24 Februari 2009

Belajar dari Sikka

Oleh Frans Anggal

Tahun ini Kabupaten Sikka ditetapkan menjadi proyek percontohan pencatatan kelahiran bagi kabupaten yang sedang berkembang di Indonesia karena keberhasilan menajemen pencatatan kelahiran dan pengurusan akta kelahiran gratis bagi anak-anak berusia 0-18 tahun.

Ini prestasi yang patut dihargai. Di tengah penerapan sesat otonomi daerah di banyak wilayah, Sikka menjadi perkecualian. Di banyak daerah lain, dengan dalih otonomi daerah, akta kelahiran dijadikan salah satu sumber PAD melalui penarikan retribusi bagi pemohon akta kelahiran. Ini pelanggaran serius terhadap UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 27 UU ini menegaskan, identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya yang dituangkan dalam akta kelahiran. Lebih jauh pasal 28 menyatakan, pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah dan tidak dikenai biaya.

Kalau daerah lain masih ramai-ramai melanggar hukum dan HAM demi menggemukkan pundi-pundi daerah, Sikka sejak 2004 telah berpijak kukuh di atas hak asasi manusia, hak setiap anak atas identitas diri. Banyak pemangku kebijakan daerah tidak paham bahwa pencatatan kelahiran berfungsi menentukan dan menetapkan status keperdataan (sipil) seseorang dalam wilayah hukum suatu negara. Pencatatan ini merupakan bagian dari hak sipil yang melekat begitu seseorang lahir. Karenanya negara berkewajiban menghormati, memenuhi, dan melindungi hak ini. Ini berarti, dengan mencatatkan seorang anak, negara telah resmi mengakuinya sebagai subjek hukum dan berkewajiban melindungi hak-hak sipilnya. Pengakuan sebagai subjek hukum merupakan hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara dalam kondisi apa pun, sekalipun negara dalam kondisi darurat.

Ini yang kurang disadari oleh sebagain besar pemangku kebijakan daerah. Tidak mengherankan kalau di dunia, dalam hal pencatatan anak di bawah 5 tahun, Indonesia termasuk yang paling buruk, cuma 40%. Artinya, enam dari sepuluh anak Indonesia tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah telah berlaku diskriminatif terhadap sebagian besar anak dan warga negaranya. Yang dilupakan, anak-anak yang tidak memiliki identitas amat rentan terhadap eksploitasi. Umumnya anak-anak yang menjadi korban eksploitasi tidak memiliki catatan sehingga pemalsuan jati diri anak seringkali dijadikan modus operandi sebagaimana sering terjadi pada kasus perdagangan anak. Dengan demikian, pemberian akta kelahiran gratis amat penting untuk melindungi anak-anak.

Sayang, banyak pemerintah daerah kurang menyadari hal ini. Mereka suka cari gampang saja sampai-sampai merasa tak bersalah melanggar hak anak. Mereka perlu disadarkan dan berubah. Kita mengajak mereka menoleh ke Sikka, belajar dari Sikka.

"Bentara" FLORES POS, Kamis 17 Januari 2008

Tidak ada komentar: