Oleh Frans Anggal
Dalam diskusi bulanan Dian/Flores Pos, Sabtu 15 Desember 2007, Agama dan Politik menjadi sorotan. Dalam TOR diskusi disebutkan bahwa agama dan politik selalu menjadi isu menarik dalam relasinya dengan negara. Agama yang menjadi ideologi politik negara akan melahirkan ‘negara agama’ (teokrasi) yang dianggap melawan demokrasi. Namun, di sisi lain, politik negara menempatkan agama di pojok persoalan privat, sehingga agama tidak berperan dalam politik negara. Negara menjadi begitu sekular. Pertanyaannya: bagaimana sebaiknya agama memosisikan dirinya dalam politik negara dan bagaimana pula politik menempatkan agama.
Diskusi ini berujung pada kesimpulan bahwa hampir semua agama memiliki pandangan positif tentang negara. Dalam hubungan dengan negara, agama berperan memberikan karakter politik. Dasarnya adalah bahwa kuasa berasal dari Tuhan yang mesti diabdikan untuk kepentingan umum (bonum comune). Dalam perannya itu, agama dan tokoh agama melalui fungsi kritis dan profetisnya mesti selalu mengingatkan penguasa agar menegakkan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan perdamaian. Jalan yang ideal adalah melalui dialog. Bila semua bentuk dialog buntu maka aksi turun ke jalan berdemo merupakan pilihan yang lain.
Agama yang disimpulkan dalam diskusi ini boleh digolongkan sebagai agama etik transformatif. AJ Tyonbee pernah meramalkan munculnya ‘agama baru’ yang dapat menjawab persoalan kontemporer yang sedang dihadapi manusia modern. Agama baru ini tidak mesti berupa agama yang baru. Bisa jadi agama lama yang mampu mentransformasikan ajarannya secara radikal untuk menyesuaikan diri dengan problem kontemporer. Agama transformatif ini pula yang menjadi harapan Hans Kung ketika menggagas global ethic-nya sebagai pedoman moral ekonomi-politik global.
Sudah dimaklumi, tidak ada satu pun agama yang mengajarkan bentuk kekerasan. Menyakiti orang lain dan peperangan adalah tindakan yang paling terkutuk dalam setiap agama. Agama selalu menebar cinta kasih. Maka, setiap agama harus mampu mentransformasikan nilai etik-moral yang dimilikinya ke dalam bilik sikap umatnya. Agama etik-transformatif ini akan menjadi jawaban dari kegersangan dunia politik kita yang tanpa nurani. Jadi, merupakan suatu keniscayaan bahwa agama harus kembali dimainkan sebagai sumber nilai etik-moral kehidupan masyarakat.
Dalam konteks politik, agama tidak harus dikukuhkan secara simbolik sebagai jargon dan ideologi politik. Akan tetapi bagaimana nilai-nilai etika agama dapat ditransformasikan sebagai benteng moralitas politik bangsa. Dengan demikian kebijakan dan tindakan politikus dapat dipertanggungjwabkan.
"Bentara" FLORES POS, Senin 17 Desember 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar