14 Februari 2009

Rumah Sakit Jiwa

Oleh Frans Anggal

Nasib naas menimpa Sumsie (40), pria asal Kelurahan Pau, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai. Ia tewas ditebas parang oleh Flavianis Jehanus (37) di Ponggeok, Desa Ponggeok, Kecamatan Satar Mese. Pelaku adalah ipar korban, yang diduga menderita gangguan jiwa.

Cukup sering pembunuhan di Flores dilakukan orang tidak waras. Orang-orang seperti ini hidup dan berkeliaran di tengah masyarakat. Bila mulai menujukkan gejala membahayakan, mereka diikat atau dipasung. Tidak manusiawi tentunya, namun begitulah satu-satunya cara efektif yang ditempuh masyarakat.

Yang mengkhawatirkan adalah ketika orang-orang seperti ini tiba-tiba mengamuk tanpa tanda-tanda awal. Mendadak beringas dari semulanya biasa-biasa saja, sering sulit diantisipasi. Kalaupun tindak pengamanan dilakukan juga, jiwa orang lain sudah melayang. Hal seperti ini sudah sering terjadi dan akan terus berulang, bahkan dengan tingkat ancaman lebih tinggi karena jumlah mereka akan terus bertambah. Impitan ekonomi turut memicunya. Menurut penelitian WHO, prevalensi gangguan jiwa dalam masyarakat berkisar satu sampai tiga per mil penduduk. Lumayan tinggi. Sayang, tingkat ancaman ini sepertinya dianggap bukan apa-apa.

Di Flores atau bahkan NTT belum ada rumah sakit jiwa (RSJ). Jangankan memiliki RSJ, menyiapkan pelayanan psikiatrik oleh psikiater pada RSUD saja masih sebatas mimpi. Kenyataan ini menggambarkan rendahnya pemahaman akan pentingnya kesehatan kejiwaan pada diri pembuat kebijakan. Ini tergambar pula dari kecilnya anggaran bagi RSJ pada daerah yang telah memilikinya.

Kalau rumah sakit umum, rumah sakit bersalin, dan rumah sakit lepra bisa didirikan, mengapa tidak untuk rumah sakit jiwa? Orang-orang tidak waras itu orang-orang sakit juga. Seperti orang sakit lainnya, penderita sakit jiwa tetaplah manusia. Mereka berhak mendapat perawatan kesehatan. Mereka membutuhkan rumah sakit khusus, sebagaimana yang dikhususkan bagi penderita lepara mislanya.

Kebutuhan ini kian mendesak karena bila dibiarkan berkeliaran, para pengidap gangguan jiwa bisa menjadi ancaman. Orang gila, khsusunya kelompok skizofrenia, sangat berbahaya jika tidak ditanganani secara tepat. Mereka bisa melakukan tindakan yang tak terduga walaupun sebelumnya tak menunjukkan perilaku agresif. Kasus seperti inilah yang sering terjadi di Flores. Perlu disadari, meski membunuh, orang gila tidak bisa dimintai pertanggungjawaban hukum. Tempat mereka bukan penjara, tapi RSJ.

Karena itu, sudah saatnya pulau ini memiliki sebuah RSJ. Kalau mendirikan RSJ masih dinilai sulit karena membutuhkan anggaran besar, mengadakan dan meningkatakan pelayanan psikiatrik oleh psikiater pada RSUD sudah lumayan sebagai langkah awal.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 5 September 2007

Tidak ada komentar: