Oleh Frans Anggal
Beberapa anggota DPRD Lembata yang telah melakukan studi banding (stuba) tambang di Minahasa dan Sumbawa mengatakan, persoalan rencana tambang emas di Lembata sebaiknya dikembalikan kepada masyarakat. Masalah paling berat adalah bahwa masyarakat tidak mau menyerahkan sejengkal tanah pun. Tinggal bagaimana caranya agar pemerintah, investor, dan masyarakat duduk bersama untuk membicarakannya.
Secara resmi, tim stuba belum membahas dan merekomendasikan hasil stubanya. Namun pernyataan di atas sudah menggambarkan muara rekomendasi, bahwa semuanya terpulang kepada masyarakat di lokasi tambang, apakah mendukung atau menolak.
Inikah simpul paling penting dari stuba yang mahal itu? Jauh-jauh mereka pergi dengan nama gagah ‘studi banding’. Ratusan juta rupiah uang rakyat telah mereka habiskan. Dengan gagah mereka diberangkatkan melalui upacara resmi. Hasilnya, yang mereka bawa pulang, yang itu-itu juga. Semuanya kembali pada masyarakat yang empunya tanah.
Mubazirnya studi tambang sudah jauh-jauh hari disoroti oleh banyak kalangan. Kemampuan anggota dewan melakukan studi ilmiah amat diragukan. Apalagi studi ilmiah masalah pertambangan tembaga dan emas yang masih asing bagi kebanyakan orang kita. Lagi pula, ini studi banding, untuk membandingkan satu dengan yang lain, yang mengandaikan penguasaan paripurna atas hal-hal yang hendak diperbandingkan. Sangat diragukan, hasil studi mereka benar-benar ilmiah dalam pengertian memiliki sistematika, metodologi, dan dapat dipertangungjawabkan.
Kalaupun hasilnya ilmiah yang notabene ‘hanya’ dilakukan dalam dua minggu secara massal pula, toh muara rekomendasinya tetap yang itu-itu juga, yang sebenarnya sudah terungkap dengan sangat jelas oleh masyarakat di lokasi tambang. Biar studi bandingnya sampai ke bulan berbulan-bulan, kalau rakyat tetap tidak mau menyerahkan sejengkal tanah, lalu mau apa.
Kata-kata Koordinator Barak, Eman Ubuq pekan lalu sangat tepat. “Buat apa bahas-bahas tambang lagi. Buat apa stuba. Toh rakyat tidak mau dengan tambang. Tidak mau serahkan tanahnya.”
Akhirnya juga, hasil studi banding dan rekomendasinya hanya akan menegaskan bahwa studi banding itu tidak bermanfaat dan karena itu seharusnya tidak perlu dilakukan. Namun sesuatu yang tak bermanfaat ini tetap diminati anggota DPRD. Diminati karena ia menjadi kesempatan untuk dinikmati. Menikmati fasilitas yang menyenangkan, uang saku berlimpah, dan aneka oleh-oleh pulang rumah. Mereka telah menghabiskan uang rakyat hanya untuk sesuatu yang tidak bermanfaat. Quo vadis DPRD Lembata?
“Bentara” FLORES POS, Jumat 24 Agustus 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar