Oleh Frans Anggal
Dua minggu stok minyak tanah habis pada beberapa tempat penjualan di kota Ende. Kata penjual, mereka tidak mendapat pasokan dari agen. Kata agen, jatah yang diberikan Pertamina terbatas sehingga sulit memenuhi semua permintaan pengecer. Namun kata Pertamina, stok melimpah dan cukup untuk kebutuhan 35 hari. Karena tak ada keluhan dari agen, Pertamina beranggapan pasokan sudah memadai sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kata agen, kalau mereka tahu Pertamina mengizinkan penambahan jatah, tentu mereka akan minta tambah. Yang mereka tahu, secara nasional ada kebijakan pengurangan kuota minyak tanah dalam rangka konversi ke penggunaan bahan bakar gas (elpiji). Ini yang menyebabkan mereka tidak meminta panambahan jatah.
Tampak, yang terjadi di Ende bukan berkurangnya stok, tapi miskomunikasi antara Pertamina dan agen yang mengakibatkan minyak tanah menjadi langka. Di tingkat konsumen pun terjadi apa yang dinamakan “panic buying” atau ‘kepanikan memborong’ ketika mengetahui adanya kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji. Jadi, kelangkaan terjadi bukan karena pasokan berkurang, tapi karena pembelian meningkat akibat “panic buying” itu.
Ende dan NTT umumnya adalah wilayah nonkonversi. Wilayah ini belum dimasukkan dalam kawasan konversi minyak tanah ke elpiji. Karena itu, jatah minyak tanahnya tidak berkurang. Lalu, adakah sebab lain sampai terjadi kelangkaan? Bisa saja ini akibat ulah para spekulan sebagaimana terjadi pada beberapa wilayah di Indonesia. Para spekulan membeli minyak tanah di wilayah nonkonversi, lantas menjualnya ke kawasan konversi.
Untuk mengatasi dampak buruk yang selalu merugikan konsumen ini, semestinya pemerintah memperketat pengawasan, terutama ketika kebijakan baru konversi penggunaan minyak tanah ke elpiji mulai diterapkan. Ini yang selalu kurang di negeri ini. Aturan banyak, tapi pengawasan lemah, karena tidak adanya perencanaan yang bersifat komprehensif.
Pemerintah sendiri berencana mengkonversi penggunaan sekitar 5,2 juta kiloliter minyak tanah ke penggunaan 3,5 juta ton elpiji hingga tahun 2010, yang dimulai dengan 1 juta kiloliter minyak tanah pada tahun 2007. Langkah ini cukup strategis mengingat setelah penghapusan subsidi bensin dan solar, permintaan akan minyak tidak menurun. Karena itu, salah satu jalan yang bisa dilakukan adalah mengurangi pemakaian minyak tanah.
Sayangnya, rencana konversi ke elpiji ini terkesan mendadak dan tidak terencana secara komprehensif. Diperparah oleh kurangnya pengawasan, masalah dalam pelaksanaan pun muncul seakan tiada henti. Kesalahan yang sama selalu saja kita ulang. Kita seperti bangsa keledai: selalu terantuk pada batu yang sama.
"Bentara" FLORES POS, Rabu 23 Januari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar