Oleh Frans Anggal
Indonesia telah menjadi negara pengirim pekerja migran terbesar kedua di dunia, setelah Filipina. Tiga tahun terakhir sedikitnya 450 ribu TKI per tahun mengadu nasib di negeri orang. Malah, pemerintah berani mematok target, pada 2009 sedikitnya 3,9 juta orang diberangkatkan. Jumlah ini didominasi perempuan, 75 persen. Angka ini belum termasuk yang nekat berangkat tanpa dokumen sah (TKI ilegal), yang diperkirakan dua kali lipat jumlahnya.
Sayang, impian para TKI kadang tak kesampaian. Para buruh migran ini dibelit banyak masalah. Mulai dari terkena arus balik pemulangan secara paksa, pemerasan, eksploitasi, kekerasan seksual, hingga terinfeksi HIV/AIDS. Yang terakhir ini mulai dirasakan di Flores. Banyak pengidap HIV/AIDS adalah bekas TKI di Malaysia.
Sebetulnya, pemerintah bukannya tak peduli. Sudah ada UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Namun, praktiknya, aturan ini belum cukup mampu melindungi serta menjamin keselamatan dan hak hukum buruh migran, terutama buruh migran perempuan. Mereka ini, misalnya, kerap dipaksa melayani hasrat seksual majikan, diperdagangkan, termasuk ditipu bahkan dipaksa dijerumuskan ke dalam prostistusi. Belum lagi ketidaktahuan mengenai penularan dan penanggulangan HIV. Rentetan soal seperti inilah yang menjadikan mereka berisiko besar terkena HIV/AIDS.
Tak gampang melepaskan mereka dari epidemi ini. Apalagi, umumnya mereka bekerja di sektor informal dengan upah dan kepastian keuangan yang sangat rendah. Jika mereka dihantam penyakit maka besar risiko kehilangan mata pencarian. Sudah begitu, seringkali mereka tidak memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan dan jarang berhimpun dalam serikat pekerja.
Selain itu, diskriminasi terhadap pekerja dengan HIV/AIDS juga masih sering dijumpai. Kaidah ILO tentang HIV/AIDS dan Dunia Kerja menegaskan, tindak diskriminasi dan tidak dihormatinya hak asasi manusia justru membuat pekerja semakin rentan terkena infeksi HIV/AIDS. Kondisi itu jelas makin memperumit penanggulangannya.
Kita berharap Konvensi ILO No. 97 tentang Migrasi untuk Bekerja dan No. 143 tentang Pekerja Migran bisa dirativikasi oleh banyak negara, terutama negara-negara yang membutuhkan pekerja migran. Kedua konvensi itu mengatur perlindungan hak-hak pekerja migran dalam kesetaraan, kesempatan dan perlakuan, perlindungan kesehatan, serta akses tehadap jaminan sosial dan perlindungan anggota keluarga.
Selaku negara pengirim pekerja migran terbesar kedua di dunia, seharusnya Indonesia menjadi pelopor. Bukankah TKI adalah pahlawan devisa? Mereka telah menggelembungkan pundi pendapatan negara 2 hingga 3,4 miliar dolar AS per tahun.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 4 September 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar