Oleh Frans Anggal
Setelah melalui rapat paripurna yang ricuh, DPRD Lembata akhirnya tetap merekomendasikan dukungan terhadap investasi tambang emas oleh PT Merukh Enterprise. Dasarnya, DPRD sudah menyetujui investasi ini dalam pertemuan di Jakarta, usai melakukan “studi banding” di Sumba Barat dan Minahasa. Rekomendasi ini hanya bentuk legitimasi formal atas persetujuan tersebut. Dasar ini ditolak Akhmad Bumi. Menurutnya, rekomendasi yang hendak dibuat DPRD hanya melegitimasi kebodohan DPRD. Membuat rekomendasi tanpa kajian mendalam tentang dampak tambang hanya menjadikan DPRD Lembata seperti taman kanak-kanak. Akhmad Bumi meninggalkan ruang sidang setelah argumentasinya tidak diterima.
Bukan rahasia lagi, studi banding ke Sumba Barat sarat dengan pesan sponsor. Sementara studi banding ke Minahasa hanya akal-akalan. Hasil dari studi banding omong kosong seperti ini lantas dijadikan dasar persetujuan di Jakarta. Lalu persetujuan yang dibangun atas dasar kebohongan itu kini dijadikan dasar bagi pembuatan rekomedasi untuk mendukung investasi tambang emas di Lembata.
Tambang itu sendiri direncanakan berlokasi di atas tanah masyarakat, yang sudah sejak awal justru menyatakan sikap tegas menolak tambang. Sikap tolak tambang ini tidak diakomodasi oleh DPRD. Mereka juga tidak melakukan turba yang jujur ke masyarakat. Sebaliknya, mereka begitu bergairah melakukan stuba ke luar, karena lebih nyaman dan terjamin serta bisa memperkaya diri. Demi perut, nurani mereka cekik.
Karena itu, Akhmad Bumi tidak salah ketika menilai rekomendasi dukung tambang dari cara kerja seperti ini hanyalah legitimasi kebodohan DPRD Lembata. Lebih daripada kebodohan, rekomendasi itu adalah juga legitimasi kejahatan.
Dalam protokoler ketatanegaraan, anggota DPR(D) disebut sebagai “anggota dewan yang terhormat”. Terhormat karena mereka orang pilihan. Orang yang dianggap mempunyai pemahaman di atas rata-rata terhadap arti kehidupan orang banyak, termasuk pemahaman soal moral. Yang menjadi pertanyaan: masih pantaskah mereka menyandang atribut “yang terhormat” kalau mereka begitu gampang meninggalkan rakyat yang mereka wakili hanya karena dicekoki duit? Masih terhormatkah mereka kalau dalam kasus tambang yang jelas dan tegas ditolak masyarakat, mereka rela merunduk-menyembah menjadi “tukang stempel” kebijakan bupati yang sejak awal justru tidak melibatkan mereka? Masih terhormatkah mereka jika dengan gampang dan murahan mereka mengeluarkan rekomendasi dukung tambang tanpa kajian yang objektif dan mendalam? Dengan nama apakah selayaknya mereka disapa kalau rekomedasinya hanya melegitimasi kebodohan dan kejahatan mereka sendiri? Terhormat? Ataukah terbodoh?
"Bentara" FLORES POS, Jumat 16 November 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar