Oleh Frans Anggal
Pancasila digali, dilahirkan, dan disepakati 1 Juni 1945. Pancasila bukanlah wahyu dari langit. Ia lahir dari jerih payah dalam sejarah. Ia tumbuh dari benturan kepentingan, sumbang-menyumbang gagasan, saling mendengar dalam bersaing dan berembuk.
Demikian Pencasila mengakui perbedaan manusia dan ketidaksempurnaannya. Ia tak menganggap diri doktrin yang mahabenar. Tetapi justru itulah sebabnya kita menegakkannya, sebab kita telah belajar untuk tidak jadi manusia yang menganggap diri mahabenar. Maka Indonesia tak menganggap Pancasila sebagai agama, sebagaimana Indonesia tidak pernah dan tidak hendak mendasarkan dirinya pada satu agama apa pun. Nilai luhur agama-agama mengilhami kita, namun justru karena itu, kita mengakui keterbatasan manusia. Dalam keterbatasan itu, tak ada manusia yang bisa memaksa dan berhak memonopoli.
Pada 1 Juni 2007 ini kita perlu menegaskan kembali Indonesia tempat kita berdiri. Indonesia sebagai sebuah warisan yang berharga, tapi juga sebuah cita-cita. Indonesia yang bukan hanya amanat para pendahulu, tapi juga titipan berjuta anak dan cucu.
Kita perlu bersama-sama menyadari kembali bahwa Indonesia adalah satu prestasi sejarah, namun juga proyek yang tak mudah. Dalam banyak hal, Tanah Air ini belum rampung. Tetapi sebuah masyarakat, sebuah negeri, memang proses yang tak akan kunjung usai. Seperti dikutip Bung Karno, bagi sebuah bangsa yang berjuang, tak ada akhir perjalanan.
Dalam perjalanan itu, kita pernah mengalami rasa bangga tapi juga trauma, tersentuh semangat yang berkobar tapi juga jiwa yang terpuruk.
Namun baik atau buruk keadaan, kita bagian dari Tanah Air ini dan Tanah Air ini bagian dari hidup kita: "Di sanalah kita berdiri, jadi pandu Ibuku. "
Di sanalah kita berdiri, di awal abad ke-21, di sebuah zaman yang mengharuskan kita tabah dan juga berendah hati.
Abad yang lalu telah menyaksikan ide-ide besar yang diperjuangkan dengan sungguh-sungguh, namun akhirnya gagal membangun sebuah masyarakat yang dicita-citakan.
Kini makin jelaslah, tak ada doktrin yang mudah dan mutlak untuk memecahkan problem manusia. Tak ada formula yang tunggal dan kekal bagi kini dan nanti. Yang ada, yang dibutuhkan, justru sebuah sikap yang menampik doktrin yang tunggal dan kekal. Kita harus selalu terbuka untuk langkah alternatif. Kita harus selalu bersedia mencoba cara yang berbeda, dengan sumber-sumber kreatif yang beraneka.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 31 Mei 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar