaga berwenang melalui prosedur yang sah. Hingga kini belum ada perubahan atasnya. Karena itulah apa yang dulu sudah ditetapkan, harus tetap dianggap sah dan masih berlaku, dan karenanya pula wajib dihargai.

Dalam konteks ini, penghancuran pilar yang dipancangkan negara di tapal batas merupakan tindakan yang salah secara hukum, meski sangat dapat dimengerti secara kultural-historis sebagai ungkapan definisi diri. Demikian juga aksi pelemparan rumah, penculikan, dan intimidasi tetap tidak dapat dibenarkan betapapun merupakan reaksi mempertahankan keutuhan wilayah kabupaten. Membiarkan tindakan lapangan seperti ini hanya akan menjamakkan efek negatif. Di tingkat elite kedua kabupaten sekarang ini, misalnya, kritik dibalas kritik, kecaman dibalas kecaman. Para politisi juga memanfaatkan situasi ini untuk menaikkan pamornya di mata konstiuen. Di tingkat akar rumput, rasa tidak puas dan sakit hati menjelma menjadi anarki. Termasuk aparat TNI yang kadang saking bersemangat mempertahankan keutuhan wilayah kabupaten sampai-sampai memperlakukan warga senegaranya sebagai musuh.

Yang menjadi pertanyaan kita, sampai kapankah situasi panas Rio Minsi berlangsung seperti ini? Apakah menunggu perang tanding dan ada yang meregang nyawa dianiaya aparat negara? Di manakah tanggung jawab kedua pemerintah kabupaten? Kalau pertemuan sebelumnya di Kupang dinilai belum efektif, mengapa tidak mencoba lagi? Kalau kedua pemkab sulit melakukan pendekatan satu kepada yang lain, di manakah inisiatif pemprov selaku fasilitator?

Yang hendak kita desakkan di sini, pertama, perlunya kejelian kedua pemkab membaca gejala lapangan yang dari hari ke hari mengeskalasikan kekerasan; kedua, perlunya kebergegasan mencari solusi sebelum bermuculan efek ganda masalah yang mengusutkan benang persoalan sehingga kian sulit terurai.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 5 Juli 2006

Tidak ada komentar: