21 Februari 2009

KMT di Tangan Bunda

Oleh Frans Anggal

Salah satu hal menarik dalam misa syukur peresmian Kabupaten Manggarai Timur (KMT) di Borong adalah penyerahan KMT kepada pangkuan Bunda Maria. Enam camat membawa selempang kain songke dan mengalungkannya ke leher patung Bunda Maria. Dalam doa, mereka menyerahkan warga masyarakat KMT ke pangkuan Bunda Maria. Pada hari itu juga, Bunda Maria diangkat menjadi Pelindung Kota Borong, ibu kota KMT.

Peristiwa ini bisa sangat mengharukan umat Katolik, apalagi mereka yang sempat hadir dalam perayaan itu. Warna liturgis dan devosional agama serasa padu dengan peristiwa politik peresmian KMT dan pelantikan penjabat bupatinya. Yang menjadi pertanyaan: dapatkah peristiwa ini menjadi inspirasi dan kekuatan transformatif bagi masa depan KMT yang diimpikan?

Dari jumlah penganutnya yang mayoritas di KMT, Katolik boleh disebut sebagai “agama publik”. Justru karena itulah Gereja mengemban tanggung jawab besar, termasuk dalam mengawal kehidupan politik yang lebih demokratis dan bermoral. Mengawal sudah berarti menjaga jarak dalam relasi. Tidak boleh lengket. Sebab, lengketnya agama dengan politik hanya akan membuat agama kehilangan daya transendental, tidak lagi kritis dan profetis.

Bagi pengelola pemerintahan, hal yang perlu disadari adalah bahwa KMT bukanlah ‘daerah agama’ (sebagaimana ada istilah ‘negara agama’). Tidak benar memperlakukan warga masyarakat berdasarkan agama. Agama jangan menjadi tolok ukur kebijakan daerah. Ini tidak demokratis karena eksklusif dan diskriminatif. Eksklusif, karena bertumpu pada asas superioritas, prioritas, dan mayoritas dalam memperlakukan warga. Diskriminatif, karena membedakan-bedakan warga masyarakat.

Demikian pula dalam peri kehidupan sosial politik, hindari nuansa eksklusivisme dengan mengusung simbol-simbol agama untuk mengakomodasi aneka kepentingan sosial-politik.

Meski KMT sudah diserahkan ke pangkuan Bunda Maria, dan Bunda Maria telah diangkat menjadi pelindung Kota Borong, perikehidupan sosial politik tetaplah bertolak dari kenyataan kemajemukan. Bukankah dalam keyakinan Katolik, Maria itu ratu para bangsa dan ibunda seluruh umat manusia?

KMT terdiri dari berbagai agama. Kemajemukan ini mesti menjadi kekuatan potensial dalam menjawab tantangan nyata kemanusiaan di tengah masyarakat. Pada tataran ini juga diharapkan moral agama-agama mampu menerangi kehidupan politik agar keputusan-keputusan politik yang diambil dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Agama harus mampu menjadi pendamping korektif masyarakat serta memiliki kekuatan liberatif guna menyusun kehidupan politik yang demokratis.

"Bentara" FLORES POS, Kamis 13 Desember 2007

Tidak ada komentar: